Membangkitkan Romantisme

By nova.id, Selasa, 26 April 2011 | 17:02 WIB
Membangkitkan Romantisme (nova.id)

Menjaga hubungan baik sekaligus memelihara romantisme suami-istri memang harus diupayakan secara simultan. Soalnya, kalau sudah terjadi deviasi/penyimpangan dalam perkawinan, komunikasi di antara suami-istri juga enggak akan pernah nyambung. Misal, suami ngajak makan di luar atau membelikan hadiah mahal, istri bukan berterima kasih tapi malah menanggapinya dengan kecurigaan atau pasang muka asem. Hingga niat suami untuk menyenangkan hati istri tak terkomunikasikan, sementara suasana jadi berkembang kian tak sehat.

Romantisme pun hanya akan bisa dirasakan kalau kita enggak "muak" melihat pasangan. Karena konflik yang tak terselesaikan di antara suami-istri pasti akan senantiasa menjadi batu sandungan bagi hubungan mereka. Bisa ditebak, kan, apa yang terjadi bila pasangan yang "menyebalkan" tiba-tiba mengajak makan malam lengkap dengan candle light-nya? Boro-boro, deh, menilainya romantis! Besar kemungkinan yang diajak malah akan ngomel berkepanjangan, "Ngapain makan gelap-gelapan begini?" Atau, "Hambur-hamburin uang saja!"

Namun bukan berarti perkawinan yang romantis itu enggak ada konfliknya, lo. Justru kalau tanpa konflik, perkawinan tersebut patut diragukan. Soalnya, perkawinan tanpa konflik berarti menyimpan segudang kebohongan. Bisa juga lantaran ada pihak tertentu, entah suami atau istri, yang tak berani mengutarakan permasalahannya. Alasannya bisa beragam, dari ketidaksetaraan hingga bosan, yang akhirnya memunculkan sikap "pasrah", "Capek, deh, gue ngomongin-nya. Habis, percuma aja, enggak bakal ada penyelesaiannya."

TAK PERLU MEWAH

Jadi, baik perkawinan yang tanpa konflik maupun yang dengan konflik tak pernah terselesaikan, sama-sama tak ada romantismenya. Itulah mengapa, kejujuran mutlak ada dalam perkawinan dan setiap permasalahan harus dicarikan solusinya agar tak berlarut-larut. Dengan demikian, barulah bisa tercipta romantisme di antara suami-istri.

Bukankah bila hubungan satu sama lain tak bermasalah, penerimaan mereka pun akan terasa positif? Hingga, akan selalu saja ada hal-hal kecil yang makin mempererat hubungan mereka. Misal, suami kelewat mengantuk dan lelah tapi masih sempat melakukan sentuhan-sentuhan yang menyatakan kehangatan, "Kulitmu masih halus, lo," atau "Mata indahmu ini yang dulu bikin aku tergila-gila," dan seterusnya.

Menurut Rieny, hal-hal sederhana semacam itu menunjukkan adanya apresiasi sekaligus penerimaan dari pasangan. Jadi, enggak usah repot-repot mengartikan romantisme dengan kemewahan yang harus dibayar mahal seperti makan di restoran, bermalam di hotel berbintang, atau tamasya ke luar negeri, dan lainnya. Setiap kesempatan dalam keseharian, termasuk jalanan macet pun, bisa kita manfaatkan untuk membangkitkan romantisme dengan pasangan, lo! Begitu juga menatap penuh kekaguman, memberi pujian yang tulus pada pasangan, memeluk bahunya, dan menggandeng tangannya saja sudah merupakan ekspresi rasa sayang dan kepedulian kita pada pasangan.

Tentu saja, bagaimana bentuk romantisme terpulang pada budaya keluarga asal yang bersangkutan. Yang jelas, siapa pun pada dasarnya bisa mengupayakan kehangatan dan kepedulian satu sama lain, meski ekspresinya tak mungkin sama persis karena sifatnya memang sangat individual. Mereka yang dibesarkan dalam keluarga "kuno", misal, boleh jadi akan menganggap keterlaluan bila suami-istri sun-sun-an di depan anak. Meski hal itu boleh-boleh saja dilakukan, asalkan tak mengarah pada hubungan seksual semisal ciuman yang dibarengi nafsu sampai mendengus-dengus. Jadi, kalau cuma sebatas ekspresi kasih sayang, sih, tak masalah. Justru dengan melihat ayah-ibunya menjalin romantisme, si kecil jadi tahu betapa ayah-ibunya saling menyayangi. Bukankah ini juga satu bentuk pembelajaran kasih sayang pada anak?

 Kunjungi Tempat Bersejarah

Ini cara gampang membangkitkan romantisme. Apalagi, manusia pada dasarnya makhluk sejarah. Nah, mengapa tak menikmati makan di restoran atau bahkan di warung pinggir jalan yang dulu semasa pacaran jadi tempat favorit, misal? "Ini, kan, bisa membangkitkan kenangan karena semua kejadian terekam di otak, lengkap dengan emosi yang menyertainya saat itu," bilang Rieny. Jadi, saat kita mendatangi lagi tempat tertentu yang memberi kenangan manis, secara otomatis ada bagian otak yang akan me-recall kenangan beserta emosi yang menyertainya. Kendati begitu, bukan berarti kalau kita tak bisa mengunjungi tempat penuh kenangan, lantas kita tak lagi punya romantisme, lo. Bukankah romantisme bisa diciptakan dari berbagai kesempatan dalam keseharian?

Bersikap Romantis Bukan Ajakan Berintim-intim

Ini yang seringkali terjadi, suami menyalahartikan romantisme yang ditunjukkan istri sebagai ajakan untuk berhubungan seks. Padahal, tujuan istri cuma ingin bermesraan atau berkangen-kangenan, misal. Kalau sudah begitu, bukan tak mungkin timbul konflik. Itu sebab, Rieny menganjurkan agar masing-masing pihak berusaha memahami pasangannya, termasuk pemahaman bahwa secara biologis laki-laki memang lebih mudah terangsang daripada perempuan. Selain perbedaan mendasar bahwa perempuan mesti tersentuh dulu emosinya sebelum sexual arrousel-nya muncul. Sementara laki-laki, tanpa emosi pun bisa bangkit gairahnya dan melakukan hubungan intim saat itu juga. Tak kalah penting, pahami juga bahwa romantisme enggak harus selalu berakhir di ranjang.

  Th. Puspayanti/nakita