Kala Si Kecil Jadi Bintang

By nova.id, Jumat, 14 Januari 2011 | 17:01 WIB
Kala Si Kecil Jadi Bintang (nova.id)

Siapa bilang orang tua tak boleh memanfaatkan kehebatan/ketenaran anak yang berbakat jadi bintang? Bahkan, boleh-boleh saja, kok, bila si kecil yang jadi pencari nafkah keluarga.

Sering, kan, kita mendengar suara-suara sumbang ditujukan pada orang tua yang putra atau putrinya jadi bintang tenar hingga menghasilkan uang berlimpah? Si orang tua dituduh mengeksploitasi anaknya hanya untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan dampaknya buat perkembangan anak. Namun di sisi lain, tak sedikit orang tua yang kepingin anaknya jadi bintang, sampai-sampai si anak "dijajakan" ke produser-produser rekaman dan sutradara film. Bahkan, ada, lo, yang sampai minta bantuan paranormal segala.

Tentu sah-sah saja keinginan orang tua agar anaknya jadi bintang tenar, apalagi jika si anak memang berbakat. Bahkan, orang tua pun tak dilarang memanfaatkan kehebatan maupun ketenaran si bocah. Tapi ada syaratnya, lo, Bu-Pak. "Asalkan enggak menyetir atau mendikte si anak, apalagi mengeksploitasinya sampai ia sama sekali tak mendapat kebahagiaan dari apa yang ia lakukan," kata psikolog Rienny Hassan . Hal ini bisa dilihat dari wajah si bintang yang kosong dan ngomongnya seperti mesin otomat tanpa ekspresi.

Masih ada syarat lainnya, lo. Apa saja? Mari kita simak bersama pemaparan di bawah ini.

BUKAN SAPI PERAHAN

Jangan pernah menjadikan anak sebagai sapi perahan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Bahwa pengelolaan keuangan si anak dipegang orang tua, itu memang mutlak karena anak sama sekali belum mengerti nilai uang. "Orang tua harus pintar mengarahkan anak untuk menginvestasikan uang tersebut bagi masa depannya, selain untuk mencukupi kebutuhannya sekarang." Jadi, bukan uang itu dimanfaatkan orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga, karena menafkahi keluarga adalah tanggung jawab orang tua.

Bukan berarti kita lantas tak boleh bertukar peran dengan anak sebagai pencari nafkah, lo. Namun dalam arti, anaklah yang mencari uang sementara orang tua berstatus sebagai karyawan anaknya. "Boleh-boleh saja, kok, kendati sering terkesan tak lumrah." Tapi dengan begitu, sebagai sosok yang paling mengenal kepribadian anak, kita harus bisa menjalankan fungsi secara harmonis sebagai ayah/ibu yang melindungi sekaligus manajer profesional, disamping sebagai pengelola keuangan sekaligus pembimbing kreatif, hingga tiap tahap perkembangan anak punya "nilai jual" tersendiri. Dengan begitu masa kejayaan yang semula relatif pendek bisa diperpanjang lewat gebrakan-gebrakan acara inovatif yang membuat si anak tetap diterima pasar.

AJAK MEMBUMI

Kita harus pandai-pandai mengajarinya untuk tetap meletakkan, paling tidak sebelah kakinya di dunia realitas kendati kaki yang satu mungkin harus berpijak di dunia keartisannya. "Tekankan anak untuk hidup wajar sebagai anak, termasuk bermain dan bergaul dengan anak-anak lain seperti halnya anak-anak pada umumnya."

Caranya, jauhkan ia dari glamorous-nya kehidupan artis; tekankan padanya untuk menjadikan keartisannya hanya sebagai sarana berprofesi. Biasanya, mereka inilah yang bisa bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu sekaligus menikmati kehidupannya. Beda sekali dengan mereka yang memamerkan diri hanya untuk menunjukkan dirinya eksklusif, "Nih, gue, kan artis!" Justru sikap norak begini yang membuat penghargaan orang terhadap dirinya berkurang.

HARUS SIAP TURUN

Kita pun mesti menyadari popularitas anak sebagai bintang bukanlah pesta yang tiada akhir. Suatu saat pasti terjadi pergeseran selera masyarakat, sementara anak pun terus tumbuh dewasa dan kehilangan geregetnya. Nah, pada bintang cilik, masa kejayaannya relatif singkat, kecuali bila kemudian si imut-imut ini berhasil menjadikan dirinya bintang remaja dan tetap disukai sebagai bintang dewasa. Jadi, bila memang sudah lewat masanya, tak usahlah kita maksain anak tetap jadi bintang. Biarkan saja jaman keemasan itu tersimpan menjadi kenangan manis, baik untuk si anak maupun penggemarnya.