Jangan buru-buru kesal. Siapa tahu pasangan royal diluar karena kurang penghargaan di dalam rumah
Punya pasangan begini memang makan hati. Untuk mengubahnya juga tak mudah, karena ia tak menganggap perilakunya salah atau merugikan. Begitu pula orang-orang yang kecipratan rejeki. Jadi, "maklumi sajalah," ujar Monty P. Satiadarma, MS/AT,MCP/MFCC, Psi., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.
Eit, jangan keburu marah dulu, Bu-Pak. Bukan berarti Bung Monty, begitu psikolog ini disapa, menyuruh kita setuju-setuju saja dengan kelakuan macam itu, melainkan berusaha memahaminya. Bukankah dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa menemukan solusi yang tepat?
KURANG PENGHARGAAN
Menurut Monty, orang-orang yang royal ini biasanya sejak kecil kurang atau malah tak pernah memperoleh kehangatan dan penghargaan dari orang-orang di lingkungan rumahnya. Hingga, mereka cenderung mencari pemuasan-pemuasan atau penghargaan tersebut di luar rumah. Terlebih jika dalam perkawinannya, mereka pun tak cukup mendapat penghargaan yang diharapkan dari pasangannya.
Tentu saja, cukup-tidak penghargaan sangat relatif sifatnya. "Bukan tak mungkin pasangannya sudah melimpahkan cinta dan perhatiannya, tapi ia tetap menganggapnya kurang." Kalau sudah begitu, ia bak musafir yang senantiasa kehausan. Sebesar apa pun upaya pasangan dan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhannya itu, ia takkan pernah merasa puas. Runyam, kan, Bu-Pak?
Hal lain yang juga harus dimengerti, pada dasarnya setiap orang, baik laki maupun perempuan, berusaha memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya, terutama recognition dan acknowledgment atau pengakuan dan penghargaan. Jadi, meski di rumah sudah diakui sebagai suami/istri, ia juga ingin diakui di lingkungan sosialnya. Caranya tentu macam-macam. Namun buat orang-orang yang haus penghargaan ini, apalagi kalau bukan dengan "membeli" kedudukan, wewenang, dan status sosial?
Nah, buat mereka, kebutuhan untuk mencari pemuasan dan pengakuan orang lain akan terus berlangsung sepanjang hidup. Tak demikian pada individu-individu yang sudah mencapai tingkat perkembangan psikologis sedemikian tinggi, mereka tak lagi terlalu bergantung pada penghargaan-penghargaan eksternal, melainkan lebih mengandalkan penghargaan internal dari diri sendiri. Itu sebab, mereka tak merasa harus "membeli" pengakuan orang lain. Bagi mereka, aktivitas dan hasil kerjanyalah yang jadi reward untuknya.
Menurut Abraham Maslow, pakar psikologi yang terkenal dengan teorinya tentang tahapan kebutuhan manusia, berdasarkan perolehan self esteem, individu dibedakan menjadi external locus of control dan internal locus of control. "Mereka yang eksternal hanya akan melakukan sesuatu bila diharuskan demikian oleh lingkungan. Sebaliknya, mereka yang internal melakukan sesuatu karena termotivasi oleh diri sendiri." Dengan demikian, mereka yang eksternal sebetulnya didikte dan sangat tergantung pada lingkungan. Mereka mencari pemuasan self esteem semu karena begitu the provider agent (agen sosial) yang memberikan reward menghilang, maka perolehan pemuasannya pun hilang.
MERASA DITOLAK
Yang jelas, Bu-Pak, jika seseorang rela membayar mahal dan melepaskan energi begitu besar untuk mendapatkan pemuasan dari luar, tak lain karena ia menganggap yang diperolehnya tadi memang lebih berharga ketimbang yang didapatnya di rumah. Hingga, kita perlu introspeksi diri, benarkah kelakuannya yang royal semata lantaran di masa kecilnya kurang perhatian ataukah juga merupakan bentuk ketidakpuasan dalam hubungan suami-istri?
Soalnya, tutur Bung Monty, umumnya orang tahu persis, kok, bahwa keluarga harus diprioritaskan melebihi orang lain diluar keluarga. Jadi, jika pasangan sampai royal di luar tapi pelit di rumah, boleh jadi lantaran ia merasa kerap dilecehkan harga dirinya oleh kita. Sewaktu ia membelikan sebuah pena mahal seharga ratusan ribu rupiah, misal, kita malah berkomentar, "Ngapain, sih, beliin pulpen mahal-mahal? Buang-buang duit aja!" Padahal, ia ingin kasih perhatian dengan membeli pena itu.