Menurut psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., tidak mudah sebetulnya bagi seorang laki-laki yang menjadi ayah tunggal atau single father untuk membesarkan anak-anaknya seorang diri. "Biasanya dia mendapatkan juga bantuan dari orang lain dalam berbagai bentuknya. Apalagi, biasanya laki-laki itu, kan, tetap bekerja atau tetap mencari nafkah," ujarnya.
Mereka yang menjadi stay at home father biasanya melakukannya karena istrinya bekerja. Artinya, ketika ayah tunggal memutuskan menjadi stay at home father, dia mungkin mendapat bala bantuan untuk hal finansial, sementara sebaliknya, ketika ayah tunggal ini tetap bekerja, dia mungkin mendapat bantuan untuk mengasuh anak-anak sementara dia pergi bekerja.
Kunci sukses menjadi ayah tunggal sebetulnya adalah keterbukaan dia untuk menerima bantuan dari orang lain. Sudah menjadi rahasia umum (bahkan sudah terbukti dalam banyak penelitian) bahwa semakin maskulin seorang lelaki, semakin malu/malas/enggan dia minta bantuan orang lain untuk mengatasi kesulitannya.
Padahal kalau dia memaksakan diri untuk merawat anaknya seorang diri, sementara dia juga harus bertanggung jawab dalam hal finansial, bisa jadi tidak bisa "kepegang" maksimal. "Ada masa-masa di mana ia harus meninggalkan anaknya untuk bekerja (walaupun pekerjaannya bisa diatur sekalipun, seperti para pekerja freelance), dan sebaliknya, ia juga tetap perlu menjalin keakraban dengan Sang Anak agar benar-benar punya pengaruh sebagai ayah terhadap anaknya," lanjut psikolog yang akrab dipanggil Nina ini.
"Ibu Pengganti"
Pola pengasuhan yang diterapkan ayah tunggal pada anak yang masih balita bisa berbeda-beda. Jika ayah tunggal ini terjadi karena perceraian, dengan pihak ayah yang mendapatkan hak asuh, maka sebaiknya Si Ibu bisa sering-sering bertemu dengan anak-anaknya yang masih batita dan balita. "Usahakan pertemuan ini terjadi dalam suasana damai, supaya tidak menimbulkan tekanan tambahan bagi anak. Bahkan jika mungkin, ketika bertemu, baik ayah dan ibu berinteraksi dengan baik," saran Nina.
Jika perpisahan terjadi karena Si Ibu meninggal, maka anak memang tidak mungkin bertemu dengan ibu. Oleh karena itu, perlu ada "ibu pengganti". Tidak berarti ayah harus segera menikah lagi, karena untuk menikah lagi sebetulnya juga ada banyak konsekuensinya. Namun perlu ada perempuan yang dekat secara emosional dengan anak, di mana anak merasa nyaman dengannya. Orang inilah yang menjadi pengganti figur ibu, supaya anak betul-betul bisa belajar peran perempuan dan laki-laki secara wajar.
Kalau anak masih bayi dan membutuhkan ASI, maka sebaiknya dicarikan donor ASI baginya. "Sekarang ini banyak, kok, ibu yang bersedia mendonorkan ASI-nya. Bisa cek ke konselor laktasi di rumah sakit terdekat, atau cek komunitas ASI seperti di Twitter atau Facebook. Sebutkan problemnya (ibu meninggal, bayi berapa bulan, butuh ASI), sebutkan juga identitas karena beberapa pendonor cenderung selektif (contoh: agama, jenis kelamin anak, suku)," lanjutnya.
Berbagi Tanggung Jawab
Bisakah seorang ayah tunggal menjadi substitusi peran ibu bagi si kecil? Terus terang, kata Nina, agak tidak mungkin (bisa dibilang amat sangat sulit) bagi satu orang untuk berperan sebagai ayah sekaligus ibu, karena memang perannya sebetulnya agak berbeda. So, ayah tetaplah berperan sebagai ayah, dalam artian tetap tegas tapi penuh kasih sayang terhadap anak, banyak mengajak bermain yang butuh kontak fisik/kemampuan motorik, menjadi penyedia berbagai fasilitas buat anak (fasilitas bermain, rumah, tidur, dan sebagainya).
Yang harus ditekankan, peran pengasuhan sebetulnya adalah hal yang sangat luas. Sederhananya, anak perlu waktu bertemu baik dengan ibu ataupun ayahnya. Jadi jangan halangi anak untuk punya waktu sendiri dengan mantan istri. "Jika memang merasa kurang yakin, coba lakukan cara lain untuk membuat diri lebih yakin, contohnya adalah ada pengasuh yang diminta untuk ikut ketika anak bertemu dengan mantan istri, atau mereka bertemu di rumah single father dengan Si Ayah yang pergi dulu sementara," jelas Nina.