Lo, Kok, Melamun

By nova.id, Minggu, 7 Agustus 2011 | 01:14 WIB
Lo Kok Melamun (nova.id)

Asalkan melamunnya tak terus-menerus dan kalau diajak bicara masih nyambung, tak usah khawatir. Justru dari melamun, si kecil bisa kreatif.

Tak jarang kita saksikan, si kecil makan sambil melamun. Atau, lagi asyik-asyiknya bermain,tiba-tiba kita dapatkan ia tengah melamun. Bahkan, bukan tak mungkin kita pergoki ia tengah memandang ke luar jendela dengan pikiran menerawang.

Tentu wajar-wajar saja anak melamun. Apalagi bila ia pada dasarnya tak terlalu banyak bergerak alias tenang atau lebih ke arah sebagai pemikir. Jika diberi makanan pun, biasanya si pemikir akan diam dulu, baru kemudian dimakannya. Hanya saja, mikir-nya anak usia prasekolah bukan seperti mikir-nya orang dewasa dalam arti problem solving. Pada anak, jelas Lidia L. Hidajat, MPH, mikir-nya lebih ke arah mencerna hal-hal yang baru. "Ia akan terus bertanya mengapa hal ini terjadi, misal."

Nah, pada anak yang terbuka, lanjut dosen di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini, biasanya cenderung langsung bertanya pada orang tuanya, "Ma, kenapa, sih, lampu itu bisa mati? Kan, yang lain nyala," misal, atau ia malah langsung membongkar lampu yang membuatnya penasaran itu. Hal ini disebabkan, anak yang terbuka, reaksinya pada setiap kejadian langsung frontal. Tak demikian halnya dengan si tertutup, ia akan berpikir sendiri, "Kok, bisa, ya,lampu itu mati? Padahal, yang lain tetap menyala."

BERIMAJINASI

Jangan lupa, bilang Lidia, pada dasarnya anak usia prasekolah tengah berkembang aspek kognitifnya. Banyak hal baru yang tadinya (di usia sebelumnya) tak terpikir dan kurang diperhatikan, kini jadi menarik perhatiannya. Itulah mengapa, di awal usia ini, biasanya anak mulai banyak bertanya dan kebanyakan pertanyaannya membutuhkan jawaban berupa penjelasan sebab-akibat.

Selain itu, di usia prasekolah, anak juga banyak berfantasi. Ia sering teringat sesuatu yang menarik perhatiannya, lalu memikirkannya. Jadi, yang selama ini tak menarik perhatiannya, tapi ketika memori itu muncul, ia lantas berpikir, "Kemarin, film Putri Saljunya lucu juga, ya. Tapi warna bajunya apa, ya?" Lalu, ia membayangkan dirinya tengah berada di negeri dongeng tersebut menjadi si Putri Salju. Hal ini, menurut Lidia, merupakan suatu proses yang menjadi satu kesatuan dalam perkembangan kognitif, antara fantasi yang sedang berkembang dan memori bercampur.

Tak hanya itu, melamun pada anak juga merupakan hasil dari perkembangan emosinya, entah marah, takut, cemas, ataupun benci. Misal, si kecil benci pada anak tetangga yang bernama Doni dan ingin memukulnya tapi tak bisa, ia lantas berpikir, "Aduh, aku sebenarnya marah banget. Kemarin si Doni ngambil bonekaku tapi kalau aku pukul, gimana, ya. Nanti aku dipukul lagi dan aku juga dimarahin Bunda."

Bisa juga, melamunnya itu karena ia bosan sesuatu kegiatan. Misal, kala main dengan sepupunya dan si sepupu "bandel", ia akan berpikir, "Duh, kapan selesainya, ya?" Atau, melamunnya disebabkan ketidakminatannya terhadap apa yang dilakukannya ketika itu. Saat berada di kelas, misal, tiba-tiba ia diam karena ia tak terlalu in dengan apa yang dikatakan gurunya. "Biasanya ini terjadi pada anak yang masih kecil dan dipaksa 'sekolah'. Bisa saja, kan, ia melamun karena sebetulnya ia berusaha mencerna tapi tetap tak bisa, 'Ibu Guru ini ngomong apaan, sih?', misal. Akhirnya, fokus dia malah ke luar jendela karena di sana ada hal yang lebih menarik buatnya. Jadilah ia melamun, 'Duh, asyik kali, ya, kalau aku bisa ke luar kelas dan bermain di sana.' Nah, dari situ dia mulai berandai-andai."

Jadi, bilang Lidia, melamun pada anak harus dibedakan, apakah memang bawaan dia karena tipe mengamati, tak banyak omong, atau merupakan salah satu akibat dari kejadian tertentu.

INTERVENSI ORANG TUA

Yang patut diwaspadai, lanjut Lidia, bila perubahan yang terjadi sangat drastis. Misal, tadinya si kecil aktif sekali, tiba-tiba jadi suka melamun, atau melamunnya menjadi suatu kegiatan yang menyita hampir seluruh keseharian anak.