Membangkitkan Romantisme

By nova.id, Selasa, 26 April 2011 | 17:02 WIB
Membangkitkan Romantisme (nova.id)

Jangan salah, romantisme bukan cuma milik mereka yang lagi pacaran. Tiap perkawinan, berapa pun usianya, juga harus punya. Toh, caranya pun gampang.

Sayangnya, setelah buah hati tercinta hadir, waktu seolah habis terkuras hanya untuk mengurus si kecil, hingga pasangan pun terabaikan. Biasanya ini kerap terjadi pada para ibu. Tak heran jika banyak istri beralasan tak punya waktu lagi untuk suami karena repot ngurusin anak. Padahal, alasan klise ini sama saja dengan si istri mendeklarasikan bahwa suaminya tak masuk hitungan atau berada dalam skala prioritas hidupnya. "Ya, enggak bisa begitu, dong! Siapa, sih, yang mau dinomorsekiankan? Sekalipun yang jadi saingan adalah anak sendiri," bilang psikolog Dra. Rieny Hassan.

Belum lagi anggapan bawah sadar mayoritas perempuan bahwa kalau sudah punya anak, suami enggak bakal "lari" ke mana-mana. "Ini anggapan yang salah!" tegas pengasuh rubrik Konsultasi Psikologi Tabloid NOVA ini. Meski, diakuinya, kalau sudah punya anak, suami memang akan berpikir 1000 kali bila ingin meninggalkan istrinya. "Tapi, apakah dengan demikian perkawinan mereka bisa dibilang tetap sehat? Harus dipertanyakan lagi, kan?"

Terlebih, dengan adanya anggapan salah tersebut, para ibu jadi tak tega meninggalkan buah hatinya hanya untuk keluar berduaan dengan suaminya. Padahal, anak, kan, enggak harus dibawa-bawa ke mana pun orang tuanya pergi. "Wah, kalau begini caranya, lantas kapan ada physical intimacy di antara mereka?" ujar alumnus Fakultas Psikologi UI ini. Soalnya, kedekatan hubungan suami-istri takkan tercipta jika sebentar-sebentar ada gangguan berupa teriakan atau rengekan si kecil.

KENYAMANAN PSIKOLOGIS

Tentu saja tak semua istri bersikap demikian, ya, Bu. Para suami pun ada yang menomorsatukan anak hingga mengabaikan istrinya. Yang jelas, Bu-Pak, kita tak dibenarkan menciptakan ketergantungan mutlak anak pada ayah atau ibunya karena tak baik dampaknya buat perkembangan si kecil. Selain, tentunya juga berdampak pada hilangnya romantisme di antara kita dan pasangan.

Jadi, kita tetap harus punya waktu untuk pasangan. Malah, kata Rienny, kita harus menyediakan waktu khusus untuk berduaan saja dengan pasangan. "Kalau enggak sengaja dijadwalkan, jangan pernah mimpi bakal ada waktu luang, deh!" Itulah, pentingnya manajerial waktu yang selamanya akan tetap sama, 24 jam sehari.

Lagi pula, tegas Rieny, memiliki anak sebenarnya juga bukan merupakan satu-satunya tujuan perkawinan. Itu sebab, sekalipun sudah punya anak, harus tetap ada perhatian untuk pasangan. "Anak, kan, bukan 'paspor' yang akan mengantar suami-istri pada perkawinan yang secara otomatis utuh dan bahagia tanpa mereka sendiri saling mengupayakan kebahagiaan," terangnya.

Selain itu, perhatian pada anak dan pasangan merupakan dua hal berbeda. Kepada anak, kita wajib membantunya agar survive, antara lain dengan mengupayakan kondisi kesehatan yang prima, hingga bisa berkembang optimal sesuai tahapan usianya. Disamping memberikan pengasuhan dan pendidikan yang baik tentunya.

Sementara kepada pasangan, perhatian kita lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhannya akan kenyamanan psikologis. Salah satunya, cermat melihat perubahan-perubahan yang terjadi mengingat manusia selalu berubah, selain senantiasa berusaha menjadikan diri kita tetap bisa tune dengannya. Artinya, kita selalu menyejajarkan diri dan menyamakan langkah agar tak ada kesenjangan. Nah, salah satu upaya menyamakan langkah adalah memelihara romantisme dengan pasangan.

TIGA ELEMEN UTAMA

Dalam teori cinta, terang Rieny selanjutnya, romantisme masuk kategori passionate love yang mendorong pria dan wanita memutuskan untuk menikah sekaligus mengokohkan perkawinan. Soalnya, romantisme merupakan serangkaian acting untuk merefleksikan rasa cinta dan care of each other melalui aktivitas-aktivitas yang bisa "dibaca" dan dirasakan pasangan.

Kategori lain, yaitu companion/pertemanan, juga penting dalam sebuah perkawinan, tapi bukan penentu. Itu sebab, perkawinan yang kemudian berubah menjadi companionship atau bentuk perkawanan semata-mata, tak lagi merupakan perkawinan dalam arti sebenarnya. "Lo, kalau cuma sebatas berkawan, apa artinya perkawinan? Jadi, memang tetap harus ada passionate-nya." Kendati begitu, bukan berarti unsurnya lantas cuma gairah atau nafsu seksual belaka, lo.

Pasalnya, passionate love dibangun oleh 3 elemen utama, yakni kedekatan fisik, kedekatan psikologis, dan caring for need of each other atau kepedulian untuk saling memperhatikan kebutuhan pasangan. Ketiga elemen inilah yang membuat romantisme tetap bisa dirasakan oleh masing-masing pihak, sekalipun mereka sesekali tengah berjauhan/tak bersama. Paling tidak, pada saat-saat seperti itu ada kecemasan/kekhawatiran karena unsur caring tadi, semisal, "Nanti siapa yang anterin istriku, ya, kalau harus pergi malam?" Atau, "Aduh, gimana kalau di sana suamiku sakit? Siapa yang ngurusin?"

Hingga, memang mustahil, deh, mempertahankan romantisme perkawinan jika suami-istri tak lagi saling "menyentuh" atau yang lebih parah, tak lagi saling memiliki kebutuhan untuk berdekatan secara fisik dengan pasangan. Soalnya, kedekatan fisik dan emosi harus ada dalam hubungan suami-istri, sekaligus menjadi salah satu dimensi psikologis dari romantisme perkawinan.

HARUS JUJUR

Makanya, bilang Rieny, mereka yang mampu bertahan menjalani perkawinan jarak jauh untuk rentang waktu lama, boleh dibilang beruntung mengingat hubungan mereka sebetulnya teramat rawan. Pasalnya, akan selalu ada saat-saat di mana suami ingin berdekatan dengan istrinya atau istri ingin dibelai-belai manja oleh suaminya. Tanpa harus banyak omong, kedekatan mereka seolah mengatakan, "Kamu capek, ya?", atau "Saya tahu kamu sedang punya masalah." Pengertian begini, kan, akan sangat membantu meringankan beban hatinya, jika benar ada.

Hanya saja, romantisme menuntut kejujuran sebagai salah satu prasyarat. Omong kosong, kan, Bu-Pak, kalau kita berharap bisa membangun romantisme dalam rumah tangga, sementara pada saat bersamaan kita memendam amarah, menyimpan dendam pada pasangan, dan membiarkan konflik tak terselesaikan? Tanpa kejujuran, yang ada cuma kepalsuan dan kemunafikan. Bisa saja terlihat romantis, tapi hanya artifisial alias cuma bersandiwara. Secara psikologis, bilang Rieny, hubungan semacam itu jelas enggak sehat. Misal, saling gandengan mesra dan memanggil "Sayang" atau "Darling" di depan banyak orang, tapi ternyata masing-masing punya darling sendiri di luaran. Kacau,kan, Bu-Pak?

Soalnya, apa, sih, yang terbayang di benak kita kalau ada yang bisik-bisik memberi komentar, "Ih... pasangan itu romantis banget, ya!" Pasti, kan, lantaran pasangan itu selalu jalan bergandengan, ke mana-mana selalu berdua, dan terlihat mesra terus. Misal, istri selalu mengambilkan minum begitu suami pulang kantor atau suami yang amat telaten membukakan kulit durian kala istrinya ingin menikmati buah beraroma tajam itu, dan lainnya.

POLA KOMUNIKASI

Jadi, esensi sebuah perkawinan memang caring of each other tadi. Hingga, tegas Rieny, bila kepedulian hanya muncul sepihak atau cuma salah satu saja yang happy sementara pasangannya menderita habis-habisan, "Itu, mah, namanya pemanfaatan atau penindasan!" Nah, agar tak terjadi hal demikian, suami dan istri harus diingatkan kembali pada komitmen mereka semula, termasuk mempertanyakan, "untuk apa mereka melangsungkan perkawinan." Cari selamat sendiri, sekadar nutup malu/gengsi, atau memang benar-benar tulus mencintai pasangannya?

Selanjutnya, jabarkan komitmen tadi dalam keseharian berupa langkah-langkah nyata. Artinya, masing-masing tahu betul apa yang harus diupayakannya agar perkawinan mereka langgeng. Sekaligus yakin bahwa pasangannya mengerti apa yang dilakukannya buat pasangan dan keluarga. Enggak sedikit, kan, suami/istri mengklaim, "Lo, aku sudah begini-begitu, kok, buat dia," sementara pasangannya dengan enteng mengatakan, "Oh, maksudmu begitu? Selama ini aku enggak merasa, tuh, kamu berbuat begitu untukku."

Kalau pola komunikasi semacam itu yang terbentuk, bilang Rieny, berarti masing-masing belum mengkomunikasikan apa yang diinginkan/diharapkannya dari pasangan maupun apa yang ingin pasangan lakukan untuk dirinya. Seharusnya, masing-masing mesti mencoba memahami pasangan sekaligus menjadikan dirinya sebagai centre of attention atau minimal menjadi bagian dari kesadarannya. Dengan begitu, masing-masing pun wajib memperhatikan kenyamanan/kesejahteraan psikologis pasangannya. Pemahaman inilah, menurut Rieny, yang menjadi akar dari terciptanya caring of each other.

SELESAIKAN KONFLIK

Menjaga hubungan baik sekaligus memelihara romantisme suami-istri memang harus diupayakan secara simultan. Soalnya, kalau sudah terjadi deviasi/penyimpangan dalam perkawinan, komunikasi di antara suami-istri juga enggak akan pernah nyambung. Misal, suami ngajak makan di luar atau membelikan hadiah mahal, istri bukan berterima kasih tapi malah menanggapinya dengan kecurigaan atau pasang muka asem. Hingga niat suami untuk menyenangkan hati istri tak terkomunikasikan, sementara suasana jadi berkembang kian tak sehat.

Romantisme pun hanya akan bisa dirasakan kalau kita enggak "muak" melihat pasangan. Karena konflik yang tak terselesaikan di antara suami-istri pasti akan senantiasa menjadi batu sandungan bagi hubungan mereka. Bisa ditebak, kan, apa yang terjadi bila pasangan yang "menyebalkan" tiba-tiba mengajak makan malam lengkap dengan candle light-nya? Boro-boro, deh, menilainya romantis! Besar kemungkinan yang diajak malah akan ngomel berkepanjangan, "Ngapain makan gelap-gelapan begini?" Atau, "Hambur-hamburin uang saja!"

Namun bukan berarti perkawinan yang romantis itu enggak ada konfliknya, lo. Justru kalau tanpa konflik, perkawinan tersebut patut diragukan. Soalnya, perkawinan tanpa konflik berarti menyimpan segudang kebohongan. Bisa juga lantaran ada pihak tertentu, entah suami atau istri, yang tak berani mengutarakan permasalahannya. Alasannya bisa beragam, dari ketidaksetaraan hingga bosan, yang akhirnya memunculkan sikap "pasrah", "Capek, deh, gue ngomongin-nya. Habis, percuma aja, enggak bakal ada penyelesaiannya."

TAK PERLU MEWAH

Jadi, baik perkawinan yang tanpa konflik maupun yang dengan konflik tak pernah terselesaikan, sama-sama tak ada romantismenya. Itulah mengapa, kejujuran mutlak ada dalam perkawinan dan setiap permasalahan harus dicarikan solusinya agar tak berlarut-larut. Dengan demikian, barulah bisa tercipta romantisme di antara suami-istri.

Bukankah bila hubungan satu sama lain tak bermasalah, penerimaan mereka pun akan terasa positif? Hingga, akan selalu saja ada hal-hal kecil yang makin mempererat hubungan mereka. Misal, suami kelewat mengantuk dan lelah tapi masih sempat melakukan sentuhan-sentuhan yang menyatakan kehangatan, "Kulitmu masih halus, lo," atau "Mata indahmu ini yang dulu bikin aku tergila-gila," dan seterusnya.

Menurut Rieny, hal-hal sederhana semacam itu menunjukkan adanya apresiasi sekaligus penerimaan dari pasangan. Jadi, enggak usah repot-repot mengartikan romantisme dengan kemewahan yang harus dibayar mahal seperti makan di restoran, bermalam di hotel berbintang, atau tamasya ke luar negeri, dan lainnya. Setiap kesempatan dalam keseharian, termasuk jalanan macet pun, bisa kita manfaatkan untuk membangkitkan romantisme dengan pasangan, lo! Begitu juga menatap penuh kekaguman, memberi pujian yang tulus pada pasangan, memeluk bahunya, dan menggandeng tangannya saja sudah merupakan ekspresi rasa sayang dan kepedulian kita pada pasangan.

Tentu saja, bagaimana bentuk romantisme terpulang pada budaya keluarga asal yang bersangkutan. Yang jelas, siapa pun pada dasarnya bisa mengupayakan kehangatan dan kepedulian satu sama lain, meski ekspresinya tak mungkin sama persis karena sifatnya memang sangat individual. Mereka yang dibesarkan dalam keluarga "kuno", misal, boleh jadi akan menganggap keterlaluan bila suami-istri sun-sun-an di depan anak. Meski hal itu boleh-boleh saja dilakukan, asalkan tak mengarah pada hubungan seksual semisal ciuman yang dibarengi nafsu sampai mendengus-dengus. Jadi, kalau cuma sebatas ekspresi kasih sayang, sih, tak masalah. Justru dengan melihat ayah-ibunya menjalin romantisme, si kecil jadi tahu betapa ayah-ibunya saling menyayangi. Bukankah ini juga satu bentuk pembelajaran kasih sayang pada anak?

 Kunjungi Tempat Bersejarah

Ini cara gampang membangkitkan romantisme. Apalagi, manusia pada dasarnya makhluk sejarah. Nah, mengapa tak menikmati makan di restoran atau bahkan di warung pinggir jalan yang dulu semasa pacaran jadi tempat favorit, misal? "Ini, kan, bisa membangkitkan kenangan karena semua kejadian terekam di otak, lengkap dengan emosi yang menyertainya saat itu," bilang Rieny. Jadi, saat kita mendatangi lagi tempat tertentu yang memberi kenangan manis, secara otomatis ada bagian otak yang akan me-recall kenangan beserta emosi yang menyertainya. Kendati begitu, bukan berarti kalau kita tak bisa mengunjungi tempat penuh kenangan, lantas kita tak lagi punya romantisme, lo. Bukankah romantisme bisa diciptakan dari berbagai kesempatan dalam keseharian?

Bersikap Romantis Bukan Ajakan Berintim-intim

Ini yang seringkali terjadi, suami menyalahartikan romantisme yang ditunjukkan istri sebagai ajakan untuk berhubungan seks. Padahal, tujuan istri cuma ingin bermesraan atau berkangen-kangenan, misal. Kalau sudah begitu, bukan tak mungkin timbul konflik. Itu sebab, Rieny menganjurkan agar masing-masing pihak berusaha memahami pasangannya, termasuk pemahaman bahwa secara biologis laki-laki memang lebih mudah terangsang daripada perempuan. Selain perbedaan mendasar bahwa perempuan mesti tersentuh dulu emosinya sebelum sexual arrousel-nya muncul. Sementara laki-laki, tanpa emosi pun bisa bangkit gairahnya dan melakukan hubungan intim saat itu juga. Tak kalah penting, pahami juga bahwa romantisme enggak harus selalu berakhir di ranjang.

  Th. Puspayanti/nakita