Jika aktivitas si bintang dianggap sudah di luar batas kewajaran, kita harus mawas diri dan berani bilang "tidak". Jadi, bila ia tak lagi punya kesempatan bermain atau wajahnya begitu memelas tanpa spontanitas dan sorot matanya akibat kelelahan menjalani hidup yang memang bukan hidupnya, berarti ia sudah kehilangan hak asasinya sebagai anak. Bukankah dengan begitu ia menjadi orang dewasa dalam bentuk mini?
Memang, untuk meraih popularitas ataupun prestasi hebat ada harga yang harus dibayar, entah terpaksa makan dan belajar di tempat syuting/studio rekaman atau berlatih lebih keras lagi. Sebagaimana dialami ratu renang maupun pebulutangkis kita; kala anak lain sebayanya masih dibuai mimpi, Elvira Nasution bersaudara sudah harus nyemplung ke kolam renang. Bagaimanapun, dalam hidup harus selalu ada yang dikorbankan karena tak semua yang kita inginkan bisa tercapai.
Namun harga yang harus dibayar itu akan jadi kelewat mahal bila di masa dewasanya, si anak tak bisa menerima kenyataan dirinya bukan lagi bintang. Begitu banyak contoh artis atau tokoh terkenal yang akhirnya malah terpuruk dan mengalami depresi berat, bahkan bunuh diri. Hal-hal tragis semacam ini tak akan terjadi jika kita pandai memainkan peran sebagai pembimbing anak dan menyiapkannya jauh-jauh hari, hingga saat tak terkenal lagi ia tak terus-menerus menggapai-gapai mencari perhatian orang lain.
KEMBANGKAN BAKAT LAIN
Tentunya kita juga harus selalu mempertanyakan, apakah si kecil memang benar berbakat ataukah kita yang kelewat ambisi. Pertanyaan mendasar ini akan terlihat saat ia menuai sukses. Kondisi anak berbakat yang memiliki orang tua bijak tentu berbeda sekali dengan anak yang dipaksa harus sukes hanya demi memenuhi ambisi orang tuanya.
Meraih sukses semestinya merupakan rangkaian dari pengalaman keberhasilan sebelumnya ke jenjang yang selalu lebih tinggi. Bisa masuk dapur rekaman, contoh, tentu karena memang sudah sering nyanyi di panggung, tampil di TV dan selalu ditunggu-tunggu penggemarnya. "Beda banget, dong, dengan artis karbitan yang dipaksa nyanyi, sementara nada dasarnya saja mungkin tak terkuasai. Yang begini biasanya tak akan memberi hasil maksimal. Albumnya nggak akan meledak dan akhirnya cuma buang-buang enerji serta uang. Dalam waktu singkat, namanya pun kembali tenggelam."
Selain itu, kita pun perlu menyiapkan anak memiliki kompetensi atau keahlian di bidang lain. Hingga, ketika "profesi"nya sekarang tak lagi jadi sandaran utama, ia masih punya hal lain yang bisa dibanggakan dan diandalkan. Tentu ini harus diantisipasi jauh-jauh hari. Begitupun dengan prestasi akademiknya. Jangan sampai karena kelewat sibuk cari uang, ia jadi kerap bolos sekolah; dalam sebulan cuma masuk 2-3 hari, misal. Ingat, lo, sekolah tak kalah penting. Jadi, jangan mentang-mentang ia masih di kelompok bermain atau TK, kita lantas menganggap enteng, "Ah, masih TK ini. 'Sekolah'nya juga masih banyak main. Nanti kalau sudah SD baru, deh, masuk terus." Hati-hati, dengan bersikap seperti itu, secara tak langsung kita telah mengajarinya untuk tak bertanggung jawab, lo.
TAK DIPERLAKUKAN ISTIMEWA
Kita harus selalu sadar, setiap anak di dalam keluarga punya hak dan kewajiban yang sama. Jangan karena ia bintang tenar atau memberi "sumbangan" terbesar bagi keluarga, lantas diperlakukan istimewa ketimbang saudara-saudaranya. Perlakuan istimewa hanya membuat anak tak bisa menjejakkan kakinya di bumi. Ia pun jadi bersikap seenaknya di rumah, bahkan kurang ajar semisal, "Kok, makannya kayak gini, sih? Aku, kan, nggak suka masakan begini! Ingat, aku yang cari duit buat makan keluarga!"
Jadi, Bu-Pak, apa pun keistimewaan yang disandang anak, kita sendiri harus tetap bijaksana dan pandai menjaga wibawa agar tak "tergelincir" mengistimewakan si bintang dan memandang sebelah mata pada saudara-saudaranya.
ORANG TUA MENDUKUNG
Nah, bila kita bisa menjalani semua persyaratan di atas, berarti kita orang tua yang istimewa. Seperti dibilang Rieny, "orang tua yang punya bintang cilik pastilah tergolong istimewa. Soalnya, menjadi orang tua dari anak hebat semacam itu bukanlah tugas mudah. Paling tidak, ia harus mampu mengenali bakat anaknya. Padahal, mengenali bakat anak butuh ketangguhan dan daya tahan tersendiri." Bukankah prestasi gemilang umumnya tak diraih dalam sekejap? Melainkan secara bertahap dan menuntut kerja keras semua pihak yang terlibat. Selain, keberhasilan mengenali dan menggali bakat juga sangat tergantung dari kedekatan hubungan orang tua dan anak. "Orang tua yang nggak dekat, mana mungkin bisa? Karena dia sendiri, kan, enggak tahu persis siapa dan bagaimana kehidupan anaknya."
Menurut Rieny, keistimewaan ini semakin bertambah nilainya bila orang tua bersedia mengorbankan diri dan kehidupan pribadinya demi "karier" anaknya, kendati risikonya boleh jadi ia akan dicap "memanfaatkan" anaknya. Tapi, tak usah pedulikan suara-suara sumbang seprti itu. Bersikap realistis merupakan jalan terbaik. "Sepanjang anak memang enjoy melakukannya, why not? Wong, ini dunia, kok," tandas Rieny. Jadi, selama masih ada permintaan dan anak bisa memenuhi permintaan itu sekaligus memperoleh imbalan bagus, nggak apa-apa, kok, Bu-Pak.
Apalagi, dukungan orang tua, apa pun bentuknya, tetap menempati urutan nomor satu bagi kemajuan anak. Ia bisa menjelma jadi penyanyi tenar, misal, kalau ada ibu yang rela mengantarnya audisi dan setia mendampinginya tiap kali dapat panggilan manggung. Justru hal sebaliknya akan terjadi bila sejak awal kita malah mematahkan semangatnya dengan mengatakan, "Ah,, ngapain, sih, kamu jadi penyanyi?" atau "Papa enggak setuju kamu jadi artis. Pokoknya, kamu harus jadi dokter!"
Tapi ingat, lo, Bu-Pak, dukungan yang kita berikan memang murni untuk kepentingan si kecil, bukan lantaran ambisi kita.
Th. Puspayanti /nakita