Kedua, kesiapan mental, yaitu kemampuan anak dalam mengontrol keinginan untuk buang air kecil atau buang air besar. Anak sudah tahu bila dirinya ingin buang air kecil atau buang air besar dan mampu menahan keinginan tersebut sampai ia masuk ke dalam kamar mandi atau toilet.
Umumnya kesiapan mental dan fisik ini terjadi saat anak memasuki usia 18 bulan. Memang, usia ini tidak dapat dipukul rata. Orangtualah yang harus tahu dengan tepat kapan anaknya siap secara fisik dan mental untuk toilet learning.
TANDA-TANDA ANAK SIAP
Kesiapan fisik:
* Mampu berjalan dan duduk dengan stabil di potty chair (tempat latihan BAK yang bentuknya menarik). Dengan demikian, si kecil bisa duduk dan bangun berdiri sendiri saat menggunakan kloset atau pispot mininya. Kemampuan motoriknya juga sudah bisa mengangkat gayung, mengambil air, dan menyiramkan ke bekas pipisnya.
* Anak sudah mampu mengendalikan keinginan buang air. Ditandai dengan tidak ngompol atau tetap kering celananya selama beberapa jam. Atau, pola BAB dan BAK-nya sudah lebih teratur. Misalnya 3-4 jam sekali. Ciri lain, wajahnya menunjukkan ekspresi meringis saat hendak pipis, atau menunjukkan gelagat hendak buang hajat. Tanda ini memudahkan orangtua mengenali anak yang mau buang air
Kesiapan mental:
* Anak sedikitnya mampu memahami satu sampai 2 kalimat perintah. Si kecil pun mengerti, memakai pospak untuk buang air sangatlah tidak menyenangkan. Dia juga sudah bisa memberi tahu bila celananya basah dan minta segera diganti. Jika tidak digubris, ia akan mengekspresikannya dengan sikap rewel.
* Anak sudah bisa mengomunikasikan bahwa ia hendak BAB dan BAK. Bisa dengan mengucapkannya secara verbal atau nonverbal seperti menarik tangan, mengambil pispot, menunjuk-nunjuk celana, pergi ke sudut ruangan, dan lain-lain.
* Tertarik pada kamar mandi. Misalnya, dia mengikuti orang dewasa ke kamar mandi, mengetahui apa saja perlengkapan kamar mandi dan fungsinya, juga tertarik mengeksplorasi pakaiannya seperti menarik dan menurunkan celana atau roknya.
* Memiliki kemampuan mengontrol atau menahan BAB dan BAK hingga ke kamar mandi.
* Dapat diajak bekerja sama atau memiliki hubungan yang harmonis dengan gurunya (dalam hal ini orangtua atau pengasuhnya).
MENERAPKAN TOILET LEARNING
* Pengondisian
Dalam tahapan ini, orangtua hanya mengenalkan pentingnya toilet learning dan mempersiapkannya secara bertahap. Tindakan pengondisian bisa dilakukan sejak anak umur 9-18 bulan.
Berikut Caranya:
- Saat mengetahui anak hendak BAB, (anak diam dengan raut gelisah), tanyakan "Adek, mau poop ya" lalu, "Kalau mau poop atau pipis, bilang Mama ya."
- Tuntun anak ke toilet atau ke pispotnya, lalu katakan, "Ini kloset/pispot, kalau mau poop harus di tempat ini ya."
- Kenalkan bagian tubuh yang berkaitan dengan toilet learning seperti penis, dubur, dan saluran kencing dekat vagina. Juga perlengkapan toilet learning dan fungsinya seperti kloset, pispot, gayung, shower dan lain-lain.
- Perlihatkan cara membersihkan kotoran si kecil. Dengan cara itu, anak tahu setiap selesai buang air, kloset/pispot harus disiram dengan bersih.
* Perkenalkan pispot
Untuk awal toilet learning disarankan menggunakan pispot (potty chair) daripada kloset. Alasannya, ukuran pispot lebih aman untuk anak-anak. Cara mengenalkannya:
- Mintalah anak duduk di pispotnya lakukan berulang-ulang sehingga ia merasa nyaman dan aman.
- Ajak anak duduk di potty chair setelah ngompol. Sampaikan bahwa pispot berguna bila ia ingin BAB atau BAK.
- Lihat pola biologis anak. Jika anak biasa pipis dan poop setelah bangun tidur pada pukul 7 pagi, misalnya, begitu ia terbangun dari tidur langsung ajak duduk di pispotnya. Jika tidak keluar apa-apa, beri selang waktu beberapa saat, lalu minta ia kembali melakukan hal yang sama. Harapannya, anak dapat menemukan waktu-waktu tertentu untuk BAB dan BAK dan mampu menahan keinginannya sampai menemukan pispotnya.
* Beri contoh
Setelah toilet learning di potty chair sukses, ajak anak untuk pipis atau poop di kloset sungguhan. Katakan padanya, sejak saat ini ia bisa mulai pipis atau poop di kloset kamar mandi. Namun, sebaiknya gunakan alat bantu pada kloset agar tidak jatuh.
Ayah atau ibu harus memberi contoh bagaimana BAB dan BAK di kloset. Agar efektif dan tidak membuat anak bingung, ayah/kakak laki-laki sebaiknya memberi contoh kepada anak/adik laki-laki, dan ibu atau kakak perempuan memberi contoh kepada anak/adik perempuannya. Ajaklah si kecil ke kamar mandi atau toilet dan perlihatkan bagaimana cara pipis. Dari menurunkan celana, jongkok/duduk di kloset, pipis, menyiram kloset, menyemprot/membasuh kelamin dengan air, mengeringkan daerah kelamin, dan memakai celana.
Katakan semua proses tadi agar anak paham, seperti, "Sebelum pipis, kamu buka celanamu, berjongkok, lalu cebok agar kelaminmu tetap bersih...." Lakukan secara berulang-ulang. Saat terlihat si kecil hendak pipis atau poop, coba katakan, "Dek Adi, pipis yuk." Lalu, "Cara pipisnya seperti yang Kak Joni lakukan, ya!" Selanjutnya, tanpa disuruh, anak pun bisa mengatakan dirinya ingin BAK. Hal yang sama dilakukan saat mengajari anak BAB. Perlihatkan bagaimana sang kakak duduk/berjongkok dan membersihkannya seusai BAB. Karena anak belum bisa cebok sendiri, orangtua bisa memberikan bantuan.
Bila masih gagal dalam menerapkan program ini, tak perlu kecewa. Itu pertanda si kecil belum siap. Hentikan dulu kegiatan toilet learning selama 1 3 bulan sehingga anak tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang menakutkan. Beberapa bulan kemudian baru dicoba kembali.
YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM TOILET LERNING
1. Berikan penghargaan bila si anak berhasil menahan BAB atau BAK dan mengeluarkannya di potty chair. Dengan begitu, anak memahami tujuan dari program toilet learning yang sedang dilaksanakan bersama.
2. Jangan marah atau memberikan hujatan bila si kecil mengompol. Misalnya, "Adek payah nih enggak bisa nahan pipis." Sebaiknya gunakan kalimat lain yang tidak menyalahkan anak. Misalnya, "Adek tadi enggak kuat nahan pipis, ya? Lain kali coba ditahan sambil lari ke potty chair ya!"
3. Setelah berhasil beberapa kali, berikan penjelasan kepada anak bahwa ia sudah tidak butuh pospaknya. Kondisikan agar anak menyadari ini adalah sebuah peristiwa besar dalam hidupnya.
LO, KOK, TOILET LEARNING? BUKAN TOILET TRAINING
Istilah toilet training yang kita kenal selama ini hanya mengacu pada soal melatih anak untuk belajar pipis dan BAB di tempat yang seharusnya. Latihan ini tidak terlalu mementingkan kesiapan fisik dan mental si kecil. Tak heran beberapa orangtua menerapkan toilet training terlalu dini pada anaknya, bahkan kala si kecil masih bayi. Padahal toilet training yang terlalu terburu-buru (tanpa memerhatikan kesiapan mental dan fisik anak) justru tidak efektif karena anak akan merasa dipaksa saat melakukan latihan itu. Dampaknya, ia masih akan mengompol meski hanya sekali-kali. Contoh, saat di TK, tiba-tiba anak ngompol di kelas (padahal sebelumnya ia sudah tak pernah mengompol). Ini karena tanpa disadari anak kehilangan kemampuan mengontrol buang air kecilnya (karena waktu dilatih ia belum siap untuk itu). Berbeda dari toilet learning. Istilah ini menitikberatkan pada kesiapan anak secara mental dan fisik untuk diajak buang air kecil atau besar di tempat seharusnya.
Saeful