Pasangan Tak Disiplin, Anak Jadi Korban

By nova.id, Rabu, 23 Maret 2011 | 17:01 WIB
Pasangan Tak Disiplin Anak Jadi Korban (nova.id)

Menurut Dradjat, bila tipe kelewat santai semacam ini jadi kepala keluarga, biasanya akan dirasa berat oleh istri yang tak lagi mudah menaruh respek pada pasangan. Hanya saja, lanjut Dradjat, tak ada pola baku dalam hubungan suami-istri. Artinya, variasinya begitu banyak dan tak ada satu pun yang sama persis. Boleh jadi si disiplin merasa "beruntung" memiliki pasangan tak disiplin yang membuat eksistensinya semakin terlihat. Soalnya, ia justru merasa amat berarti dan mendambakan diri sebagai sosok yang menjadi tempat bergantung.

Sebaliknya, bila sebagai istri kita memang merasa terbebani dijadikan tempat bergantung, biasakan suami yang berego lemah ini untuk senantiasa berani menghadapi realitas. Sebagai pasangan, kita harus berani bersikap asertif, hingga ia akan belajar menyadari bahwa apa yang diinginkannya tak selalu harus dipenuhi/diikuti. Kalau memang ia kemudian marah atau uring-uringan lantaran keinginannya tak kita penuhi, saran Dradjat, tak perlu kelewat dipusingkan. Dengan begitu, ada proses reedukasi atau pendidikan kembali. Artinya, kita harus bersikap seperti orang tua yang mampu bersikap tegas, sekaligus sebagai teman yang mengingatkannya untuk menemukan self atau kedewasaannya. Justru di sinilah, bilang Dradjat, cinta suami-istri sebenarnya diuji.

BIKIN ANAK BINGUNG

Bu-Pak, karakter yang bertolak belakang seperti ini, membawa dampak buruk, lo, buat anak. Soalnya, bila ketaksesuaian ini senantiasa mewarnai kehidupan keluarga, pola pendidikan si kecil pun jadi sangat tak konsisten. Semisal ibu yang serba membolehkan, termasuk untuk bangun siang atau bahkan membolos sekolah. Sementara ayah malah menerapkan disiplin ala militer untuk bangun pagi dan serba bergegas atau tepat waktu menyelesaikan tugas. "Perbedaan-perbedaan semacam itu jelas akan menimbulkan kebingungan, ketidakjelasan dalam diri anak. Begitu juga cara pandangnya terhadap dunia: serba mendua dan tak pasti."

Akibatnya, anak akan merasa kesal lantaran bingung memutuskan untuk mengikuti ayah atau ibunya. Nah, karena ingin dinilai tak berpihak, bukan tak mungkin ia malah menarik diri hingga hubungannya dengan ayah/ibu justru makin jauh. Masih beruntung bila ayah/ibunya memiliki disiplin positif atau yang sudah terinternalisasi tadi. Karena ia akan mengajarkan si kecil untuk melihat realitas hidup apa adanya yang selalu memiliki dua sisi, baik dan buruk. Nah, bila ayah/ibunya mampu bersikap bijak seperti itu, anak malah akan tertantang meniru kebaikannya.

Sayangnya, di mata anak, ibu/ayah biasanya cenderung menjelek-jelekkan pihak "lawan", semisal, "Tuh, lihat sendiri deh, Papa/Mamamu memang payah! Enggak bisa diandelin, kan?" Keadaan akan bertambah runyam bila kedisiplinan ayah/ibunya cuma eksternal belaka, yakni disiplin yang dipaksakan hingga bersifat otoriter dan tak menyenangkan buat anak. Semisal, "Ayo, cepetan mandi! Gantian sama Kakak, dong!", atau "Buruan makannya! Ini sudah jam berapa? Nanti kalian terlambat, lo!" Hal-hal semacam itu, bilang Dradjat, bukan contoh yang bagus untuk ditiru anak. Ingat, lo, anak tak pernah lepas dari tokoh modelnya yakni kita selaku orang tua mereka.

MEMETIK MANFAAT

Itu sebabnya, saran Dradjat, selalu harus diupayakan semacam konsesi. Artinya, dimunculkan perimbangan dominasi sifat ayah dan ibu, selain penanaman disiplin yang tumbuh dari dalam diri si anak sendiri. Ketimbang memburu-buru anak agar cepat mandi, misal, mengapa tak menemani atau memandikan si kecil sambil menyanyi dalam suasana riang? Dengan begitu akan tumbuh image menyenangkan bagi anak dalam berbagai aktivitas kesehariannya.

Yang tak kalah penting, tegas Dradjat, orang tua harus bisa menempatkan diri mereka. "Bukan sebatas penegak aturan, tapi juga sama-sama menjadi pelaksana yang menjalankan aturan." Enggak akan ada manfaatnya, deh, "berkicau" tiap pagi karena hanya akan buang-buang energi, sementara model indoktrinasi seperti ini tak akan pernah didengar anak. Apa pun, lanjut Dradjat, image disiplin harus sesuatu yang sehat dan menyenangkan.

Bukan cuma itu. Anak pun perlu belajar menanggung akibat dari perbuatannya. Contoh, nilainya menurun sejak rajin nonton. Tak perlu kita memarahinya, "Kakak pasti enggak belajar, nih! Malu-maluin banget dapet nilai jelek! Makanya belajar yang rajin, dong, biar dapet nilai bagus!" Akan lebih mengena bila mengajak anak memetik sendiri manfaat kedisiplinan. Atau minimal melihat kaitan antara disiplin dengan perfomance-nya. Biarkan ia belajar menarik benang merah atau mengambil kesimpulan, "Kalau saya tak disiplin belajar, nilai saya, kok, jelek."

Ajarkan pada anak untuk belajar menetapkan target tertentu buat dirinya, termasuk buat anak balita. Tentu saja dalam bahasa dan tingkat yang sangat sederhana. Dengan begitu, disiplin menjadi sesuatu yang terinternalisasi dan mendatangkan manfaat untuknya.

 TAK MENGULANG KESALAHAN