Pasangan Royal Di Luar Pelit Di Rumah

By nova.id, Rabu, 9 Februari 2011 | 17:03 WIB
Pasangan Royal Di Luar Pelit Di Rumah (nova.id)

Jangan buru-buru kesal. Siapa tahu pasangan royal diluar karena kurang penghargaan di dalam rumah

Punya pasangan begini memang makan hati. Untuk mengubahnya juga tak mudah, karena ia tak menganggap perilakunya salah atau merugikan. Begitu pula orang-orang yang kecipratan rejeki. Jadi, "maklumi sajalah," ujar Monty P. Satiadarma, MS/AT,MCP/MFCC, Psi., Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Eit, jangan keburu marah dulu, Bu-Pak. Bukan berarti Bung Monty, begitu psikolog ini disapa, menyuruh kita setuju-setuju saja dengan kelakuan macam itu, melainkan berusaha memahaminya. Bukankah dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa menemukan solusi yang tepat?

KURANG PENGHARGAAN

Menurut Monty, orang-orang yang royal ini biasanya sejak kecil kurang atau malah tak pernah memperoleh kehangatan dan penghargaan dari orang-orang di lingkungan rumahnya. Hingga, mereka cenderung mencari pemuasan-pemuasan atau penghargaan tersebut di luar rumah. Terlebih jika dalam perkawinannya, mereka pun tak cukup mendapat penghargaan yang diharapkan dari pasangannya.

Tentu saja, cukup-tidak penghargaan sangat relatif sifatnya. "Bukan tak mungkin pasangannya sudah melimpahkan cinta dan perhatiannya, tapi ia tetap menganggapnya kurang." Kalau sudah begitu, ia bak musafir yang senantiasa kehausan. Sebesar apa pun upaya pasangan dan anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhannya itu, ia takkan pernah merasa puas. Runyam, kan, Bu-Pak?

Hal lain yang juga harus dimengerti, pada dasarnya setiap orang, baik laki maupun perempuan, berusaha memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya, terutama recognition dan acknowledgment atau pengakuan dan penghargaan. Jadi, meski di rumah sudah diakui sebagai suami/istri, ia juga ingin diakui di lingkungan sosialnya. Caranya tentu macam-macam. Namun buat orang-orang yang haus penghargaan ini, apalagi kalau bukan dengan "membeli" kedudukan, wewenang, dan status sosial?

Nah, buat mereka, kebutuhan untuk mencari pemuasan dan pengakuan orang lain akan terus berlangsung sepanjang hidup. Tak demikian pada individu-individu yang sudah mencapai tingkat perkembangan psikologis sedemikian tinggi, mereka tak lagi terlalu bergantung pada penghargaan-penghargaan eksternal, melainkan lebih mengandalkan penghargaan internal dari diri sendiri. Itu sebab, mereka tak merasa harus "membeli" pengakuan orang lain. Bagi mereka, aktivitas dan hasil kerjanyalah yang jadi reward untuknya.

Menurut Abraham Maslow, pakar psikologi yang terkenal dengan teorinya tentang tahapan kebutuhan manusia, berdasarkan perolehan self esteem, individu dibedakan menjadi external locus of control dan internal locus of control. "Mereka yang eksternal hanya akan melakukan sesuatu bila diharuskan demikian oleh lingkungan. Sebaliknya, mereka yang internal melakukan sesuatu karena termotivasi oleh diri sendiri." Dengan demikian, mereka yang eksternal sebetulnya didikte dan sangat tergantung pada lingkungan. Mereka mencari pemuasan self esteem semu karena begitu the provider agent (agen sosial) yang memberikan reward menghilang, maka perolehan pemuasannya pun hilang.

MERASA DITOLAK

Yang jelas, Bu-Pak, jika seseorang rela membayar mahal dan melepaskan energi begitu besar untuk mendapatkan pemuasan dari luar, tak lain karena ia menganggap yang diperolehnya tadi memang lebih berharga ketimbang yang didapatnya di rumah. Hingga, kita perlu introspeksi diri, benarkah kelakuannya yang royal semata lantaran di masa kecilnya kurang perhatian ataukah juga merupakan bentuk ketidakpuasan dalam hubungan suami-istri?

Soalnya, tutur Bung Monty, umumnya orang tahu persis, kok, bahwa keluarga harus diprioritaskan melebihi orang lain diluar keluarga. Jadi, jika pasangan sampai royal di luar tapi pelit di rumah, boleh jadi lantaran ia merasa kerap dilecehkan harga dirinya oleh kita. Sewaktu ia membelikan sebuah pena mahal seharga ratusan ribu rupiah, misal, kita malah berkomentar, "Ngapain, sih, beliin pulpen mahal-mahal? Buang-buang duit aja!" Padahal, ia ingin kasih perhatian dengan membeli pena itu.

Nah, bisa dibayangkan, kan, Bu-Pak, gimana perasaannya saat mendengar komentar itu? Coba bandingkan dengan reaksi teman-teman kantornya kala ia membawakan oleh-oleh gantungan kunci yang harganya jauh lebih murah, "Aduh, terima kasih banyak, lo. Kok, repot-repot, sih?" Terasa benar bedanya, kan? Meski bukan tak mungkin mereka hanya sekadar basa-basi, tapi ia merasa diterima oleh mereka hingga harga dirinya pun terangkat.

Bukan berarti kita lantas harus berbasa-basi hanya untuk menjaga harga diri pasangan, lo. Ini malah enggak betul karena kejujuran mutlak ada dalam rumah tangga. Jadi, cara kita bereaksilah yang harus diperbaiki, bagaimana kita mengutarakan kejujuran itu agar enak di telinga pasangan. Dalam bahasa lain, komunikasi efektif.

PISAH TABUNGAN

Menurut Bung Monty, ada orang yang tergolong happy lucky alias lancar sekali rejekinya, meski dalam sekejap bisa ludes lantaran kelewat royal. Nah, terhadap orang semacam ini, kita tak bisa berbuat apa-apa karena pribadinya memang begitu. "Nggak perlulah kita terlalu menyetir urusan pribadi orang lain, sekalipun suami atau istri sendiri. Terima saja apa adanya dan anggap 'cacat'nya sebagai bagian dari kesenangannya." Justru kalau kita ngotot mengubahnya, kita sendiri yang capek. Bukankah seseorang bisa berubah hanya bila dirinya sendiri memang menginginkan perubahan itu?

Jadi, sepanjang dana yang ia gunakan untuk menjadi "sinterklas" di luaran adalah uang pribadi dan tak mengusik kebutuhan rumah tangga, "biarkan saja, deh." Kalau kita tetap keras kepala pingin ngatur juga, apalagi mengerem, cuma membuatnya jadi berontak dan protes, "Lo, ini, kan, uangku. Kok, kamu yang ngatur-ngatur, sih?" Nah, berantem, kan, jadi?

Yang terbaik, anjur Bung Monty, buat kesepakatan bidang apa saja yang menjadi tanggungan masing-masing pihak, jika suami-istri sama-sama bekerja. Jika cuma salah satu yang bekerja, juga bisa dibuat kesepakatan semisal berapa dana yang disediakan untuk kebutuhan rumah tangga tiap bulan. "Supaya aman, buat rekening terpisah untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang tak bisa diutak-atik pasangan guna mendanai "hobi"nya. Buka pula tabungan khusus untuk masa depan dan cadangan hari-hari suram."

Selanjutnya, kita mesti belajar tega jika sikap royalnya sampai membuat tanggungannya terabaikan. Jangan sampai tabungan kita terkuras habis hanya buat menutupi kebutuhan harian. Hati-hati, ia bisa memanfaatkan belas kasihan kita yang mengambil alih bagian yang menjadi tanggung jawabnya.

 SI KECIL JADI BINGUNG

Anak dari orang tua yang royal, menurut Bung Monty, takkan pernah belajar menentukan skala prioritas. "Minimal ia akan meniru perilaku orang tuanya atau malah punya kecurigaan berlebihan kalau-kalau pasangannya kelak berperilaku sama dengan orang tuanya."

Nah, agar si kecil tak berkembang demikian, kita harus mampu bersikap bijak. Jangan malah makin menjelek-jelekkan pasangan semisal,"Bapakmu memang brengsek! Pokoknya, nggak bisa diandelin!"Komentar semacam ini, "justru makin memperbesar peluang terbentuknya perilaku menyimpang yang ingin diluruskan." Selain, anak pun jadi meragukan kemampuan orang tuanya menyelesaikan masalah dengan mengatakan, "Bunda, sih, kenapa diam aja?" Ia juga akan mempertanyakan hubungan interpersonal ayah-ibunya, "Sebetulnya ada apa, sih, antara Ayah dan Bunda?"

Bukan cuma itu, anak pun jadi ambivalen alias bingung menentukan nilai mana yang benar. Jangan salah, Bu-Pak, anak bisa, lo, merasakan ketegangan di antara orang tuanya meski ia tak mampu mengutarakannya, hingga yang muncul adalah kecemasan dan ketidakpastian.

WASPADAI KELAINAN JIWA

Mereka yang kapasitas royalnya sudah keterlaluan, kata Bung Monty, bisa dikategorikan memiliki kelainan jiwa yang disebut gambling patologis. "Orang-orang seperti ini, gangguan kognitifnya amat besar. Dalam arti, kalau tak mentraktir-traktir sebentar saja, rasanya ada sesuatu yang aneh." Soalnya, aktivitas bagi-bagi rejeki ini buat yang bersangkutan justru mendatangkan kenikmatan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan cara begitu, ia merasa bisa menunjukkan power atau keberdayaannya.

Boleh jadi orang lain akan memanfaatkannya, hingga bila ada keinginan tertentu atau kebutuhan mendesak pasti akan datang padanya karena dianggap "pahlawan" yang mudah mengucurkan uang. Masyarakat malah memberi dukungan atas sikapnya karena merasa diuntungkan. Padahal, pembenaran begini malah akan mempersulit yang bersangkutan membenahi diri. Bila memang tersedia dana, tentu tak jadi masalah. Lain hal bila duit cekak, tapi ingin sok dan gaya-gayaan. Apalagi sampai pertaruhkan diri dengan pinjam sana-sini atau malah berutang.

Tak ada cara ampuh untuk mengobati "penyakit" yang satu ini, selain memasukkannya ke panti rehabilitasi.

Th. Puspayanti/nakita