Nama Pribadi Haruskan Hilang Begitu Menikah?

By nova.id, Kamis, 12 Januari 2012 | 07:02 WIB
Nama Pribadi Haruskan Hilang Begitu Menikah (nova.id)

Setelah menikah, wanita kerap dipanggil dengan nama suaminya. Lalu setelah punya anak, ia akan dipanggil sebagai mamanya si anak tersebut. Bisakah hal ini dibenarkan?

"Apalah arti sebuah nama," demikian tulis pujangga kenamaan William Shakespeare. Namun, benarkah nama hanya punya arti yang kecil dalam kehidupan seseorang? "Semua itu kembali pada masing-masing individu. Ada yang menganggap keberadaan namanya adalah suatu hal yang sangat penting, meski ada juga yang tidak mempermasalahkannya," ujar Rosdiana S. Tarigan, M.Psi., MHPEd.

DIPANGGIL DENGAN NAMA SUAMI

Pada beberapa dekade lampau, wanita Indonesia tidak keberatan namanya "hilang" setelah menikah. Malah ada kebanggaan bila sebutannya berganti menjadi Bu Lurah Karto atau Bu Dokter Budi, meskipun sebenarnya yang menjabat sebagai lurah maupun berprofesi dokter adalah suaminya.

Namun, seiring perkembangan zaman, wanita-wanita Indonesia semakin banyak yang mempunyai "dunia" sendiri, selain dunianya bersama keluarga. "Ini ditandai dengan banyaknya wanita yang menyelesaikan pendidikan tinggi untuk kemudian berkarier di luar rumah," kata Diana. Dilatarbelakangi proses itulah, wanita mulai tak mau kehilangan nama gadisnya.

"Bagaimanapun, saat berada dalam dunia kerja, bentuk tanggung jawabnya adalah individual," imbuh pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. Misalnya yang bekerja di sebuah instansi adalah Rini, maka segala bentuk tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaannya haruslah dipikul sosok bernama Rini itu. Bukan Rini sebagai nyonya Bambang atau siapa pun. Ditambah lagi, rasanya jadi tidak lazim kalau di kantor seorang pegawai wanita dipanggil dengan nama suaminya.

Sebagai jalan tengah, menurut Diana, untuk kepentingan kehidupan pribadinya, wanita berhak memakai namanya sendiri. Namun bila keperluan tersebut ada hubungannya dengan relasi keluarga, sah-sah saja kalau nama sang suami sebagai kepala keluarga yang digunakan.

Sebagai contoh Diana menambahkan. "Nama yang tercantum di kartu identitas pribadi seperti KTP, SIM, kartu karyawan dan sebagainya adalah nama sendiri. Namun, nama yang tercantum untuk undangan keluarga bisa jadi ditujukan kepada Bapak atau Ibu Bambang, misalnya. Intinya, pemakaian nama bukanlah masalah besar, selama didudukkan sesuai proporsinya."

TAMBAHAN NAMA SUAMI

Banyak masyarakat di belahan bumi ini mempunyai kebiasaan mencantumkan nama keluarga. "Contohnya, orang Barat yang memang mempunyai kebiasaan mencantumkan nama keluarganya di belakang nama sendiri," ungkap psikolog yang juga berpraktek di Empati Development Center, Jakarta.

Kebiasaan ini bisa diadopsi sebagai bentuk kompromi bila memang istri keberatan namanya berganti dengan nama suami. Jika di beberapa adat tertentu memang ada keharusan untuk mencantumkan nama keluarga atau marga suami di belakang nama istri, "Tambahkan saja nama suami di belakang namanya sendiri."

Beberapa wanita merasa oke-oke saja mencantumkan nama suami di belakang namanya. Akan tetapi tidak sedikit yang keberatan. Wanita seperti ini ingin menunjukkan eksistensi dirinya dengan hanya disebut namanya sendiri. Dengan kata lain ia ingin dilihat sebagai sosok yang utuh sebagai dirinya sendiri dan bukan bagian dari suaminya.

Bisa juga wanita tersebut tak ingin mengubah namanya setelah menikah dengan pertimbangan namanya sudah telanjur dikenal dan menjadi trade mark tersendiri, semisal nama para publik figur atau artis. "Hal ini sah-sah saja selama kedua belah pihak tidak merasa keberatan. Intinya, buat kesepakatan bersama dengan pasangan apakah mencantumkan nama suami merupakan keharusan atau tidak."

Sedangkan ditilik dari manfaatnya, pencantuman nama suami merupakan bentuk penghormatan sekaligus pengakuan bahwa wanita yang bersangkutan sudah dewasa dan menikah alias lepas dari keluarga. "Sebaiknya mencantumkan nama suami di belakang nama sendiri dilihat dari sisi positifnya saja, sehingga tidak memberatkan," saran Diana.

DIPANGGIL DENGAN NAMA ANAK

Sebutan Mama Devi atau Mama Kevin misalnya, banyak terjadi di lingkungan perumahan. Para ibu dipanggil dengan nama anaknya, Devi atau Kevin. Beberapa budaya tertentu memang memiliki kebiasaan mengganti nama wanita yang bersangkutan dengan memanggil nama anak sulungnya dan menambahkan mama/papa/kakek/nenek di depannya, sehingga menjadi Mama Lusi, Opa Lusi dan seterusnya.

Bisa jadi kebiasaan yang melatarbelakanginya hanya karena pertimbangan praktis saja. "Mungkin saja, kan, di kota-kota besar seperti Jakarta, karena para orang tuanya tidak pernah saling ketemu dan yang ada di rumah seharian hanya anaknya, para tetangga lebih mudah saling menyebut nama si anak."

Sementara kalau memang merupakan ketentuan adat, ya sebaiknya diterima saja sebagai sebuah kebiasaan. Lihatlah dari sisi yang positif. "Sebenarnya pemanggilan nama anak ini merupakan sebuah bentuk pengakuan dari orang lain bahwa dia adalah orang tua dari anak tersebut," ungkap Diana.

PERSIAPKAN DIRI

Diana tidak menyangkal bila bagi sebagian orang, nama merupakan sesuatu yang sangat penting sekaligus menunjukkan eksistensi diri. "Namun, sebaiknya hal tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Kompromikan segala hal yang berhubungan dengan nama dan panggilan ini dengan pasangan. Bagaimana enaknya untuk mereka berdua. Karena bukan tidak mungkin yang terbaik bagi satu pasangan, belum tentu sama baiknya bagi pasangan lain."

Keduanya juga perlu mempersiapkan diri kalau-kalau suatu saat sang suami lebih dikenal sebagai suami dari istrinya. Atau menerima undangan yang ditujukan kepada istri dan keluarga tanpa mencantumkan nama suami. "Tidak perlu dipermasalahkan karena pada dasarnya hal seperti itu bukan masalah besar," tandas Diana.

Kalaupun istri merasa keberatan dipanggil dengan nama suami atau anaknya, ya sebaiknya ungkapkan saja. "Tak ada salahnya langsung melakukan koreksi pada orang yang memanggil dengan nama tersebut. Misalnya dengan mengatakan ia lebih senang dipanggil dengan namanya sendiri," saran Diana.

Akan tetapi kalau keberatan tersebut sudah sampai tingkat ekstrem, semisal sama sekali tidak mau menoleh bila tidak dipanggil dengan namanya sendiri, "Bukan tidak mungkin sebenarnya dia bermasalah secara psikologis. Bisa jadi yang bersangkutan terlalu bangga pada dirinya sendiri. Atau malah sebaliknya self esteem atau penerimaan dirinya sedemikian rendah."

Marfuah