Main Salon-Salonan

By nova.id, Selasa, 17 Mei 2011 | 17:01 WIB
Main Salon Salonan (nova.id)

Jangan pula kita menjadi panik atau si Buyung dimarahi kala kedapatan main salon-salonan, apalagi sampai ditakut-takuti dan diancam segala. Nanti ia malah bertanya-tanya, "Kenapa, ya, Ayah ini? Kok, aku main begini saja dilarang? Apa permainan ini jelek atau bahaya?" Dengan pola pikirnya yang masih sangat sederhana dan pemahaman bahasa yang sangat minim, tentu ia tak bisa mengolah banyak hal.

Pembatasan bahwa sesuatu permainan untuk anak laki-laki saja atau anak perempuan saja, menurut Henny, "kan cuma kesepakatan budaya setempat dan tak bersifat universal." Itu sebab, anak-anak di pedesaan belum tentu akan memainkan salon-salonan seperti halnya anak di perkotaan. Sedangkan dibilang tak universal karena anak tak perlu mempelajari atau mencontohnya lebih dulu. "Yang universal itu, misal, ketika dicubit, anak di Kutub Utara maupun di pedalaman Kalimantan akan sama-sama merasa sakit dan langsung menangis."

Jadi, Bu-Pak, jangan memandang negatif permainan salon-salonan ataupun melarang si Buyung memainkannya. Bukankah kita pun tak bisa menganggap sebelah mata profesi ini? Soalnya, profesi sebagai hairstylist/penata rambut atau kapster merupakan pekerjaan yang jelas-jelas ada di masyarakat, tak ubahnya seperti profesi atau bidang pekerjaan lain semisal dokter, guru, perawat, ataupun wartawan.

BERI ALTERNATIF

Jangan pula khawatir si Buyung bakal berkembang jadi seorang gay atau bergaya kebencong-bencongan, hanya gara-gara ia main salon-salonan. "Enggak ada, kok, bukti bahwa anak laki-laki yang gemar main salon-salonan akan jadi bencong di masa dewasa," bilang Henny.

Memang sih, Bu-Pak, mereka yang bergelut dalam dunia persalonan, seperti halnya dunia busana atau sejenisnya, umumnya akan "terbentuk" menjadi lebih lemah gemulai, manis atau tampak feminin. Sebab, tandas Henny, dalam bidang-bidang pekerjaan tersebut, mereka selalu berinteraksi dengan kaum hawa yang umumnya ingin diperlakukan secara halus/manis. Melalui proses yang lama, keterlibatan yang intensif secara terus menerus ditambah lingkungan yang mendukung, membuat pola interaksi semacam ini akhirnya juga melekat dalam diri mereka menjadi kebiasaan yang seolah sudah mendarah daging. Itu sebab, dunia luar pun akhirnya menganggap mereka yang terjun dalam bidang-bidang pekerjaan tadi rada kebencong-bencongan.

Tentu saja anggapan serupa tak berlaku bila yang melakukan kegiatan tersebut adalah anak laki-laki dan hanya sebatas bermain, bukan menggelutinya sebagai profesi sepanjang hidup. Kalaupun muncul gejala kebencong-bencongan yang tak kita harapkan, masih sangat mudah bagi kita untuk membantu mengarahkan atau malah mencegahnya agar tak kebablasan.

Itu sebab, kendati permainan ini tak mengenal jenis kelamin, bukan berarti kita boleh membiarkan si Buyung hanya main salon-salonan. Apa pun, semakin banyak jenis permainan yang diminatinya, semakin luas pula pengetahuan dan wawasan anak. Jadi, Bu-Pak, upayakan agar si Buyung maupun Upik juga menyukai permainan lain diluar permainan salon-salonan, seperti main mobil-mobilan, dokter-dokteran, masak-masakan, dan sebagainya. Dengan begitu aktivitas anak makin bervariasi, hingga bila hari ini ia begitu menikmati main salon-salonan, esok hari diharapkan ia asyik main mobil-mobilan, lusa sibuk main masak-masakan, begitu seterusnya.

Soalnya, bila si kecil cuma main salon-salonan melulu dan tak punya alternatif atau pilihan lainnya, maka eksplorasinya pun akan sangat minim. Terbatasnya lingkup eksplorasinya inilah yang secara langsung akan mempersempit peluang anak memperoleh berbagai pengetahuan yang sebenarnya bisa ia peroleh sejak kecil. Kasihan, kan?

AYAH, TOKOH IDENTIFIKASI

Jika ternyata si Buyung lebih kerap main salon-salonan, kita juga tak boleh langsung memvonis dirinya mengalami kelainan. Boleh jadi lantaran temannya kebanyakan perempuan dan mereka kerap mengajaknya main salon-salonan. Itu sebab, kita harus mengupayakan agar si Buyung juga menyukai permainan lain. Tentu saja, hal ini bisa dilakukan hanya bila kita mau melibatkan diri secara aktif dalam permainan. Dengan begitu, kita bisa tahu persis kapan harus meng-cut atau mengalihkan ke permainan lain.

Selain itu, kita pun harus berupaya agar memberi reward lebih tinggi pada permainan yang baru ketimbang permainan salon-salonan tadi. Dengan begitu, anak lebih tertarik pada permainan tersebut daripada main salon-salonan yang lambat laun akan ditinggalkan atau dikurangi porsinya. Dengan cara ini, si Buyung pasti tak akan main salon-salonan melulu, deh, Bu-Pak.