Main Salon-Salonan

By nova.id, Selasa, 17 Mei 2011 | 17:01 WIB
Main Salon Salonan (nova.id)

Kalaupun si Buyung lantas menunjukkan sifat kewanitaan/feminitas yang berlebihan, tak perlu cemas. Toh, kita bisa melatihnya agar maskulinitasnya muncul/terasah. Di sinilah pentingnya figur seorang ayah dalam keluarga, sebab di usia balita figur ayah sangat besar pengaruhnya sebagai tokoh identifikasi bagi anak lelaki. Lewat kehadiran ayah, si Buyung belajar "bagaimana, sih, menjadi laki-laki sejati?" Bukankah dalam keseharian ayah bisa mencontohkan sifat dan perilaku, baik sebagai seorang kepala keluarga, seorang suami dan seorang ayah kepada istri, anak dan seluruh anggota keluarga lain. Dari contoh inilah anak belajar berinteraksi dengan orang lain.

Melalui aktivitas bersama ayah ini, si Buyung akan belajar beridentifikasi pada sosok ayahnya, "Begini, lo, jadi laki-laki." Sebabnya, figur ayah merupakan sosok laki-laki pertama yang dikenal anak. Bila ayah memiliki kedekatan dengan anak laki-lakinya dan anak bisa belajar beridentifikasi pada ayahnya, tak perlu khawatir si Buyung tumbuh kebencong-bencongan. Karena meskipun tumbuh di lingkungan yang akrab dengan "dunia wanita", bermain salon-salonan hanya akan dijadikan si Buyung sebagai hiburan atau selingan saja. Tepatnya, salah satu bentuk permainan alternatif.

Jadi, bila si Buyung kelewat feminin, seharusnya orang tua, terutama ayah, introspeksi diri. Artinya, sudah sejauh mana ayah mengemban kewajibannya sebagai seorang ayah, terutama ikut terlibat dalam pengasuhan anak sehari-hari. Keterlibatan semacam inilah yang akan memungkinkan terjalinnya kedekatan hubungan ayah-anak. Pak, kalau semua urusan diserahkan ke ibu, jangan salahkan istri, lo, kalau sifat feminin mendominasi si Buyung. Soalnya, memang sosok itulah yang ada dalam kesehariannya sekaligus jadi faktor modellingnya. Itu sebab, saran Henny, seorang ayah harus sedari dini mencurahkan waktu dan melibatkan diri untuk berinteraksi dengan anak laki-lakinya.

MENGGALI MANFAAT

Jadi, Bu-Pak, jangan lagi berpikir bahwa main salon-salonan cuma milik anak perempuan, ya! Apalagi, lewat permainan ini, baik anak perempuan maupun anak lelaki, bisa mendapat banyak manfaat. Diantaranya, anak bisa mengenali profesi tertentu sekaligus belajar menghayatinya.

Kala bermain salon-salonan, bilang Henny, anak akan menciptakan tokoh imajinasi dalam benaknya. Artinya, ia akan berpura-pura atau membayangkan dirinya sebagai hairstylist atau kapster salon. Itu sebab, ia terlihat begitu serius saat menyisiri dan mendandani bonekanya atau kala "menata" rambut kita. Dengan gaya "profesional" ia akan mengatur rambut kita sedemikian rupa: ditarik ke belahan kiri, diputar ke bagian kanan ataupun dijepit depan-belakang. Apa pun hasil akhirnya, jangan pernah mencacat atau mencela si kecil, ya, meski barangkali jelas-jelas terlihat norak untuk ukuran kita. Melainkan, tandas Henny, pujilah kerja keras dan kesungguhannya.

Anak pun bisa menambah keterampilan sekaligus melatih kemampuan motorik halusnya, dari memegang sisir dengan benar sampai menyisiri rambut kakak atau bonekanya. Disamping mengasah kemampuan imajinasi dan belajar berbagi dengan orang lain.

Bahkan orang tua pun bisa memetik manfaat permainan ini. Paling tidak, mematahkan stereotip yang hidup di masyarakat: permainan untuk anak laki-laki harus menunjukkan kelelakian/macho, semisal main perang-perangan. "Pendapat semacam itu kan harus ditepis karena anak laki-laki pun butuh kelemah-lembutan agar semasa dewasa kelak bisa memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan penuh kasih sayang," bilang Henny.

Sebaliknya, perempuan tak harus berkutat dengan permainan yang lemah lembut. Siapa tahu nantinya ia harus membetulkan genting sendiri kala rumah bocor sementara suami sedang luar kota, misal. Bukan tanpa risiko, lo, bila si Upik hanya asyik dengan "permainan perempuan". Soalnya, ia jadi terbiasa "cengeng" yang akan terus berlanjut sampai besar. Kesenggol sedikit saja nangis atau saat dihadapkan pada situasi dan kondisi yang berkaitan dengan ke-macho-an, ia akan frustrasi atau bersikap pasrah/pasif.

Jadi, tak perlulah kita membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin. Toh, pada dasarnya, jelas Henny, manusia punya keduanya: sifat kewanitaan sekaligus sifat kelelakian, hanya kadarnya saja berbeda pada tiap individu.

Yanti/Gazali Solahuddin/nakita