Asalkan melamunnya tak terus-menerus dan kalau diajak bicara masih nyambung, tak usah khawatir. Justru dari melamun, si kecil bisa kreatif.
Tak jarang kita saksikan, si kecil makan sambil melamun. Atau, lagi asyik-asyiknya bermain,tiba-tiba kita dapatkan ia tengah melamun. Bahkan, bukan tak mungkin kita pergoki ia tengah memandang ke luar jendela dengan pikiran menerawang.
Tentu wajar-wajar saja anak melamun. Apalagi bila ia pada dasarnya tak terlalu banyak bergerak alias tenang atau lebih ke arah sebagai pemikir. Jika diberi makanan pun, biasanya si pemikir akan diam dulu, baru kemudian dimakannya. Hanya saja, mikir-nya anak usia prasekolah bukan seperti mikir-nya orang dewasa dalam arti problem solving. Pada anak, jelas Lidia L. Hidajat, MPH, mikir-nya lebih ke arah mencerna hal-hal yang baru. "Ia akan terus bertanya mengapa hal ini terjadi, misal."
Nah, pada anak yang terbuka, lanjut dosen di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini, biasanya cenderung langsung bertanya pada orang tuanya, "Ma, kenapa, sih, lampu itu bisa mati? Kan, yang lain nyala," misal, atau ia malah langsung membongkar lampu yang membuatnya penasaran itu. Hal ini disebabkan, anak yang terbuka, reaksinya pada setiap kejadian langsung frontal. Tak demikian halnya dengan si tertutup, ia akan berpikir sendiri, "Kok, bisa, ya,lampu itu mati? Padahal, yang lain tetap menyala."
BERIMAJINASI
Jangan lupa, bilang Lidia, pada dasarnya anak usia prasekolah tengah berkembang aspek kognitifnya. Banyak hal baru yang tadinya (di usia sebelumnya) tak terpikir dan kurang diperhatikan, kini jadi menarik perhatiannya. Itulah mengapa, di awal usia ini, biasanya anak mulai banyak bertanya dan kebanyakan pertanyaannya membutuhkan jawaban berupa penjelasan sebab-akibat.
Selain itu, di usia prasekolah, anak juga banyak berfantasi. Ia sering teringat sesuatu yang menarik perhatiannya, lalu memikirkannya. Jadi, yang selama ini tak menarik perhatiannya, tapi ketika memori itu muncul, ia lantas berpikir, "Kemarin, film Putri Saljunya lucu juga, ya. Tapi warna bajunya apa, ya?" Lalu, ia membayangkan dirinya tengah berada di negeri dongeng tersebut menjadi si Putri Salju. Hal ini, menurut Lidia, merupakan suatu proses yang menjadi satu kesatuan dalam perkembangan kognitif, antara fantasi yang sedang berkembang dan memori bercampur.
Tak hanya itu, melamun pada anak juga merupakan hasil dari perkembangan emosinya, entah marah, takut, cemas, ataupun benci. Misal, si kecil benci pada anak tetangga yang bernama Doni dan ingin memukulnya tapi tak bisa, ia lantas berpikir, "Aduh, aku sebenarnya marah banget. Kemarin si Doni ngambil bonekaku tapi kalau aku pukul, gimana, ya. Nanti aku dipukul lagi dan aku juga dimarahin Bunda."
Bisa juga, melamunnya itu karena ia bosan sesuatu kegiatan. Misal, kala main dengan sepupunya dan si sepupu "bandel", ia akan berpikir, "Duh, kapan selesainya, ya?" Atau, melamunnya disebabkan ketidakminatannya terhadap apa yang dilakukannya ketika itu. Saat berada di kelas, misal, tiba-tiba ia diam karena ia tak terlalu in dengan apa yang dikatakan gurunya. "Biasanya ini terjadi pada anak yang masih kecil dan dipaksa 'sekolah'. Bisa saja, kan, ia melamun karena sebetulnya ia berusaha mencerna tapi tetap tak bisa, 'Ibu Guru ini ngomong apaan, sih?', misal. Akhirnya, fokus dia malah ke luar jendela karena di sana ada hal yang lebih menarik buatnya. Jadilah ia melamun, 'Duh, asyik kali, ya, kalau aku bisa ke luar kelas dan bermain di sana.' Nah, dari situ dia mulai berandai-andai."
Jadi, bilang Lidia, melamun pada anak harus dibedakan, apakah memang bawaan dia karena tipe mengamati, tak banyak omong, atau merupakan salah satu akibat dari kejadian tertentu.
INTERVENSI ORANG TUA
Yang patut diwaspadai, lanjut Lidia, bila perubahan yang terjadi sangat drastis. Misal, tadinya si kecil aktif sekali, tiba-tiba jadi suka melamun, atau melamunnya menjadi suatu kegiatan yang menyita hampir seluruh keseharian anak.
Bila demikian, ada 2 kemungkinan yang terjadi pada anak. Kemungkinan pertama, ia melamun karena ada sebab tertentu semisal sakit tapi tak bisa mengungkapkan sakitnya. "Jadi, ia hanya memikirkannya sendiri, 'Perutku, kok, rasanya seperti muter, ya,' tapi tak bisa ngomong dengan ibunya." Kemungkinan kedua, ada suatu kejadian yang menyita pikirannya, entah kejadian menyenangkan atau menyedihkan, tapi biasanya lebih banyak yang menyedihkan. Soalnya, jelas Lidia, sesuatu yang menyenangkan pada anak-anak, umumnya akan dikeluarkan. Sebaliknya, yang menyedihkan justru akan dipendam, "Kok, Bunda marah sama aku, ya?", misal.
Nah, bila dua kemungkinan ini yang terjadi pada anak, menurut Lidia, orang tua harus intervensi. "Awalnya dengan pengenalan orang tua terhadap irama anak sehari-harinya. Selanjutnya, cari tahu mengapa ia melamun." Dari sini kita musti pandai-pandai menggali apa yang ia rasakan; apakah lantaran berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, misal, berpisah dengan neneknya yang sudah tinggal di rumahnya selama sebulan. "Ia tak bisa mengungkapkan dengan rinci, 'Kok, Nenek enggak tinggal sama kita lagi? Kapan Nenek datang lagi?', misal." Atau, ia kehilangan teman yang selama ini dekat dengannya, hingga ia lantas melamunkannya, "Seandainya sekarang Odi masih ada, jam segini biasanya aku lagi main sepeda sama dia," misal.
Dengan kita intervensi, si kecil tak merasa sendirian lagi. Hingga, lama-lama keluar juga perasaannya, entah marah, takut, benci seseorang, sedih, atau menginginkan sesuatu yang tak terungkap, dan lainnya. Soalnya, jika perasaan yang terpendam itu didiamkan saja, dampaknya tak baik buat anak. Selain menyita banyak perhatian si anak, ia pun akan merasa tak enak. "Kejadian yang tak enak itu, kan, akan membekas padanya, hingga semua aktivitasnya jadi terganggu, makannya pun mungkin jadi tak benar, tidurnya tak tenang, dan sebagainya."
Hal lain yang harus diwaspadai, bila anak jadi pelamun terus ditanya enggak nyambung atau diam saja tak bereaksi, "berarti ia sudah keluar dari jalurnya. Bisa jadi ia mengarah ke autisme," bilang Lidia. Namun bila ia melamun dan kita bilang, misal, "Kak, sambil makan, ya?", lalu ia melamun sambil mengunyah makanannya, berarti ia hanya sedang memikirkan sesuatu, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
MELAHIRKAN KREATIVITAS
Jadi, bila melamunnya masih dalam batas wajar alias tak terlalu sering dan terus-menerus, menurut Lidia, kita tak usah terlalu khawatir, apalagi sampai berniat mengubahnya. Sebab, bisa jadi dari melamunnya itu akan melahirkan suatu kreativitas. Misal, kala sedang melamun, ia melihat burung sedang terbang dan berpikir, "Kok, burung bisa terbang, ya?", lalu cepat-cepat ia mengambil peralatan gambarnya dan menuangkannya dalam bentuk gambar, atau malah membuat burung-burungan dari kertas. "Bisa saja, kan, misal, ia kepingin menggambar, terus ia perlu waktu untuk duduk dulu. Kalau kebetulan rumahnya tingkat, ia ngeliatin mobil di bawah, 'O, mobil itu modelnya begitu.' Berarti, melamunnya untuk sesuatu yang produktif."
Jadi, sepanjang anak bahagia dengan melamun, bahkan mendorongnya jadi kreatif, senang baca, sering bertanya, tak perlulah kelewat dicemaskan. Namun tentu saja, untuk menjadikan lamunan berdampak positif buat si kecil, kita harus tahu dulu mengapa ia melamun dan apa hasilnya sesudah ia melamun. Untuk itu, kita perlu mengenali ritmenya secara keseluruhan dulu. Bila memang sehabis melamun ia bisa menghasilkan sebuah gambar, misal, ya, sudah, biarkan saja. Malah seharusnya kita dukung ia dengan membawanya ke tempat-tempat bagus agar kreativitasnya terus dirangsang hingga makin berkembang.
Namun demikian, kita tetap harus melakukan kontrol, apakah kontaknya dengan dunia luar masih ada atau tidak. "Bila ia ditanya tapi tak menjawab atau sibuk dengan dunianya sendiri, kita harus lebih aktif untuk menariknya dari dunia keduanya itu." Misal, "Kakak sudah lama banget diam di jendela. Yuk, bantuin Mama menjahit." Atau, alihkan si kecil pada aktivitas yang disukainya agar ia lupa dengan lamunannya. Pendeknya, kalau ia sudah kelamaan melamun, buat ia kembali beraktivitas. Perhatikan juga, bila tiap habis melamun, tidur malamnya tak tenang dan teriak-teriak, kita perlu bertanya-tanya, "Ada apa ini?"
Intinya, bilang Lidia, sering-seringlah mengajak anak berkomunikasi tentang hal-hal yang disenanginya, entah soal temannya, kegiatan yang telah dilakukannya, maupun hal-hal yang tengah dilamunkannya. Misal, "Kak, liatin apa, sih? Kok, sepertinya asyik banget. Bunda lihat juga, dong." Kalau ia tak bisa menjawab, kita harus terus bertanya, "Kakak ingat Eyang, ya?" Bila ia bilang, "Tidak," teruslah bertanya, "Kakak ingat teman?" atau "Ada yang sakit?" Jadi, kita harus membantu untuk mencari petunjuknya, karena mungkin saja ia tak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Begitu pun bila kita tahu melamunnya disebabkan sesuatu yang menyakitkan, meresahkan, menakutkan, atau membuatnya marah, tapi tak bisa diungkapkan, kita harus bantu mengatasinya dengan cara menanyakannya.
Achmad Suhendi
Anak Jadi Tertutup Karena Lingkungan
Lidia berpendapat, kecenderungan anak jadi tertutup atau terbuka, lingkunganlah yang berperan. "Jika pada dasarnya sejak kecil ia memang bayi yang anteng, tak pernah nyusahin orang tua, jarang menangis, kemudian orang tua juga tak pernah mengajak bicara, ya, jadilah anak yang tertutup," katanya. Namun bila orang tua berpikir, "Kok, anakku jarang menangis, jarang ngomong," lantas mencoba terus agar si anak selalu mengungkapkan isi pikirannya, biasanya anak pun akan mau bersikap terbuka. Apalagi kalau sudah punya teman bermain, akan lebih menetralisir lagi ketertutupannya.
Cari Perhatian
Tak jarang, anak melakukan sesuatu sebagai upaya menarik perhatian orang tua. Nah, pada melamun, menurut Lidia, bisa juga disebabkan anak ingin mendapatkan perhatian. Namun, hal ini hanya bisa terjadi pada anak yang sangat kering kasing sayang. "Dia tahu kalau dia diam saja sambil mikir-mikir, maka dia akan mendapatkan perhatian, pasti didekati orang tua, 'Kenapa, sih, Kakak diam saja? Ayo, dong, makan,' misal." Bila demikian, tentulah kita harus introspeksi diri, mengapa si kecil sampai minim kasih sayang dan perhatian kita.