Rumput Tetangga Lebih Hijau

By nova.id, Rabu, 25 Januari 2012 | 23:09 WIB
Rumput Tetangga Lebih Hijau (nova.id)

Rumput Tetangga Lebih Hijau (nova.id)

"Foto: Getty Images "

Bunda bingung karena anak perempuannya, Ami, senang sekali bermain di rumah salah seorang tetangga mereka. Di sana memang ada anak sebaya bernama Ratih. Hampir setiap hari, sepulang sekolah, Ami langsung berganti pakaian dan bergegas pergi ke rumah Ratih. Tidak jarang ia makan siang dan belajar di sana, bahkan pernah sampai larut malam. Awalnya Sang Bunda tidak keberatan, tapi lama-kelamaan bundanya khawatir kalau Ami tidak lagi merasa nyaman di rumahnya sendiri.

Apa yang dialami Ami, menurut Meriyati Budiman dari Klinik Kembang dan Edukasi Terpadu RS Pondok Indah, adalah sesuatu yang wajar karena memang sesuai dengan tahapan usianya. Yakni, anak sedang mengembangkan identitas dirinya (self identity). Secara umum pada fase ini, anak sedang mencari jati diri dan menentukan kelompok yang membuatnya nyaman. Keinginannya memiliki teman juga sedang berada pada puncaknya dan biasanya ketika mereka beranjak remaja, minat ini akan semakin luas dan bervariasi.

Bergaul Banyak Manfaatnya

Meriyati menerangkan, anak yang sudah memasuki sekolah (usia 6-12 tahun), sudah mengenal konsep pertemanan. "Itulah yang membuat mereka lebih mudah diajak bergaul dalam suatu kelompok dan juga mulai bisa memilih teman bermain (seperti tetangga atau teman sebayanya yang ada di luar rumah), ujar Meri. Jadi wajar saja, lanjut Meri, "Kalau anak Anda sudah mulai memberikan perhatian kepada teman sebayanya karena adanya persamaan minat dan kemampuan bermain yang sama juga."

Sebetulnya orangtua tidak perlu cemas jika anaknya kerap bermain di rumah tetangga. Pasalnya ketika anak bermain, ia akan mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosialnya.

Banyak manfaat yang bisa didapat anak yang suka bergaul, lho, Bu. Di antaranya:

- Bermain bersama kelompok atau teman sebayanya akan memenuhi kebutuhan bersosialisasi. Anak juga akan mengenali arti kebersamaan atau kerja sama.

- Belajar "happy", dalam artian bermain atau belajar bersama dengan temannya pasti akan lebih menyenangkan daripada belajar atau bermain sendiri.

- Melakukan kegiatan berkelompok di rumah tetangga juga lebih positif daripada di warung internet (warnet) atau tempat yang tidak kita kenali dengan baik.

- Anak akan lebih kreatif dan terangsang untuk mengembangkan bakat. Tidak jarang, lho, muncul ide baru dari diri mereka karena mempunyai minat yang sama. Bukan tak mungkin dari bermain, anak-anak akan membuat sesuatu yang baru sesuai dengan minat dan bakat mereka.

Hargai Milik Sendiri

Semua kegiatan di atas akan berubah menjadi persoalan ketika anak menjadi lebih betah berada di rumah temannya daripada di rumah sendiri. Tidak hanya senang bermain dan belajar, tapi ia juga jadi lebih senang melakukan kegiatan lainnya di sana. Seperti makan, mandi, bahkan tidur. Nah, jika kebiasaan-kebiasaan ini yang terjadi, inilah saatnya orangtua harus waspada.

Untuk mengatasinya, orangtua sebaiknya bertanya langsung kepada anak, apa yang membuat ia merasa lebih nyaman di rumah Si A. Bagaimana jika ternyata anak betah di rumah tetangga karena masakan ibu Si A lebih enak? Sebagai Ibu Anda tidak perlu malu, tanyakan saja resep masakan itu kepada ibu Si A. Atau, sesekali undang temannya itu untuk makan bersama di rumah kalian.

Jika jawabannya karena barang-barang yang dimiliki teman-temannya lebih bagus, jelaskan kepada anak kalau kemampuan ekonomi orangtua Si A memang berbeda dengan orangtuanya. Ajarkan pula kepada anak untuk bisa menerima dan menghargai apa yang ia miliki.

Namun dalam bertanya, perhatikan pemilihan kata-kata. Apalagi peran orangtua sangat penting sekali dalam membentuk konsep diri anak. Jangan sampai berniat memberikan arahan atau nasihat malah berbuntut rasa percaya diri yang rendah pada anak.

Sebisa mungkin, orangtua jangan menggunakan kata bermakna inferior dan pesimis. Misalnya, "Kita memang orang miskin jadi tidak mungkin mampu punya ini-itu." Akan lebih bijaksana jika Anda mengatakan, "Harga barang tersebut mahal, lebih baik uangnya ditabung untuk kebutuhan sekolahmu. Lagipula mainan yang Ayah berikan tidak kalah menarik, kok."

Orangtua juga diharapkan kreatif dan tidak berjanji hanya karena gengsi. Tindakan ini hanya akan mengajarkan anak untuk menjadi konsumtif dan selalu mengingini apa yang dimilki orang lain.

Buat Aturan

Orangtua juga bisa membuat aturan waktu yang jelas kepada anak. Khususnya, mengenai berapa lama ia bisa berada di rumah Si A. Misalnya, anak pergi ke rumah temannya pukul 15.00, pastikan sebelum ia pergi ia sudah makan dari rumah dan mengerjakan PR. Anak juga harus kembali lagi ke rumah sebelum jam mandi sore yaitu pukul 17.00. Jika anak melanggar, anak tidak akan diperbolehkan lagi ke rumah temannya selama seminggu. Kalau peraturan ini terus diterapkan, harapannya anak akan disiplin dengan sendirinya.

Yang perlu diingat orangtua adalah norma dan pengetahuan bagi anak usia sekolah (6-12 tahun) hanya terbatas pada baik dan tidaknya suatu tindakan. Bisa jadi mereka tidak akan menurut dengan apa yang Anda sampaikan. Berbeda dengan anak usia remaja yang sudah mulai mengerti dampak perbuatannya di kemudian hari. Anak remaja biasanya berpikir sebelum mengambil tindakan.

Cegah Sebelum Terlambat 

Kekhawatiran orangtua ketika anak kerap bermain di luar sebenarnya bukan tanpa alasan. Apalagi jika membaca dan melihat berita. Rasanya dunia sudah tidak aman lagi untuk buah hati. Oleh karena itu, selain membuat kesepakatan dengan anak, orangtua harus melakukan langkah-langkah pencegahan agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi:

- Orangtua mengenal atau menjalin hubungan baik dengan tetangga di mana anak suka bermain. Adanya jalinan yang baik dan komunikasi terbuka akan membuat orangtua juga merasa aman "menitipkan" anaknya di sana. Selain itu, orangtua juga harus mengetahui dan mengamati bagaimana sebenarnya perilaku dan perkembangan anak kita di luar rumah. Apakah ia nakal atau justru pendiam, dan lain-lain.

- Mengetahui kegiatan yang dilakukan di rumah tersebut agar orangtua dapat mengontrol perilaku anak yang tidak diinginkan.

- Jangan pasif dan menerima apa yang ada di rumah tetangga. Jadi, minta anak membawa mainan ke rumah temannya. Pilih yang bisa mengasah kemampuan stimulusnya seperti puzzle, kertas warna, buku gambar, pensil warna, dan sebagainya. Hal ini juga mengajarkan anak untuk berbagi.

- Tetap mengembangkan kedekatan psikologis atau emosional dengan anak. Tak ada salahnya orangtua bertanya kepada anak apa saja yang dilakukannya di rumah Si A, bagaimana perasaannya saat bermain di rumah, dan sebagainya. Dengan begitu orangtua juga tahu apa yang dilakukan dan dirasakan anak selama berada di sana.

Dengan memerhatikan atau mendengarkan keluhan anak, anak akan merasa dirinya dicintai. Bayangkan jika anak tidak pernah diajak bercerita atau bicara, atau setiap keluhan anak ditanggapi dengan marah dan kritik, anak pasti akan tumbuh menjadi anak yang tidak berani mengungkapkan perasaan maupun pendapatnya. Selain itu, anak bisa tumbuh menjadi pasif, pemarah, dan pendendam. Lebih parahnya lagi, anak akan mengalami regresi atau kemuduran dalam perkembangannya, seperti mengompol, minta ditemani kalau ke sekolah, tidak berani tidur sendiri, cemas bertemu orang baru, dan lainnya.

Betah di Rumah 

Kedekatan psikologis dengan anak akan membuat kebutuhan emosinya terpenuhi. Hal ini serta merta akan membuat anak merasa aman dan nyaman berada di rumahnya sendiri. Ia tidak akan lagi merasa "lebih betah" di rumah orang lain, sebaliknya akan merasa "selalu ingin berada di rumah". Artinya, kenyamanan dan keamanan psikologis menjadi dasar penting terbentuknya kepribadian matang dan sehat bagi setiap anak. Apabila ia tahu dan menyadari orangtuanya mencintainya, maka ia tidak perlu mencari pemenuhan di tempat lain. Banyak anak yang tidak merasa nyaman dan merasa tidak aman di rumah sehingga melakukan tindak kekerasan atau kenakalan karena mereka mencari perhatian. Kalau sudah begitu, selain anak tidak berkembang sebagaimana mestinya, orangtuanya juga merugi. Oleh sebab itu, mari perhatikan kebutuhan fisik dan psikologis anak. Dengan keseimbangan kebutuhan ini, anak akan tumbuh menjadi anak yang bahagia dan senang berada di rumah.

 Ester Sondang