Membangkitkan Romantisme

By nova.id, Selasa, 26 April 2011 | 17:02 WIB
Membangkitkan Romantisme (nova.id)

Kategori lain, yaitu companion/pertemanan, juga penting dalam sebuah perkawinan, tapi bukan penentu. Itu sebab, perkawinan yang kemudian berubah menjadi companionship atau bentuk perkawanan semata-mata, tak lagi merupakan perkawinan dalam arti sebenarnya. "Lo, kalau cuma sebatas berkawan, apa artinya perkawinan? Jadi, memang tetap harus ada passionate-nya." Kendati begitu, bukan berarti unsurnya lantas cuma gairah atau nafsu seksual belaka, lo.

Pasalnya, passionate love dibangun oleh 3 elemen utama, yakni kedekatan fisik, kedekatan psikologis, dan caring for need of each other atau kepedulian untuk saling memperhatikan kebutuhan pasangan. Ketiga elemen inilah yang membuat romantisme tetap bisa dirasakan oleh masing-masing pihak, sekalipun mereka sesekali tengah berjauhan/tak bersama. Paling tidak, pada saat-saat seperti itu ada kecemasan/kekhawatiran karena unsur caring tadi, semisal, "Nanti siapa yang anterin istriku, ya, kalau harus pergi malam?" Atau, "Aduh, gimana kalau di sana suamiku sakit? Siapa yang ngurusin?"

Hingga, memang mustahil, deh, mempertahankan romantisme perkawinan jika suami-istri tak lagi saling "menyentuh" atau yang lebih parah, tak lagi saling memiliki kebutuhan untuk berdekatan secara fisik dengan pasangan. Soalnya, kedekatan fisik dan emosi harus ada dalam hubungan suami-istri, sekaligus menjadi salah satu dimensi psikologis dari romantisme perkawinan.

HARUS JUJUR

Makanya, bilang Rieny, mereka yang mampu bertahan menjalani perkawinan jarak jauh untuk rentang waktu lama, boleh dibilang beruntung mengingat hubungan mereka sebetulnya teramat rawan. Pasalnya, akan selalu ada saat-saat di mana suami ingin berdekatan dengan istrinya atau istri ingin dibelai-belai manja oleh suaminya. Tanpa harus banyak omong, kedekatan mereka seolah mengatakan, "Kamu capek, ya?", atau "Saya tahu kamu sedang punya masalah." Pengertian begini, kan, akan sangat membantu meringankan beban hatinya, jika benar ada.

Hanya saja, romantisme menuntut kejujuran sebagai salah satu prasyarat. Omong kosong, kan, Bu-Pak, kalau kita berharap bisa membangun romantisme dalam rumah tangga, sementara pada saat bersamaan kita memendam amarah, menyimpan dendam pada pasangan, dan membiarkan konflik tak terselesaikan? Tanpa kejujuran, yang ada cuma kepalsuan dan kemunafikan. Bisa saja terlihat romantis, tapi hanya artifisial alias cuma bersandiwara. Secara psikologis, bilang Rieny, hubungan semacam itu jelas enggak sehat. Misal, saling gandengan mesra dan memanggil "Sayang" atau "Darling" di depan banyak orang, tapi ternyata masing-masing punya darling sendiri di luaran. Kacau,kan, Bu-Pak?

Soalnya, apa, sih, yang terbayang di benak kita kalau ada yang bisik-bisik memberi komentar, "Ih... pasangan itu romantis banget, ya!" Pasti, kan, lantaran pasangan itu selalu jalan bergandengan, ke mana-mana selalu berdua, dan terlihat mesra terus. Misal, istri selalu mengambilkan minum begitu suami pulang kantor atau suami yang amat telaten membukakan kulit durian kala istrinya ingin menikmati buah beraroma tajam itu, dan lainnya.

POLA KOMUNIKASI

Jadi, esensi sebuah perkawinan memang caring of each other tadi. Hingga, tegas Rieny, bila kepedulian hanya muncul sepihak atau cuma salah satu saja yang happy sementara pasangannya menderita habis-habisan, "Itu, mah, namanya pemanfaatan atau penindasan!" Nah, agar tak terjadi hal demikian, suami dan istri harus diingatkan kembali pada komitmen mereka semula, termasuk mempertanyakan, "untuk apa mereka melangsungkan perkawinan." Cari selamat sendiri, sekadar nutup malu/gengsi, atau memang benar-benar tulus mencintai pasangannya?

Selanjutnya, jabarkan komitmen tadi dalam keseharian berupa langkah-langkah nyata. Artinya, masing-masing tahu betul apa yang harus diupayakannya agar perkawinan mereka langgeng. Sekaligus yakin bahwa pasangannya mengerti apa yang dilakukannya buat pasangan dan keluarga. Enggak sedikit, kan, suami/istri mengklaim, "Lo, aku sudah begini-begitu, kok, buat dia," sementara pasangannya dengan enteng mengatakan, "Oh, maksudmu begitu? Selama ini aku enggak merasa, tuh, kamu berbuat begitu untukku."

Kalau pola komunikasi semacam itu yang terbentuk, bilang Rieny, berarti masing-masing belum mengkomunikasikan apa yang diinginkan/diharapkannya dari pasangan maupun apa yang ingin pasangan lakukan untuk dirinya. Seharusnya, masing-masing mesti mencoba memahami pasangan sekaligus menjadikan dirinya sebagai centre of attention atau minimal menjadi bagian dari kesadarannya. Dengan begitu, masing-masing pun wajib memperhatikan kenyamanan/kesejahteraan psikologis pasangannya. Pemahaman inilah, menurut Rieny, yang menjadi akar dari terciptanya caring of each other.

SELESAIKAN KONFLIK