Pasangan Royal Di Luar Pelit Di Rumah

By nova.id, Rabu, 9 Februari 2011 | 17:03 WIB
Pasangan Royal Di Luar Pelit Di Rumah (nova.id)

Nah, bisa dibayangkan, kan, Bu-Pak, gimana perasaannya saat mendengar komentar itu? Coba bandingkan dengan reaksi teman-teman kantornya kala ia membawakan oleh-oleh gantungan kunci yang harganya jauh lebih murah, "Aduh, terima kasih banyak, lo. Kok, repot-repot, sih?" Terasa benar bedanya, kan? Meski bukan tak mungkin mereka hanya sekadar basa-basi, tapi ia merasa diterima oleh mereka hingga harga dirinya pun terangkat.

Bukan berarti kita lantas harus berbasa-basi hanya untuk menjaga harga diri pasangan, lo. Ini malah enggak betul karena kejujuran mutlak ada dalam rumah tangga. Jadi, cara kita bereaksilah yang harus diperbaiki, bagaimana kita mengutarakan kejujuran itu agar enak di telinga pasangan. Dalam bahasa lain, komunikasi efektif.

PISAH TABUNGAN

Menurut Bung Monty, ada orang yang tergolong happy lucky alias lancar sekali rejekinya, meski dalam sekejap bisa ludes lantaran kelewat royal. Nah, terhadap orang semacam ini, kita tak bisa berbuat apa-apa karena pribadinya memang begitu. "Nggak perlulah kita terlalu menyetir urusan pribadi orang lain, sekalipun suami atau istri sendiri. Terima saja apa adanya dan anggap 'cacat'nya sebagai bagian dari kesenangannya." Justru kalau kita ngotot mengubahnya, kita sendiri yang capek. Bukankah seseorang bisa berubah hanya bila dirinya sendiri memang menginginkan perubahan itu?

Jadi, sepanjang dana yang ia gunakan untuk menjadi "sinterklas" di luaran adalah uang pribadi dan tak mengusik kebutuhan rumah tangga, "biarkan saja, deh." Kalau kita tetap keras kepala pingin ngatur juga, apalagi mengerem, cuma membuatnya jadi berontak dan protes, "Lo, ini, kan, uangku. Kok, kamu yang ngatur-ngatur, sih?" Nah, berantem, kan, jadi?

Yang terbaik, anjur Bung Monty, buat kesepakatan bidang apa saja yang menjadi tanggungan masing-masing pihak, jika suami-istri sama-sama bekerja. Jika cuma salah satu yang bekerja, juga bisa dibuat kesepakatan semisal berapa dana yang disediakan untuk kebutuhan rumah tangga tiap bulan. "Supaya aman, buat rekening terpisah untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang tak bisa diutak-atik pasangan guna mendanai "hobi"nya. Buka pula tabungan khusus untuk masa depan dan cadangan hari-hari suram."

Selanjutnya, kita mesti belajar tega jika sikap royalnya sampai membuat tanggungannya terabaikan. Jangan sampai tabungan kita terkuras habis hanya buat menutupi kebutuhan harian. Hati-hati, ia bisa memanfaatkan belas kasihan kita yang mengambil alih bagian yang menjadi tanggung jawabnya.

 SI KECIL JADI BINGUNG

Anak dari orang tua yang royal, menurut Bung Monty, takkan pernah belajar menentukan skala prioritas. "Minimal ia akan meniru perilaku orang tuanya atau malah punya kecurigaan berlebihan kalau-kalau pasangannya kelak berperilaku sama dengan orang tuanya."

Nah, agar si kecil tak berkembang demikian, kita harus mampu bersikap bijak. Jangan malah makin menjelek-jelekkan pasangan semisal,"Bapakmu memang brengsek! Pokoknya, nggak bisa diandelin!"Komentar semacam ini, "justru makin memperbesar peluang terbentuknya perilaku menyimpang yang ingin diluruskan." Selain, anak pun jadi meragukan kemampuan orang tuanya menyelesaikan masalah dengan mengatakan, "Bunda, sih, kenapa diam aja?" Ia juga akan mempertanyakan hubungan interpersonal ayah-ibunya, "Sebetulnya ada apa, sih, antara Ayah dan Bunda?"

Bukan cuma itu, anak pun jadi ambivalen alias bingung menentukan nilai mana yang benar. Jangan salah, Bu-Pak, anak bisa, lo, merasakan ketegangan di antara orang tuanya meski ia tak mampu mengutarakannya, hingga yang muncul adalah kecemasan dan ketidakpastian.

WASPADAI KELAINAN JIWA

Mereka yang kapasitas royalnya sudah keterlaluan, kata Bung Monty, bisa dikategorikan memiliki kelainan jiwa yang disebut gambling patologis. "Orang-orang seperti ini, gangguan kognitifnya amat besar. Dalam arti, kalau tak mentraktir-traktir sebentar saja, rasanya ada sesuatu yang aneh." Soalnya, aktivitas bagi-bagi rejeki ini buat yang bersangkutan justru mendatangkan kenikmatan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan cara begitu, ia merasa bisa menunjukkan power atau keberdayaannya.

Boleh jadi orang lain akan memanfaatkannya, hingga bila ada keinginan tertentu atau kebutuhan mendesak pasti akan datang padanya karena dianggap "pahlawan" yang mudah mengucurkan uang. Masyarakat malah memberi dukungan atas sikapnya karena merasa diuntungkan. Padahal, pembenaran begini malah akan mempersulit yang bersangkutan membenahi diri. Bila memang tersedia dana, tentu tak jadi masalah. Lain hal bila duit cekak, tapi ingin sok dan gaya-gayaan. Apalagi sampai pertaruhkan diri dengan pinjam sana-sini atau malah berutang.

Tak ada cara ampuh untuk mengobati "penyakit" yang satu ini, selain memasukkannya ke panti rehabilitasi.

Th. Puspayanti/nakita