Agar Perkawinan Awet

By nova.id, Jumat, 22 April 2011 | 23:09 WIB
Agar Perkawinan Awet (nova.id)

Dalam bahasa lain, cinta saja belum cukup bila tak disertai kematangan jiwa. Soalnya, kematangan jiwa inilah yang memungkinkan kita mampu menerima, terutama kekurangan pasangan. Disamping, mampu melihat berbagai persoalan dengan jernih tanpa luapan emosi, seperti meredam sesuatu yang memungkinkan munculnya konflik. Dalam bahasa lain, kita mampu bersikap bijaksana.

Misal, melihat suami datang dengan muka cemberut. "Istri yang punya kematangan jiwa takkan ikut-ikutan cemberut, tapi malah mengajaknya ngobrol tentang hal yang ringan-ringan atau mengajaknya nonton TV bersama, apalagi jika ada tayangan kesukaannya." Tentu saja tanpa menyinggung hal yang membuat si suami cemberut. Bila keadaan sudah memungkinkan dan dirasa perlu, bolehlah kita mengorek mengapa ia pulang dengan muka cemberut. "Biasanya jika sudah merasa agak lega, suami akan bercerita dengan sendirinya, kok."

Intinya, kita harus betul-betul mengerti kapan harus ngomong pada pasangan, kapan mesti bersikap diam, dan kapan pula sebaiknya bersikap pura-pura tak tahu. Tentu saja hal ini harus diupayakan oleh kedua belah pihak.

ORANG PERTAMA

Hal lain yang perlu disadari, kita harus menempatkan kepentingan pasangan di prioritas utama. Dengan begitu, siapa pun selain pasangan, pada hakekatnya merupakan bagian di luar kebersamaan/perkawinan. Jadi, kita harus menghargai pasangan melebihi penghargaan yang kita berikan pada orang lain, sekalipun orang lain itu adalah mertua atau orang tua. Hingga sekalipun ada persoalan apa saja, sebaiknya pasanganlah yang kita jadikan orang pertama untuk diajak bicara.

Salah besar pula bila kita lebih mendengarkan/mempercayai omongan pihak luar ketimbang omongan pasangan. Jikapun orang tua kita menilai pasangan enggak benar, kita tak dibenarkan ikut-ikutan menilai pasangan dari kacamata beliau. Soalnya, "ini, kan, sebetulnya masalah komitmen dan komunikasi dalam perkawinan." Begitu juga bila kakak/adik dari pihak kita yang meminta sesuatu, sebaiknya bicarakan dulu dengan pasangan. Jika ia tak setuju, kita pun harus sepakat untuk berani bilang, "Tidak!"

Namun jangan sampai salah satu pihak merasa tertekan, karena perkawinan milik bersama. Hingga, semua beban dan masalah yang ada dalam perkawinan menjadi urusan dan tanggung jawab bersama, dari masalah ekonomi, anak dan pekerjaan maupun kehidupan sosial, sampai urusan seksual.

Nah, Bu-Pak, kini makin paham, kan, gimana caranya membikin perkawinan langgeng? Ingat, lo, memutuskan menikah berarti sudah mengantar kita sampai pada pilihan terakhir. Artinya, kitalah yang harus menghargai pilihan itu sampai kapan pun, bahkan till death do us part .

 Yanti/Iman Dharma Setiawan/nakita