Agar Perkawinan Awet

By nova.id, Jumat, 22 April 2011 | 23:09 WIB
Agar Perkawinan Awet (nova.id)

TAK MENYESALI DIRI

Jadi, keterbukaan memungkinkan masing-masing memiliki kemampuan untuk memahami sekaligus menerima pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukankah kemampuan memahami merupakan modal dasar agar bisa berpikir netral? Artinya, bila salah satu, semisal istri tak suka pada kebiasaan si suami berbusana tak rapi, ia bisa mengutarakannya langsung dengan mengatakan, "Mas, aku enggak suka kalau Mas pake baju berantakan begitu." Sementara si suami tak lantas nyahut atau marah begitu saja mendengar komentar istrinya. Boleh jadi ia malah berterima kasih diingatkan, tapi tetap punya kesempatan untuk mengemukakan alasan kenapa ia berkebiasaan seperti itu. Atau malah dengan sukarela ia bersedia mengubah kebiasaan jeleknya.

Kesediaan menjalin komunikasi secara sehat ini juga membuat suami-istri tak pernah menyesali diri. Minimal, mereka takkan berpikir, "Lo, kok, dia begitu, sih?" Atau, "Ternyata aku menikah dengan orang aneh yang tak bisa kumengerti sama sekali." Yang ada justru kesadaran, "Saya bukan kamu" dan "Kamu bukan saya", serta beragam perbedaan lain di antara mereka berdua.

Bukan itu saja, mereka pun memiliki kesadaran sebagai pasangan yang telah menikah. Artinya, mereka telah berjanji di hadapan Tuhan untuk mengikatkan diri dalam sebuah lembaga perkawinan. Dengan demikian, mereka sudah diikat oleh sebuah tekad luhur untuk sama-sama membangun rumah tangga yang baik sesuai cita-cita. Menurut Astrid, bila komunikasi terjalin baik dan kedua belah pihak memiliki kesepakatan atau tekad luhur semacam itu, meski sudah berumur 50 tahun pun, perkawinan mereka akan awet.

CINTA BUKAN JAMINAN

Tentu saja, ujar Astrid, cinta juga perlu. Bukankah cinta membuat hidup dan perkawinan jadi indah? Tak ubahnya seperti dalam sinetron atau telenovela. Sebabnya, seperti disebut dalam berbagai teori mengenai cinta, dua orang yang saling mencintai biasanya saling menaruh sabar, saling memahami dan menerima kekurangan pasangan, selain berusaha memberikan yang terbaik buat pasangannya. Itu sebab, idealnya perkawinan memang terjadi antara dua orang yang saling mencintai.

Kendati begitu, tak berarti mereka yang menikah tanpa cinta tak berpeluang memperoleh kebahagiaan, lo. Bukankah tak sedikit pasangan yang menikah tanpa disertai rasa cinta tapi, toh, mereka tetap memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen, hingga tetap bisa terus bertahan? Pasalnya, mereka mau saling komunikasi, hingga jadi lebih saling mengenal.

Astrid lantas mencontohkan pasangan yang siap menikah dari segi usia, kemapanan ekonomi dan kematangan berpikir. "Boleh jadi mereka sebenarnya tak saling mencintai, tapi keduanya saling membutuhkan. Si wanita beranggapan bisa jadi ibu yang baik dan si pria bisa jadi ayah yang baik. Mereka punya kesamaan cara berpikir untuk membentuk perkawinan yang dilandasi komitmen, saling menghargai dan komunikasi yang baik."

Contoh lain, wanita yang menikahi pria kaya tapi wajahnya tak begitu tampan dan tak dicintai pula, hanya agar ia bisa hidup enak. Hal seperti ini, bilang direktur Locita Mandayaguna, biro konsultasi dan pengembangan SDM ini, "sah-sah saja, kok. Asalkan dalam perjalan perkawinan mereka, si istri betul-betul menyadari tugasnya sekaligus berusaha menjadi istri dan ibu yang baik." Begitu juga mereka yang menikah hanya dengan pemikiran agar martabat keluarganya terangkat atau lantaran butuh biaya besar untuk berobat orang tuanya yang sakit serius.

Jadi, meski kita menikah demi berbagai kepentingan tadi, tak masalah, kok, sepanjang bisa konsisten dengan pilihan itu. Disamping, mencoba masuk mendalami perannya, hingga pelan-pelan akan tumbuh penghargaan, tanggung jawab, bahkan mungkin cinta. Sementara tujuan awal yang dicanangkan semula, toh, bisa jadi rahasia pribadinya seumur hidup.

Sebaliknya, bilang Astrid, cinta yang menggebu-gebu pun bukan jaminan. Sebab, bila komunikasi di antara suami istri macet, perkawinan pun umumnya tak mampu bertahan lama. "Lo, cinta itu sendiri, kan, ada umurnya. Paling cuma berumur dua tahun, setelah itu menurun. Nah, bila komunikasi tak terjalin baik, sementara cinta sudah mencapai titik terendah, bisa ditebak bila di antara mereka yang ada cuma konflik melulu."

KEMATANGAN JIWA