Selain itu, sesibuk apa pun kita harus selalu upayakan meluangkan waktu buat anak. Minimal untuk berkomunisasi, semisal dengan menelepon dari kantor, "Lagi ngapain, Sayang? Tadi Bunda pesan sama si Mbak supaya membuatkan mi goreng kesukaanmu. Gimana? Enak, kan? Terus, di 'sekolah' tadi kamu main apa bersama teman-temanmu?" Hal ini akan membuat si kecil merasa diperhatikan hingga ia pun belajar untuk memperhatikan kita dan orang lain.
Disamping, kita pun jadi bisa tahu apa saja aktivitasnya sepanjang hari itu, baik di "sekolah" maupun rumah. Hingga, bila terjadi hal-hal yang menyimpang dari sikap dan perilaku si kecil atau sebaliknya, si kecil dinakali/dijahati teman, kita bisa memberinya pengertian sambil memasukkan nilai-nilai kepadanya. Misal, "Kalau si Toni gangguin lagi, kamu bilang sama Ibu Guru, ya. Biar nanti Ibu Guru yang menasihati Toni. Tapi kamu harus ingat, lo, jangan sekali-kali membalasnya atau malah kamu duluan yang gangguin orang lain. Kamu sendiri sudah ngerasain nggak enak, kan, digangguin."
Tak kalah penting, jangan pernah memperlakukan anak secara keras/kasar. Soalnya, anak yang dibesarkan dengan perlakuan kasar/keras, kecil kemungkinan akan memiliki rasa cinta sesama. Jika si kecil kerap dipanggil dengan sebutan/sapaan kasar, misal, ia akan terbiasa dengan situasi/suasana kehidupan seperti itu. Ia akan menganggap perlakuan kasar tersebut memang lumrah, hingga akhirnya terbentuklah perilaku kasar pada dirinya. Kalau sudah begitu, bagaimana ia bisa mencintai sesama? Itu sebab, anjur Ike, orang tua hendaknya membesarkan anak dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, semisal memanggil anak dengan sapaan-sapaan manis seperti, "Halo, Sayang, sudah mandi belum?"
BANYAK TEMAN
Perlu diketahui, cinta pada sesama merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Soalnya, terang Ike, manusia adalah makhluk sosial yang setiap waktu berinteraksi, bahkan tak bisa hidup tanpa kehadiran makhluk lain. Namun cinta sesama tak datang atau terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus melalui proses pembelajaran untuk jangka waktu tak terbatas.
Itulah mengapa, kita perlu mengajarkan cinta sesama pada si kecil, malah sedari dini. Selain lebih mudah memberikan masukan/nilai-nilai yang hendak diajarkan, hasilnya pun diharapkan akan sedemikian tertanam dalam diri anak sepanjang hidupnya. Namun sejauh mana pengajaran itu membuahkan hasil, sangat tergantung dari peran serta kita, terutama pada "strategi" kita untuk menjabarkannya dalam kesehariannya.
Manfaatnya amat besar, lo, Bu-Pak, bila kita berhasil menanamkan cinta sesama pada si kecil. Soalnya, anak yang memiliki rasa cinta sesama, biasanya lebih mudah berinteraksi dengan teman-temannya ataupun bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. "Ia akan punya banyak teman karena pribadi semacam ini umumnya mudah pula masuk dan diterima kelompok atau lingkungan mana pun." Bukankah jika orang punya cinta pada sesama, ia takkan pernah mau menyakiti orang lain? Sebaliknya, orang yang "miskin" cinta umumnya mudah mengejek/mengolok-olok/melecehkan orang lain. Tak heran bila ia akhirnya dijauhi atau malah dikucilkan teman-temannya.
LINGKUNGAN LUAR
Yang harus diingat, di usia prasekolah, lingkungan pergaulan anak mulai meluas. Kendati frekuensi keberadaan anak di dalam rumah masih jauh lebih besar ketimbang di luar rumah, tapi bila ia minim masukan tentang cinta kasih dari dalam rumah, maka kecil kemungkinan ia akan memiliki rasa cinta sesama. Terlebih lagi kita tak bisa sepenuhnya mengontrol anak kala ia bermain dengan teman-temannya, hingga bisa saja ia meniru perilaku buruk teman-temannya semisal suka jahil, memukul, mengejek, dan lainnya.
Bukan berarti kita lantas melarang si kecil bergaul, lo. "Enggak fair, dong, kalau orang tua melarang anak bergaul sementara kita sendiri boleh berteman dengan siapa saja. Sekalipun dia itu penjahat, asalkan sifat buruknya tak menulari kita, malah sifat baik cinta sesama pada kitalah yang harus mempengaruhinya," tutur Ike. Namun mengingat si kecil masih kanak-kanak, tentu kita harus menjaganya agar jangan sampai "terjatuh" atau mengadopsi hal-hal buruk dari luar rumah.
Tapi ingat, caranya bukan dengan melarang si kecil bergaul, ya, Bu-Pak. Melainkan dengan memberinya pengertian bahwa perilaku tersebut tak baik, jadi tak boleh ditiru. Jika hal ini terus kita lakukan, lama-lama si kecil pun bisa menyeleksi sendiri masukan nilai-nilai yang ia terima dari lingkungan luar. Justru bila kita main larang tanpa memberikan pengertian, si kecil akan bingung dan bertanya-tanya, "Kenapa, sih, aku enggak boleh main sama si Toni?" atau, "Kenapa, sih, aku enggak boleh main di tempat itu?" Lama-lama ia pun terdorong untuk mencari tahu sendiri yang bisa membahayakan dirinya. Malah celaka, kan?
Selain lingkungan permainan, masih ada satu lagi yang patut diwaspadai mengingat dampaknya tak kalah serius, yakni tayangan TV. Bukankah umumnya film, termasuk film untuk anak, lebih kerap mempertontonkan adegan keras atau mengetengahkan cerita yang tak mengajarkan cinta sesama? Bisa dibayangkan, kan, apa jadinya si kecil bila ia kerap dijejali berbagai pengaruh dan contoh yang tak mengedepankan rasa cinta pada sesama? Ia tentu akan menganggapnya wajar, hingga ia pun akan berperilaku kasar. Jadi, bukan cuma perlakuan keras dan kasar dari orang tua saja, ya, Bu-Pak, yang bisa berdampak pada anak.