Agar Perkawinan Awet

By nova.id, Jumat, 22 April 2011 | 23:09 WIB
Agar Perkawinan Awet (nova.id)

Cinta memang perlu tapi bukan yang terpenting. Bukankah tak sedikit pasangan yang mengaku saling cinta tapi akhirnya bercerai juga? Sebaliknya, banyak pasangan menikah tanpa cinta tapi bisa awet. Jadi, apa, dong, rahasianya?

Dulu, boleh jadi orang akan terkaget-kaget kala mendengar kabar seorang teman atau kerabat yang baru 1-2 tahun menikah tapi sudah bercerai. Bukankah jaman kakek-nenek kita dulu amat banyak suami-istri yang menjalani biduk perkawinan hingga puluhan tahun? Namun kini, jangankan yang baru beberapa tahun menikah, yang perkawinannya cuma bertahan dalam hitungan bulan alias seumur jagung saja, hampir tak terhitung.

Penyebab perceraiannya pun, tak sedikit yang bukan lantaran hal-hal pelik. Bahkan, ada, lo, perkawinan yang bubar hanya gara-gara kunci mobil! Selidik punya selidik, ternyata si suami termasuk pribadi "kaku" dalam arti super taat aturan dan tertib menyimpan segala sesuatu di tempatnya, termasuk kunci mobil. Sebaliknya, sang istri justru tergolong slordig dan berlaku seenaknya. Jadi, cuma lantaran si istri tak meletakkan kunci mobil di tempatnya semula, si suami berang bukan kepalang hingga akhirnya berbuntut pada perceraian. Tragis, kan?!

TAK MUDAH

Mempertahankan perkawinan agar awet, bilang dra. Astrid Wiratna, memang bukan hal mudah. Soalnya, perkawinan selalu berawal dari kondisi dua orang yang tak saling mengenal satu sama lain.

Jikapun mereka memulainya dengan proses pacaran, lanjut psikolog yang mukim di Surabaya ini, "tetap saja amat terbatas, karena mereka berdua tak terus-menerus bertemu selama 24 jam. Hingga kebiasaan-kebiasaan atau sifat-sifat dasar dan cara hidup sehari-hari mereka tak dikenali secara mendalam oleh calon pasangannya." Bahkan, ada kecenderungan masing-masing pihak untuk menutupi kebiasaan atau sifat jelek yang dirasa bakal mengganggu atau menghambat hubungan mereka.

Tak heran, begitu memasuki kehidupan perkawinan, semua sifat dan kebiasaan jelek tadi jelas terlihat, hingga muncullah friksi di antara mereka. Bisa dibayangkan, kan, bila dua orang dewasa yang berbeda kepentingan, latar belakang, gaya/kebiasaan hidup, persepsi, maupun kehidupan emosionalnya, tiba-tiba harus hidup serumah dari waktu ke waktu. Bukan tak mungkin friksi-friksi tersebut akan berlanjut atau memuncak jadi penyebab hancurnya perkawinan. Hingga, perkawinan yang diharapkan bakal awet malah sudah keburu kandas di awal perjalanan.

MENJALIN KOMUNIKASI

Sebetulnya, tutur Astrid, kuncinya cuma komunikasi, kok! Tentu saja, komunikasi yang baik/sehat. Maksudnya, ada keterbukaan. Dengan begitu, masing-masing bisa saling menerima apa yang dikatakan, dirasakan, dan dipikirkan pasangannya.

Apalagi, perkawinan biasanya dimulai dengan kondisi tak punya apa-apa yang kemudian berkembang seiring berjalannya waktu. Misal, keadaan ekonomi yang makin membaik, sementara status sosial juga meningkat. Perubahan ini biasanya membuat gaya hidup pun berubah, demikian pula cara memandang persoalan. "Nah, bila tak terkomunikasikan dengan baik, perubahan-perubahan tersebut pasti akan memunculkan distorsi atau penyimpangan dalam perkawinan," tutur Astrid.

Dalam teori komunikasi, terangnya, ada 3 cara berkomunikasi, yaitu komunikasi verbal atau bicara secara langsung, tulisan, dan gerakan. "Kita bisa saja memahami orang tak melalui pembicaraan, tapi dari bahasa tubuhnya, air mukanya, dan bagaimana caranya berdiri atau berjalan. Dari situ kita bisa tahu atau minimal bisa menebak apa, sih, yang sedang dirasakan pasangan." Pada pasangan yang sama-sama pendiam, misal, "perkawinan mereka bisa tetap langgeng, kok, karena lewat bahasa tubuhnya, mereka bisa menjalin komunikasi dengan baik, hingga bisa saling memahami."

Pasalnya, prinsip keberhasilan komunikasi antara dua orang dengan latar belakang berbeda adalah mengupayakan satu garis tujuan. Dengan begitu, baik suami maupun istri berusaha saling menghargai, menerima dan berempati terhadap pasangan. "Bila ini telah dilakukan, berarti komunikasi yang baik di antara mereka telah terjalin. Dalam perjalanan selanjutnya pun, syarat untuk menjadikan perkawinan awet, bisa terpenuhi. Sebabnya, sikap saling bisa menerima inilah yang sebetulnya bisa dibilang cikal bakal sebuah perkawinan awet," tutur alumnus Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (UNPAD), Bandung ini.