Pasangan Kutu Buku

By nova.id, Kamis, 17 Februari 2011 | 17:01 WIB
Pasangan Kutu Buku (nova.id)

Sungguh menyebalkan bila pasangan lebih "memperhatikan" buku ketimbang anak-istri/suaminya. Bila ia tak jua berubah, apa boleh buat, sudah risiko kita menikah dengannya. Jadi, toleran sajalah!

Tentu menyenangkan, ya, Bu-Pak, kalau kita bisa menjalani hobi. Apalagi membaca adalah hobi yang mendatangkan banyak keuntungan. Selain memperluas wawasan, kita jadi terbiasa mengkomunikasikan apa yang ada di pikiran kita. Soalnya, terang Dra. Retno Pudjiati Azhar , membaca sebenarnya salah satu cara memperluas jaringan-jaringan otak. Dengan demikian, bila kita ngomong dengan orang, ada referensi, "Oh, iya, rasanya ini ada hubungannya dengan yang pernah saya baca dulu."

Selain itu, tambah psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini, hobi membaca juga bisa mempererat hubungan dengan pasangan. Misal, dengan menceritakan apa yang kita baca kepada pasangan. "Apalagi kalau ia juga hobi membaca, kita bisa saling mendukung." Entah dengan memberitahukan sebuah buku bagus yang telah kita baca atau mendiskusikan sebuah buku baru yang hendak dibeli, dan sebagainya.

Begitu pula hubungan dengan anak. Bukankah dengan membacakan buku cerita setiap menjelang tidur, misal, hubungan kita dengan si kecil jadi makin dekat? Daya imajinasi dan kreativitasnya pun bisa berkembang sehingga meningkatkan inteligensinya. Dari sini pula kita bisa menularkan hobi membaca kepadanya.

BERI DUKUNGAN

Nah, enggak ada ruginya, kan, punya hobi membaca? Terlebih lagi bila pasangan juga punya hobi sama sehingga bisa kita lakukan berbarengan. Bukan berarti yang hobinya beda lantas bermasalah, lo. Yang penting, masing-masing pihak tahu, hobi pada dasarnya cuma untuk mengisi waktu luang dengan melakukan suatu kegiatan menyenangkan. Jadi, ada batasannya. "Kita harus tahu, kesenangan kita dibatasi oleh kesenangan orang lain. Kalau kita menekuni hobi, jangan lupa, pasangan punya hobi lain dan kita harus toleran terhadap hobinya," tutur Retno.

Jadi, kalau kita hobi membaca sementara pasangan tak terlalu menyukainya, yang pertama harus disadari ialah kesenangan kita dibatasi oleh kesenangan pasangan. Maka, kita harus tahu waktu, berapa lama, sih, seharusnya kita membaca buku. Misal, kita cuma bisa baca buku pas hari libur, tapi jangan seluruh waktu di hari libur cuma diisi dengan membaca buku. Tentu pasangan akan marah atau anak-anak akan merasa tersisihkan. Dengan kata lain, kita harus pintar mengatur waktu.

Tentu akan lebih baik bila kita bisa menularkan kebiasaan kita pada pasangan. Caranya, beri tahukan hal-hal menarik tentang yang kita baca dan dikaitkan dengan hobinya. Misal, pasangan hobi memasak. Nah, kita bisa bilang, "Ma, di buku ini ada masakan enak, lo. Kita coba bikin sama-sama, yuk." Atau, ketika ia ingin mencoba membuat sesuatu masakan namun tak hapal resepnya, kita bisa membelikannya buku resep yang salah satunya memuat resep masakan tersebut. Siapa tahu, berawal dari membaca buku resep masakan atau majalah yang ada resep masakannya, ia jadi tertarik untuk membaca hal-hal lainnya. Tapi jangan dipaksa, ya, Bu-Pak.

Sebaliknya, bila kita yang tak suka membaca, kita pun jangan memaksa diri untuk suka. Yang perlu kita lakukan, memberi sedikit dukungan buatnya. Dalam hal dana, misal, "tak ada salahnya kita menyisihkan uang untuk membantu pasangan membeli buku guna memenuhi kebutuhannya itu," bilang Retno. Kita pun harus rela kehilangan waktu bersama untuk beberapa saat kala ia menjalani hobinya. Apalagi untuk membaca, orang perlu waktu khusus; setidaknya, ia perlu ruang tersendiri. Nah, kita harus memberikannya. Toh, kita bisa melakukan aktivitas lain atau menjalani hobi kita sendiri selagi ia membaca. Setelah itu barulah kita gunakan waktu untuk bersama-sama.

AJAK BICARA

Jadi, Bu-Pak, bila hobi kita dan pasangan beda, yang diperlukan adalah pengertian dan dukungan dari masing-masing pihak. Tapi, bagaimana bila pasangan kutu buku hingga lupa segala-galanya; bukan cuma lupa waktu, juga lupa keluarga. "Tentu dampaknya jadi enggak baik buat keluarga," ujar Retno. "Komunikasi dengan anak dan pasangannya jadi terputus karena ia lebih mementingkan hobinya."

Selain itu, pergaulannya juga jadi terbatas. Padahal kalau orang sudah menikah dan membina rumah tangga sendiri, berarti ia berada di lingkungan sosial yang baru. "Nah, ia, kan, harus membina hubungan dengan orang-orang di sekitarnya, membangun networking baru yang tentunya berbeda dengan networking selagi ia lajang. Kalau ia kutu buku atau cuma menekuni hobinya melulu, ia tak punya kesempatan untuk membangun networking itu."

Celakanya, kalau sudah berurusan dengan hobi, kita akan kesulitan mengubahnya. Apalagi bila kebiasaan membaca telah digunakan untuk menutup diri dari lingkungan, "kita jangan mimpi bisa mengubahnya dalam sekejap waktu. Soalnya, ia hidup dengan kebiasaannya itu sudah bertahun-tahun sementara baru beberapa tahun kita menjalin hubungan perkawinan."

Jadi, tandas Retno, sudah risiko kita menikah dengan orang model ini. Terlebih lagi sebenarnya kita sudah bisa tahu kebiasaan pasangan sejak sebelum menikah. Itulah mengapa, para ahli kerap menganjurkan agar "pelajari" baik-baik calon pasangan selagi masa pacaran.

Untuk mengatasinya, saran Retno, minta pasangan mengurangi sedikit demi sedikit waktunya membaca. Caranya, ya, ajak bicara. Misal, "Kita, kan, sudah punya anak. Mereka perlu main sama-sama, perlu berkomunikasi. Saya pun sebagai pasangan kamu perlu ngomongin masalah kita sama-sama. Kalau kamu cuma baca aja, gimana, nih?"

Begitu pun bila hobinya sampai menguras keuangan keluarga, bicarakan. Misal, "Daripada uangnya terlalu banyak untuk membeli buku, kan, bisa disisihkan untuk membeli keperluan lain. Si kecil juga perlu mainan edukatif, lo." Menurut Retno, tiap masalah jika dibicarakan baik-baik pasti bisa dicari solusinya. Selain perlu kesabaran dan taktis.

Bila dengan cara ini ia tak jua mau berubah, "kita bisa minta tolong orang ketiga karena tak setiap masalah bisa kita handle sendiri. Mungkin ada orang lain yang ia segani seperti ayahnya, ibunya, atau sahabatnya." Nah, kita bisa minta bantuan mereka. Jika cara ini masih juga tak mempan, apa boleh buat, toleran sajalah, lalu cari kegiatan lain yang bermanfaat ketimbang menumpuk kesal atas ulahnya. Ingat, sudah risiko kita menikah dengan si kutu buku.

EGOIS

Retno pun mengingatkan, karena hobi, apapun jenisnya, merupakan suatu kegiatan yang digemari dan ditekuni dalam mengisi waktu luang, maka tujuannya untuk mengurangi ketegangan dan relaksasi. Jadi, tak bisa dibenarkan bila kita sampai tenggelam dalam hobi hingga mengesampingkan urusan lainnya. "Itu egois namanya!"

Bahwa hobi membaca dijadikan cara jitu untuk menutup diri atau keengganan berkomunikasi, menurut Retno, bisa saja. "Tapi enggak mutlak, ya. Artinya, tak semua orang yang enggak ingin bicara, enggak ekspresif akan menenggelamkan diri dalam membaca. Sama halnya kita enggak bisa menyimpulkan, semua orang yang pakai kacamata berarti kutu buku, kan?"

Yang jelas, tandasnya, orang yang terlalu tenggelam pada hobi, apapun jenisnya, sehingga tak mempedulikan lingkungannya, merupakan cerminan orang yang egois. Ini menandakan ia belum dewasa. "Ia belum tahu skala prioritas. Padahal kalau sudah menikah, skala prioritasnya harus berubah karena ia punya tanggung jawab. Jadi, kalau ia mau punya anak dan keluarga, ya, harus ada hak dan kewajiban yang dibagi kepada anak dan keluarga, dong."

Orang model ini juga pertanda emotional inteligence-nya rendah. "Ia tak bisa empati pada orang lain, tak peduli pada orang lain."

Dengan kata lain, setelah menikah, kita tak bisa lagi memaksakan kehendak pribadi dan harus punya manajemen waktu yang baik namun tak kaku. Meski rasanya udah "gatel" banget pingin baca buku yang baru dibeli tapi kita harus bisa menahan diri. Toh, kita masih punya banyak waktu. Mungkin bacanya ketika anak dan istri/suami lagi tak membutuhkan kita semisal malam hari setelah mereka tidur. Kita pun jadi puas membacanya.

Jadi, kendati hobi membaca banyak manfaatnya, tapi ingat, lo, jangan sampai mengabaikan kepentingan anak dan pasangan, ya, Bu-Pak.

AGAR KEBIASAAN MEMBACA BERJALAN LANCAR

* Jika dana terbatas atau untuk menghemat, tak ada salahnya membeli buku bekas bila hobinya membaca novel atau komik. Bahkan, majalah pun bisa dibeli yang bekas, "toh, enggak terlalu ketinggalan jika baru dibeli 2-3 bulan setelah terbit," ujar Retno.

* Bisa juga dengan menyisihkan sebagian uang makan dari kantor untuk membeli buku-buku terbaru.

* Biasakan mengajak pasangan dengan menyertakan anak saat mencari buku agar ia mengerti bahwa mencari buku sama asyiknya dengan shopping di mal.

* Ciptakan suasana menyenangkan saat membaca. Misal, dengan memperdengarkan musik lembut.

  Julie (Achmad Suhendi)