Dear Ibu Rieny,
Salam hangat, Bu. Usia saya 25 tahun. Sewaktu kuliah mempunyai pacar yang hingga hari ini masih membuat sakit hati. Cinta itu buta? Bener banget, waktu itu saya BUTA PARAH karena cinta.. Pacar saya, G, tipe yang manja. Apapun yang dia minta, selalu saya penuhi. Sulit belajar, saya selalu mengajari sampai prestasi sendiri anjlok.
Dulu, saya naif karena merasa G adalah cinta pertama. Saya setia dan berharap bahwa G adalah cowok pertama dan terakhir. Keluarga sangat menentang hubungan ini karena kami sebaya dan berbeda agama. Ibu saya selalu menasihati agar saya memutuskan G, tapi saya ngotot dan ini sangat saya sesali.
G sendiri bersikap tarik ulur dalam menyayangi saya. Saat tidak perlu, saya diabaikan di depan teman-temannya dan hanya diakui adik. Namun saat butuh saya, G bersikap lembut dan membuat saya luluh. G tahu kelemahan saya, sehingga bisa seenaknya menginjak perasaan dan harga diri saya. Yang membuat menyesal adalah saya sempat nekat kabur bersama dia karena ibu menekan untuk memutuskan G.
Namun, apa yang saya dapatkan? G dengan entengnya berkata "Kita putus aja, yah, kayaknya Ibumu susah dibuat mengerti." Mendengar itu, saya sangat sedih dan syok. "Kamu pulang aja, kita enggak ada hubungan apa-apa lagi, nanti aku yang disalahkan karena kamu kabur." Saya sedih, menyadari bahwa kata-kata Ibu benar sekali.
Setelah putus, saya melanjutkan kuliah dan memperbaiki hubungan dengan keluarga. G sempat meminta balik, memohon, menyesal, namun saya tolak karena mati rasa. Eh, G menfitnah saya di depan teman-teman bahwa saya ini cewek jahat.
G mengubah saya menjadi wanita yang tidak percaya kepada pria. Saya lalu berpacaran sebanyak empat kali namun semua berakhir karena saya selingkuh. Saya menjadi cepat bosan, penuntut, tidak setia dan tidak mencintai pasangan dengan tulus. Jauh dalam hati, saya merasa ketakutan jika hanya akan disakiti dan ditinggalkan lagi.
Saya sempat bingung, sebenarnya apa yang saya cari dalam diri seorang pria? Mantan saya yang terakhir, sebut saja A, dia baik, setia, selalu mengalah, dan sangat sayang. Saat kami terpaksa berhubungan jarak jauh karena saya bekerja di luar kota setelah lulus, saya merasa single lagi dan tidak peduli dengan tiga tahun hubungan kami.
Ada teman kantor, S, yang mendekati. Saya hanya sebulan terbuai oleh S, karena dia pintar dan lebih dewasa dibandingkan A. Ketika A tahu saya tidak setia, kami putus. Saat itulah saya sadar bahwa saya sama dengan G! Saya orang brengsek yang tega menyakiti pasangan yang sangat tulus menyayangi saya.
Setelah berpisah dengan A dan pacaran dengan S, justru mata saya terbuka dan menyadari bahwa menilai seorang pria bukan hanya dari 1-2 kelebihan mereka, tetapi lihat kekurangannya dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Saya lelah dan ingin putus dari S karena tidak mencintai S. Saya hanya terpesona sesaat dengan kelebihannya dan lupa bahwa ketidakcocokan kami lebih banyak.
Bu, bagaimana cara supaya saya bisa kembali menjadi wanita yang setia? Saya ingin seperti dulu, dapat mencintai pasangan dengan tulus. Tanpa dihantui perasaan takut ditinggalkan ataupun disakiti lagi, namun tetap menggunakan akal sehat dalam mencintai seseorang.
Tolong Bu, saya sudah lelah menyakiti orang yang sayang kepada saya. Saya tidak meminta kembali kepada A, karena saya sadar A akan lebih bahagia dengan wanita lain yang lebih baik dari saya. Saya ingin memperbaiki diri dan hati saya Bu, supaya saya mampu menebus dosa saya kepada A dan bertemu dengan 'The Right One' suatu saat nanti. Terima kasih. Salam hangat.