Sifat yang satu ini sulit terdeteksi selagi pacaran. Akibatnya, anak yang mesti menanggung dampak buruknya.
Buat kita yang menomorsatukan kedisiplinan, segala sesuatu dalam hidup harus berjalan sesuai aturan dan rencana/jadwal. Meski kadang untuk itu, kita harus bersikap keras terhadap diri sendiri. Kendati masih ngantuk, misal, tetap harus bangun pagi agar tak terlambat tiba di tempat kerja. Namun bagi mereka yang tak kenal disiplin, hidup justru dijalani seadanya dan cenderung seenaknya, seolah tanpa beban maupun target tertentu. Rumah tangga pasangan jomplang atau bertolak belakang seperti ini, menurut psikolog Dradjat S. Soemitro, kemungkinan besar akan selalu diwarnai kejengkelan masing-masing pihak. Betapa tidak? Suami/istri yang disiplin pasti merasa capek, dong, harus berjuang sendirian untuk menegakkan aturan dalam rumah tangga maupun menerapkan disiplin pada anak-anak. Ironisnya, kejengkelan-kejengkelan tadi, lanjut psikolog sosial dari UI, biasanya akan berlanjut dengan percekcokan demi percekcokan. Soalnya, istri/suami yang serba santai alias tak kenal disiplin juga berpola pikir "sama" untuk membenarkan diri dan menyalahkan pasangan. "Ngapain, sih, sok disiplin? Santai sedikit kenapa, sih?" Atau, "Nikmati hidup, deh!" Nah, jadi runyam, kan, Bu-Pak?
BELAJAR MENEMUKAN DIRI
Sebetulnya, tutur Dradjat, pasangan yang disiplin bisa tetap hidup harmonis kendati pasangannya tak disiplin. Syaratnya, tegas Ketua Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UI ini, masing-masing harus berusaha memahami dan pemahaman pada pasangan baru akan muncul kalau ada pemahaman tentang diri sendiri. Memang seperti lingkaran setan ya, Bu-Pak? Soalnya, bagaimana bisa mengerti orang lain kalau kita tak mampu memahami diri sendiri?
Celakanya, mereka yang tak memahami diri maupun pasangannya biasanya enggan mengkomunikasikan hal-hal begini. Mereka justru sibuk untuk saling ngotot bertahan pada pemikiran masing-masing dan merasa dirinya paling benar. Sementara mereka yang bisa memahami diri sendiri, biasanya lebih mampu memahami orang lain. Itu sebabnya, tegas Dradjat, penting sekali bagi suami dan istri untuk belajar menemukan dirinya sendiri. Prosesnya memang susah sekali, butuh waktu lama karena harus diupayakan terus-menerus dan tak cukup hanya diomongkan.
Selain itu, untuk bisa memahami pasangan, lanjut Dradjat, minimal kita dituntut untuk mengenali sisi positif dan negatifnya. Sisi positif dari mereka yang disiplin antara lain terbiasa bekerja keras alias tak manja dan bisa mengontrol diri karena bukan tipe impulsif yang gampang meledak-ledak atau serba menuntut. Sayangnya, mereka kelewat dikuasai oleh aturan-aturan yang seolah tak bisa ditawar. Artinya, kalau di agenda tertulis jam 5 harus bangun pagi, begitu alarm berbunyi, saat itu juga ia akan turun dari tempat tidur. Baginya, seluruh waktu sudah diprogram sedemikian rupa untuk kegiatan demi kegiatan. Jam sekian harus ini dan itu, hingga boleh dibilang tak bisa hidup "wajar" di luar jadwal ketat tadi. Nah, kalau kehidupan semacam ini yang dijalani, bukankah suatu saat akan berbalik jadi bumerang bagi energinya? Minimal ia akan ambruk kelelahan karena tak ada keseimbangan maupun penyegaran dalam pola hidupnya.
MENGENALI RAGAM DISIPLING
Menurut Dradjat, disiplin idealnya terbentuk dari dalam diri sendiri atau sudah terinternalisasi menjadi bagian dirinya. Karena bila merupakan sesuatu yang dipaksakan atau di-drill dari luar, itu artinya individu yang bersangkutan memang tak punya pilihan lain. Karena self-nya sebetulnya amat tertekan, hingga tak memungkinkannya mengekspresikan diri mengingat disiplin eksternal begini memang identik dengan segala keteraturan dan ketaatan. Sayangnya, disiplin seperti ini baru bisa berjalan jika ada pengawasan ketat. Begitu sosok yang memaksakan kehendak tak tampak, disiplin pun kembali longgar atau bahkan terlupakan. Sebaliknya, bila muncul dari dalam diri karena dinilai sesuai dengan kehendak diri atau sudah terinternalisasi sedemikian rupa, tanpa pengawasan pun disiplin akan berjalan dengan sendirinya.
Mengenai hal ini, Dradjat mengemukakan contoh berupa penelitian yang dilakukan Bandura, tokoh teori belajar sosial (Social Learning Theory). Dalam penelitian tersebut, sekelompok individu diberi reward sebelum mengerjakan sesuatu. Kelompok kedua tak diberi reward sama sekali, kelompok ketiga baru diberi reward bila sudah selesai mengerjakannya dan kelompok keempat adalah kelompok yang memberi reward sendiri. Dari hasil penelitian tersebut ternyata kelompok ketiga dan keempat lebih berprestasi dibanding kelompok pertama dan kedua. Bahkan pada kelompok keempat, ada kecenderungan untuk selalu meningkatkan prestasi kendati tak diawasi atau disuruh-suruh. Menurut Dradjat, ini membuktikan bahwa reward yang diberikan dari diri sendiri akan lebih kuat pengaruhnya dibanding reward dari luar.
KESALAHAN POLA ASUH
Sedangkan sisi negatif yang menonjol dari mereka yang tak disiplin adalah tak kuasa menahan keinginan diri. Soalnya, apa pun yang mereka inginkan harus selalu dituruti saat itu juga. Itu berarti, mereka tak memiliki kekuatan ego untuk mengontrol dirinya, hingga selalu terbawa ke mana air mengalir atau angin berhembus. Contohnya, ketika muncul keinginan, "Ah lagi malas. Santai dulu, ah," maka saat itu juga ia akan bersantai, tak peduli setumpuk tugas menanti! Konyol, kan, Bu-Pak?
Orang-orang yang santai tak keruan ini umumnya lebih merupakan akibat kesalahan pola asuh, semisal kelewat dimanja dan selalu dituruti apa pun keinginannya. Tak heran kalau mereka akhirnya tak mengenal aturan hingga berkembang jadi individu yang seenaknya, selain amat tergantung pada orang lain dan obsesif. Kendati tak tertutup kemungkinan pula pengaruh budaya dan perkembangan masyarakat yang membentuk seseorang jadi manusia yang individualis.