Setelah menikah, wanita kerap dipanggil dengan nama suaminya. Lalu setelah punya anak, ia akan dipanggil sebagai mamanya si anak tersebut. Bisakah hal ini dibenarkan?
"Apalah arti sebuah nama," demikian tulis pujangga kenamaan William Shakespeare. Namun, benarkah nama hanya punya arti yang kecil dalam kehidupan seseorang? "Semua itu kembali pada masing-masing individu. Ada yang menganggap keberadaan namanya adalah suatu hal yang sangat penting, meski ada juga yang tidak mempermasalahkannya," ujar Rosdiana S. Tarigan, M.Psi., MHPEd.
DIPANGGIL DENGAN NAMA SUAMI
Pada beberapa dekade lampau, wanita Indonesia tidak keberatan namanya "hilang" setelah menikah. Malah ada kebanggaan bila sebutannya berganti menjadi Bu Lurah Karto atau Bu Dokter Budi, meskipun sebenarnya yang menjabat sebagai lurah maupun berprofesi dokter adalah suaminya.
Namun, seiring perkembangan zaman, wanita-wanita Indonesia semakin banyak yang mempunyai "dunia" sendiri, selain dunianya bersama keluarga. "Ini ditandai dengan banyaknya wanita yang menyelesaikan pendidikan tinggi untuk kemudian berkarier di luar rumah," kata Diana. Dilatarbelakangi proses itulah, wanita mulai tak mau kehilangan nama gadisnya.
"Bagaimanapun, saat berada dalam dunia kerja, bentuk tanggung jawabnya adalah individual," imbuh pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Misalnya yang bekerja di sebuah instansi adalah Rini, maka segala bentuk tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaannya haruslah dipikul sosok bernama Rini itu. Bukan Rini sebagai nyonya Bambang atau siapa pun. Ditambah lagi, rasanya jadi tidak lazim kalau di kantor seorang pegawai wanita dipanggil dengan nama suaminya.
Sebagai jalan tengah, menurut Diana, untuk kepentingan kehidupan pribadinya, wanita berhak memakai namanya sendiri. Namun bila keperluan tersebut ada hubungannya dengan relasi keluarga, sah-sah saja kalau nama sang suami sebagai kepala keluarga yang digunakan.
Sebagai contoh Diana menambahkan. "Nama yang tercantum di kartu identitas pribadi seperti KTP, SIM, kartu karyawan dan sebagainya adalah nama sendiri. Namun, nama yang tercantum untuk undangan keluarga bisa jadi ditujukan kepada Bapak atau Ibu Bambang, misalnya. Intinya, pemakaian nama bukanlah masalah besar, selama didudukkan sesuai proporsinya."
TAMBAHAN NAMA SUAMI
Banyak masyarakat di belahan bumi ini mempunyai kebiasaan mencantumkan nama keluarga. "Contohnya, orang Barat yang memang mempunyai kebiasaan mencantumkan nama keluarganya di belakang nama sendiri," ungkap psikolog yang juga berpraktek di Empati Development Center, Jakarta.
Kebiasaan ini bisa diadopsi sebagai bentuk kompromi bila memang istri keberatan namanya berganti dengan nama suami. Jika di beberapa adat tertentu memang ada keharusan untuk mencantumkan nama keluarga atau marga suami di belakang nama istri, "Tambahkan saja nama suami di belakang namanya sendiri."
Beberapa wanita merasa oke-oke saja mencantumkan nama suami di belakang namanya. Akan tetapi tidak sedikit yang keberatan. Wanita seperti ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan hanya disebut namanya sendiri. Dengan kata lain ia ingin dilihat sebagai sosok yang utuh sebagai dirinya sendiri dan bukan bagian dari suaminya.