Si Upik Dan Si Buyung Mulai Centil

By nova.id, Jumat, 10 Februari 2012 | 21:58 WIB
Si Upik Dan Si Buyung Mulai Centil (nova.id)

Enggak apa-apa, kok, Bu-Pak. Dampaknya juga positif; selain wawasan dan pengalamannya bertambah, ia pun jadi percaya diri.

Kadang orang tua risau begitu melihat anaknya mulai centil. Doyannya berdandan dan bercermin bak orang dewasa. "Ih, kecentilan amat, sih!"

Padahal, papar Rahmitha P. Soendjojo, S.Psi, orang tua tak perlu terlalu cemas jika si balita mulai senang berdandan. Karena bagaimanapun, perilaku si kecil tak lepas dari perilaku orang tuanya. Masih ingat, kan, anak balita cenderung dipengaruhi lingkungan sekitarnya? Entah lingkungan rumah maupun "sekolah". Tapi pengaruh yang paling besar, tetap lingkungan rumah.

Jadi, jangan heran, ya, Bu-Pak, jika si Upik ataupun si Buyung suka berdandan, bercermin, bersolek, serta menjadi anak yang modis jika lingkungan sekitarnya pun seperti itu. "Kalau ibunya, misalkan, setiap hendak keluar rumah selalu berdandan terlebih dulu, si anak pasti akan terdorong untuk melakukan hal serupa."

Anak seusia ini, papar psikolog dari YKAI yang biasa dipanggil Mitha ini, sangat suka meniru dan mencoba apa-apa yang dilakukan oleh orang yang dekat dengannya, apalagi jika hal tersebut adalah hal yang baru bagi dirinya. Biasanya di usia ini anak meniru tokoh yang satu jenis dengannya, Si Upik mulai meniru apa saja yang dilakukan si ibu dan si Buyung meniru sang ayah. Si Upik mencoba lipstik, nyocokin baju yang hendak dikenakan, dan si Buyung mulai memakai minyak rambut, misalnya.

Sekalipun si kecil siklus berdandannya sama dengan kita. Pagi hari bangun tidur langsung berkaca sambil sisiran, sesudah mandi kembali di depan cermin, siang hari sepulang "sekolah" kembali duduk di depan cermin, begitu juga sore hari sehabis mandi. Semua itu, papar Mitha, tidaklah apa-apa dan masih dalam tahap wajar. "Juga, bukan berarti si anak kematangan." Sebab, selain ingin mencoba kebiasaan-kebiasan tokoh sentralnya, anak pun ingin merasakan bagaimana rasanya bergaya dan mempunyai kebiasaan seperti itu. Jadi, ia ingin bereksplorasi. Terlebih kala melakukan hal-hal seperti itu anak merasa senang.

PENGARUH TREND

Modisnya si kecil, papar Mitha, juga dipengaruhi trend atau mode saat itu. Misal, karena lagi trend-nya memakai sepatu Doc Mart, bukan mustahil anak ingin memiliki sepatu tersebut dan ingin selalu mengenakannya setiap hendak bepergian. Sama halnya jika saat itu kupluk, misal, lagi trend di kalangan anak-anak seusianya, maka anak ingin memiliki kupluk yang beraneka ragam untuk ia serasikan dengan baju yang dia miliki.

Hal seperti ini terjadi bukan karena anak telah mengerti mode atau trend dalam arti sesungguhnya, melainkan anak hanya meniru. Jadi modisnya si Upik dan si Buyung masih tetap dalam lingkup peniruan dari tokoh-tokoh idolanya. Misal, ada penyanyi cilik idola si kecil setiap tampil di panggung ataupun TV selalu mengenakan kupluk. Melihat itu, anak pun menginginkan hal serupa.

Walaupun demikian, hasrat tersebut muncul pada anak bukan semata-mata dorongan dari dalam dirinya, melainkan dipengaruhi input yang anak peroleh dari luar. Bisa jadi saat anak menonton TV, si ibu berkata, "Ih, lucunya penyanyi itu pakai kupluk," misal. Apalagi kalau ditambah, "Kak, kalau kamu pakai kupluk seperti itu, lucu juga, lo." Nah, setelah ditambah masukan seperti itu, bukan tak mungkin hasrat ingin meniru tokoh idolannya semakin besar, "Kata Bunda, aku pun sama lucunya kalau memakai kupluk seperti itu. Aku mau, ah, punya kupluk."

Karena pengalaman anak usia ini sudah banyak dan dia sudah bisa melayani dirinya sendiri, seperti memakai dan memilih baju sendiri, malah dia juga sudah punya pemahaman senang terhadap warna-warna tertentu, bukan mustahil dia pun ingin memiliki lebih dari satu kupluk, supaya dia bisa menyerasikan dengan pakaiannya atau supaya dia bisa gonta-ganti memakai kupluk dengan corak dan model yang berbeda.

Selain itu, seringnya kita mendandani anak pun akan menjadikan anak modis. Terlebih kalau kita suka memberikan feedback positif perihal penampilannya, "Wuih, kamu cantik sekali, Nak, dengan longdress itu," atau "Wah, anak Ayah gagah sekali memakai minyak rambut." Nah, karena usia balita selalu ingin menyenangkan orang lain, maka anak pun akan mengulangi perbuatannya itu.

Jadi, Bu-Pak, sekalipun kita bukan termasuk seorang yang modis, anak bisa saja menjadi orang yang modis jika di sekitarnya, misalnya, mbaknya, kakaknya, atau saudara dan teman-temanya adalah orang-orang yang modis. "Bukankah kala anak tengah bergaya modis, biasanya secara spontan orang-orang dewasa di sekitarnya pasti akan memberikan tanggapan positif. Entah itu lucu, cakep, ganteng, cantik, atau cocok." Kalau sudah seperti itu, lanjut Mitha, anak pasti akan mengulangi hal itu kembali, "Besok-besok aku berkaca dulu, ah, sebelum pakai baju gaya."

Itulah mengapa, Mitha minta agar kita tak usah menjadikan masalah bila si balita modis. Malah dengan begitu, pengalaman dan wawasan anak makin bertambah, terutama dalam hal berpenampilan. "Justru harusnya kita merasa bangga mempunyai anak yang suka kerapian, keserasian, dan berpenampilan baik." Bukankah kita lebih senang melihat anak kita wangi, rapi, cakep, dan lucu, daripada ia kumel dan bau?

Sisi positif lain dari anak yang modis adalah rasa percaya dirinya makin bertambah, mampu mengkombinasikan busana, berani menentukan pilihan, serta berani tampil. Bahkan, papar Mitha, modisnya si kecil akan membawa berkah juga, lo, bagi kita. Kita akan dikenal para tetangga ataupun teman dan saudara sebagai orang tua yang pandai mengurus anak, pandai mengajar serta mendidik anak, misalnya. "Jadi modisnya seorang anak itu bisa juga mendongkrak poin keluarga."

TAK ADA TUJUAN

Sekalipun begitu, anak balita belum punya tujuan dari modisnya itu. Walaupun dia menggunakan kalimat, "Aku ingin pakai baju gaya, nih. Bagus, kan?" Sebab yang dimaksud baju gaya oleh anak adalah memakai celana panjang jins dan kemeja kotak-kotak, misalnya.

"Jadi, sekalipun anak balita sudah bisa menjadi seorang yang modis. Namun tetap modisnya itu tidaklah seperti orang dewasa yang ingin terlihat anggun, cakep, gagah, cantik, atau look good oleh orang lain." Melainkan karena dia hanya berkeinginan meniru, mencoba, atau ingin mengenakan baju tersebut. Tadinya hanya mengenakan celana pendek saja, kini bisa pakai celana panjang, misalnya. Atau, karena dia bisa memakai pakaian juga aksesoris seperti yang dikenakan tokoh idolanya. Apalagi jika anak telah mendapatkan input dari lingkungannya.

Seperti halnya pakaian, untuk soal bercermin, menyisir, memakai parfum dan mengenakan aksesoris lainnya, menurut Mita, anak juga belum punya tujuan apa-apa. "Sebab yang menurutnya gaya itu karena dia sekarang telah bisa memakai minyak rambut, bisa menyisir rambut sendiri, memakai giwang atau memakai bedak."

Jadi, modisnya si prasekolah itu hanya sebutan atau pelabelan kita saja pada si anak. Anak sendiri berbuat seperti itu sama sekali tak bermaksud ingin tampil atau bergaya modis. Tak percaya? Coba saja tanyakan pada anak. Malah bisa jadi ia akan balik bertanya, "Ayah, modis itu apa,sih?"

MENJADI NEGATIF

Walaupun begitu, ada juga lo, sisi negatif dari anak bersikap modis. Terutama bila modisnya sudah tidak proporsional lagi. Seperti, hanya ingin memakai baju merek tertentu dan baju tersebut terlalu mahal buat kita, "Bunda aku enggak mau pakai baju ini, jelek. Aku mau pakai baju Osh Kosh B-Gosh saja. Kalau enggak, aku enggak mau 'sekolah'," misalnya. Atau, bila dia tidak bisa dikasih pengertian. Misal, tidur pun harus memakai baju pesta gara-gara ia suka pada baju tersebut.

Itulah mengapa, papar Mitha, perlunya bimbingan dan pengarahan orang tua pada si anak. "Prinsipnya, kita harus mengarahkan dan mengajarkan anak, modis itu bukanlah harus pakai pakaian atau aksesoris yang wah, serba mahal, atau nge-trend." Tapi, lanjutnya, modis adalah berpakaian rapi dan sesuai dengan tempatnya atau sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. "Kalau mau ke pesta pakai baju seperti apa, ke sekolah pakai baju apa, kalau mau main dengan teman pakai baju seperti apa, misalnya."

Jangan lupa pula, orang tua juga harus mengajarkan anak memilih busana yang akan dia kenakan supaya serasi dan baik dilihat. Dengan begitu, anak akan memperoleh pengetahuan baru mengenai kombinasi busana yang akan dia kenakan. "Ini baru cocok dan gaya, celananya jeans, bajunya panel, topinya topi koboi, sepatunya sepatu boot," misalnya.

Begitu juga untuk soal rambut, anak prasekolah boleh-boleh saja menginginkan model rambut yang sesuai dengan keinginannya; ingin rambut panjang, keriting, lurus, dikuncir, ataupun di Mohawk ala personel-personel band Punk Rock. "Tapi alangkah baiknya kita tetap memberikan masukan serta didikan pada anak, 'Nak, kamu itu lebih cocok berambut keriting. Terlihat cantik dan lucu, lo. Karena itulah kenapa Allah menciptakan kamu dengan rambut keriting,' misalnya."

Gazali