Lo, Kok, Melamun

By nova.id, Minggu, 7 Agustus 2011 | 01:14 WIB
Lo Kok Melamun (nova.id)

Bila demikian, ada 2 kemungkinan yang terjadi pada anak. Kemungkinan pertama, ia melamun karena ada sebab tertentu semisal sakit tapi tak bisa mengungkapkan sakitnya. "Jadi, ia hanya memikirkannya sendiri, 'Perutku, kok, rasanya seperti muter, ya,' tapi tak bisa ngomong dengan ibunya." Kemungkinan kedua, ada suatu kejadian yang menyita pikirannya, entah kejadian menyenangkan atau menyedihkan, tapi biasanya lebih banyak yang menyedihkan. Soalnya, jelas Lidia, sesuatu yang menyenangkan pada anak-anak, umumnya akan dikeluarkan. Sebaliknya, yang menyedihkan justru akan dipendam, "Kok, Bunda marah sama aku, ya?", misal.

Nah, bila dua kemungkinan ini yang terjadi pada anak, menurut Lidia, orang tua harus intervensi. "Awalnya dengan pengenalan orang tua terhadap irama anak sehari-harinya. Selanjutnya, cari tahu mengapa ia melamun." Dari sini kita musti pandai-pandai menggali apa yang ia rasakan; apakah lantaran berpisah dengan orang-orang yang dicintainya, misal, berpisah dengan neneknya yang sudah tinggal di rumahnya selama sebulan. "Ia tak bisa mengungkapkan dengan rinci, 'Kok, Nenek enggak tinggal sama kita lagi? Kapan Nenek datang lagi?', misal." Atau, ia kehilangan teman yang selama ini dekat dengannya, hingga ia lantas melamunkannya, "Seandainya sekarang Odi masih ada, jam segini biasanya aku lagi main sepeda sama dia," misal.

Dengan kita intervensi, si kecil tak merasa sendirian lagi. Hingga, lama-lama keluar juga perasaannya, entah marah, takut, benci seseorang, sedih, atau menginginkan sesuatu yang tak terungkap, dan lainnya. Soalnya, jika perasaan yang terpendam itu didiamkan saja, dampaknya tak baik buat anak. Selain menyita banyak perhatian si anak, ia pun akan merasa tak enak. "Kejadian yang tak enak itu, kan, akan membekas padanya, hingga semua aktivitasnya jadi terganggu, makannya pun mungkin jadi tak benar, tidurnya tak tenang, dan sebagainya."

Hal lain yang harus diwaspadai, bila anak jadi pelamun terus ditanya enggak nyambung atau diam saja tak bereaksi, "berarti ia sudah keluar dari jalurnya. Bisa jadi ia mengarah ke autisme," bilang Lidia. Namun bila ia melamun dan kita bilang, misal, "Kak, sambil makan, ya?", lalu ia melamun sambil mengunyah makanannya, berarti ia hanya sedang memikirkan sesuatu, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

MELAHIRKAN KREATIVITAS

Jadi, bila melamunnya masih dalam batas wajar alias tak terlalu sering dan terus-menerus, menurut Lidia, kita tak usah terlalu khawatir, apalagi sampai berniat mengubahnya. Sebab, bisa jadi dari melamunnya itu akan melahirkan suatu kreativitas. Misal, kala sedang melamun, ia melihat burung sedang terbang dan berpikir, "Kok, burung bisa terbang, ya?", lalu cepat-cepat ia mengambil peralatan gambarnya dan menuangkannya dalam bentuk gambar, atau malah membuat burung-burungan dari kertas. "Bisa saja, kan, misal, ia kepingin menggambar, terus ia perlu waktu untuk duduk dulu. Kalau kebetulan rumahnya tingkat, ia ngeliatin mobil di bawah, 'O, mobil itu modelnya begitu.' Berarti, melamunnya untuk sesuatu yang produktif."

Jadi, sepanjang anak bahagia dengan melamun, bahkan mendorongnya jadi kreatif, senang baca, sering bertanya, tak perlulah kelewat dicemaskan. Namun tentu saja, untuk menjadikan lamunan berdampak positif buat si kecil, kita harus tahu dulu mengapa ia melamun dan apa hasilnya sesudah ia melamun. Untuk itu, kita perlu mengenali ritmenya secara keseluruhan dulu. Bila memang sehabis melamun ia bisa menghasilkan sebuah gambar, misal, ya, sudah, biarkan saja. Malah seharusnya kita dukung ia dengan membawanya ke tempat-tempat bagus agar kreativitasnya terus dirangsang hingga makin berkembang.

Namun demikian, kita tetap harus melakukan kontrol, apakah kontaknya dengan dunia luar masih ada atau tidak. "Bila ia ditanya tapi tak menjawab atau sibuk dengan dunianya sendiri, kita harus lebih aktif untuk menariknya dari dunia keduanya itu." Misal, "Kakak sudah lama banget diam di jendela. Yuk, bantuin Mama menjahit." Atau, alihkan si kecil pada aktivitas yang disukainya agar ia lupa dengan lamunannya. Pendeknya, kalau ia sudah kelamaan melamun, buat ia kembali beraktivitas. Perhatikan juga, bila tiap habis melamun, tidur malamnya tak tenang dan teriak-teriak, kita perlu bertanya-tanya, "Ada apa ini?"

Intinya, bilang Lidia, sering-seringlah mengajak anak berkomunikasi tentang hal-hal yang disenanginya, entah soal temannya, kegiatan yang telah dilakukannya, maupun hal-hal yang tengah dilamunkannya. Misal, "Kak, liatin apa, sih? Kok, sepertinya asyik banget. Bunda lihat juga, dong." Kalau ia tak bisa menjawab, kita harus terus bertanya, "Kakak ingat Eyang, ya?" Bila ia bilang, "Tidak," teruslah bertanya, "Kakak ingat teman?" atau "Ada yang sakit?" Jadi, kita harus membantu untuk mencari petunjuknya, karena mungkin saja ia tak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Begitu pun bila kita tahu melamunnya disebabkan sesuatu yang menyakitkan, meresahkan, menakutkan, atau membuatnya marah, tapi tak bisa diungkapkan, kita harus bantu mengatasinya dengan cara menanyakannya.

Achmad Suhendi

 Anak Jadi Tertutup Karena Lingkungan

Lidia berpendapat, kecenderungan anak jadi tertutup atau terbuka, lingkunganlah yang berperan. "Jika pada dasarnya sejak kecil ia memang bayi yang anteng, tak pernah nyusahin orang tua, jarang menangis, kemudian orang tua juga tak pernah mengajak bicara, ya, jadilah anak yang tertutup," katanya. Namun bila orang tua berpikir, "Kok, anakku jarang menangis, jarang ngomong," lantas mencoba terus agar si anak selalu mengungkapkan isi pikirannya, biasanya anak pun akan mau bersikap terbuka. Apalagi kalau sudah punya teman bermain, akan lebih menetralisir lagi ketertutupannya.

Cari Perhatian

Tak jarang, anak melakukan sesuatu sebagai upaya menarik perhatian orang tua. Nah, pada melamun, menurut Lidia, bisa juga disebabkan anak ingin mendapatkan perhatian. Namun, hal ini hanya bisa terjadi pada anak yang sangat kering kasing sayang. "Dia tahu kalau dia diam saja sambil mikir-mikir, maka dia akan mendapatkan perhatian, pasti didekati orang tua, 'Kenapa, sih, Kakak diam saja? Ayo, dong, makan,' misal." Bila demikian, tentulah kita harus introspeksi diri, mengapa si kecil sampai minim kasih sayang dan perhatian kita.