Pasangan Kutu Buku

By nova.id, Kamis, 17 Februari 2011 | 17:01 WIB
Pasangan Kutu Buku (nova.id)

Celakanya, kalau sudah berurusan dengan hobi, kita akan kesulitan mengubahnya. Apalagi bila kebiasaan membaca telah digunakan untuk menutup diri dari lingkungan, "kita jangan mimpi bisa mengubahnya dalam sekejap waktu. Soalnya, ia hidup dengan kebiasaannya itu sudah bertahun-tahun sementara baru beberapa tahun kita menjalin hubungan perkawinan."

Jadi, tandas Retno, sudah risiko kita menikah dengan orang model ini. Terlebih lagi sebenarnya kita sudah bisa tahu kebiasaan pasangan sejak sebelum menikah. Itulah mengapa, para ahli kerap menganjurkan agar "pelajari" baik-baik calon pasangan selagi masa pacaran.

Untuk mengatasinya, saran Retno, minta pasangan mengurangi sedikit demi sedikit waktunya membaca. Caranya, ya, ajak bicara. Misal, "Kita, kan, sudah punya anak. Mereka perlu main sama-sama, perlu berkomunikasi. Saya pun sebagai pasangan kamu perlu ngomongin masalah kita sama-sama. Kalau kamu cuma baca aja, gimana, nih?"

Begitu pun bila hobinya sampai menguras keuangan keluarga, bicarakan. Misal, "Daripada uangnya terlalu banyak untuk membeli buku, kan, bisa disisihkan untuk membeli keperluan lain. Si kecil juga perlu mainan edukatif, lo." Menurut Retno, tiap masalah jika dibicarakan baik-baik pasti bisa dicari solusinya. Selain perlu kesabaran dan taktis.

Bila dengan cara ini ia tak jua mau berubah, "kita bisa minta tolong orang ketiga karena tak setiap masalah bisa kita handle sendiri. Mungkin ada orang lain yang ia segani seperti ayahnya, ibunya, atau sahabatnya." Nah, kita bisa minta bantuan mereka. Jika cara ini masih juga tak mempan, apa boleh buat, toleran sajalah, lalu cari kegiatan lain yang bermanfaat ketimbang menumpuk kesal atas ulahnya. Ingat, sudah risiko kita menikah dengan si kutu buku.

EGOIS

Retno pun mengingatkan, karena hobi, apapun jenisnya, merupakan suatu kegiatan yang digemari dan ditekuni dalam mengisi waktu luang, maka tujuannya untuk mengurangi ketegangan dan relaksasi. Jadi, tak bisa dibenarkan bila kita sampai tenggelam dalam hobi hingga mengesampingkan urusan lainnya. "Itu egois namanya!"

Bahwa hobi membaca dijadikan cara jitu untuk menutup diri atau keengganan berkomunikasi, menurut Retno, bisa saja. "Tapi enggak mutlak, ya. Artinya, tak semua orang yang enggak ingin bicara, enggak ekspresif akan menenggelamkan diri dalam membaca. Sama halnya kita enggak bisa menyimpulkan, semua orang yang pakai kacamata berarti kutu buku, kan?"

Yang jelas, tandasnya, orang yang terlalu tenggelam pada hobi, apapun jenisnya, sehingga tak mempedulikan lingkungannya, merupakan cerminan orang yang egois. Ini menandakan ia belum dewasa. "Ia belum tahu skala prioritas. Padahal kalau sudah menikah, skala prioritasnya harus berubah karena ia punya tanggung jawab. Jadi, kalau ia mau punya anak dan keluarga, ya, harus ada hak dan kewajiban yang dibagi kepada anak dan keluarga, dong."

Orang model ini juga pertanda emotional inteligence-nya rendah. "Ia tak bisa empati pada orang lain, tak peduli pada orang lain."

Dengan kata lain, setelah menikah, kita tak bisa lagi memaksakan kehendak pribadi dan harus punya manajemen waktu yang baik namun tak kaku. Meski rasanya udah "gatel" banget pingin baca buku yang baru dibeli tapi kita harus bisa menahan diri. Toh, kita masih punya banyak waktu. Mungkin bacanya ketika anak dan istri/suami lagi tak membutuhkan kita semisal malam hari setelah mereka tidur. Kita pun jadi puas membacanya.

Jadi, kendati hobi membaca banyak manfaatnya, tapi ingat, lo, jangan sampai mengabaikan kepentingan anak dan pasangan, ya, Bu-Pak.