Tanpa "modal" cinta sesama, si kecil bisa dikucilkan oleh teman-temannya, lo. Makanya, ajarkan ia agar mau membantu dan menghargai orang lain, serta berempati.
Mengajarkan yang satu ini memang bukan soal mudah. Sepintar apa pun si kecil, ia pasti akan terbengong-bengong saat kita bilang, "Kamu mesti mencintai sesama, Nak." Malah, bisa-bisa ia berkomentar, "Ayah ini ngomong apa, sih?" atau bertanya, "Apa, sih, mencintai sesama itu, Bunda?"
Soalnya, "cinta sesama" merupakan sesuatu yang abstrak. "Enggak ada, kan, ukuran yang jelas dan pasti bagaimana mengasihi atau menyayangi orang lain?" ujar dra. Ike Anggraika, Msi. Sementara anak usia prasekolah masih dalam tahap konkret. "Pola pikirnya masih begitu sederhana dan ia hanya bisa menangkap hal-hal yang yang bersifat konkret atau nyata," jelas pengajar di Jurusan Psikologi Perkembangan Fakultas Psikologi UI ini.
Makanya, nggak heran kalau si kecil malah kebingungan kala kita menyuruhnya agar mencintai sesama. Jangankan untuk memahami apa itu cinta sesama, apa arti cinta atau sayang saja dia enggak ngerti, kok! Jadi, kita perlu menjabarkannya dalam bentuk perilaku nyata hingga mudah dipahami si kecil.
DARI KESEHARIAN
Menurut Ike, cinta sesama ditanamkan pada anak haruslah dengan mengajarkan perilaku-perilaku menolong. Namun untuk mengajarkannya, tak perlu kita sampai menyediakan waktu khusus tapi cukup dari keseharian. Misal, ibu tengah sibuk menenangkan adik bayi yang rewel sementara si kakak minta dibacakan cerita. Nah, si ayah yang menyaksikan hal itu harusnya tanggap, "Ayah saja, ya, yang bacain. Kan, Ibu lagi repot ngurus adik."
Contoh lain, kala ayah hendak mencuci mobil, si kecil dilibatkan seperti membawakan barang-barang yang ringan, "Kak, tolong bantu Ayah bawain ember plastik dan sikat ini, ya. Ayah mau cuci mobil." Bahkan, tak ada salahnya si kecil yang berusia prasekolah dilibatkan dalam pencucian mobil tersebut. Tentu saja untuk tugas-tugas yang ringan, semisal membantu menyemprotkan air ke mobil, mengelap badan mobil di bagian tertentu, dan seterusnya.
Dari situ si kecil bisa belajar apa itu yang namanya saling membantu dan bekerja sama. Bukankah ini merupakan salah satu bentuk perwujudan cinta sesama? Bentuk lain, kala si kecil tengah bermain dengan kakaknya, misal, tampak ia berusaha merebut mainan yang dipegang si kakak. Meski niatnya hanya ingin meminjam, tapi ia harus diberi pengertian untuk menghargai milik orang lain. "Nak, kamu enggak boleh main rebut atau ngambil begitu saja mobil-mobilan kepunyaan Kakak. Kamu harus bilang dan minta ijin dulu sama Kakak." Dengan begitu, si kecil sekaligus belajar mengenai konsep kepemilikan dan nilai-nilai kebersamaan.
Selain menghargai milik orang lain, si kecil pun perlu diajarkan menghargai orang lain, semisal tak pilih-pilih teman bermain. Entah miskin atau kaya, cacat atau normal, pintar maupun kurang pandai, ia tetap harus bisa menerima sesamanya. Jikapun ia kedapatan mengolok-olok temannya lantaran kekurangan/cacat yang dideritanya, tak perlu memarahinya tapi cukup dengan memberinya pengertian, "Nggak boleh begitu, dong, Sayang. Coba gimana kalau kamu yang digituin sama temanmu, pasti kamu enggak mau juga." Alangkah baiknya jika sesekali kita rayakan ulang tahun si kecil di panti-panti anak cacat maupun panti asuhan. Hingga, ia bukan hanya belajar menghargai sesamanya tapi juga berempati, ikut merasakan kesedihan dan penderitaan yang dialami anak-anak lain.
Tentu saja, hal-hal tadi baru sebagian kecil dari pembelajaran tentang cinta sesama. Masih banyak lagi hal lain yang bisa dipelajari si kecil dari kehidupannya sehari-hari, termasuk menyayangi tumbuhan dan binatang. Kala kita mengajaknya berjalan-jalan di taman dan ia kedapatan iseng memetik dedaunan/bunga atau malah mencabuti pohon-pohon kecil, tegurlah dengan lembut sambil diberi pengertian, "Lo, kok, pohonnya dicabuti? Jangan, dong, Sayang. Nanti pohonnya mati semua dan kita enggak bisa melihatnya lagi." Atau, kala ia "kepergok" hendak memukul si Pusi, kucing kecil piaraannya, lantaran "mencuri" tempe di piring nasinya, segera tangkap lembut tangannya dan katakan, "Kak, jangan pukul si Pusi. Nanti si Pusi kesakitan. Kasihan, kan?"
CONTOH DARI ORANG TUA
Namun pengajaran tersebut masih belum cukup jika tak disertai contoh langsung dari kita yang dapat dilihat dan ditirunya. Jangan lupa, di usia prasekolah, si kecil pun tengah berada dalam tahap modelling dan kita adalah model buatnya. "Jadi, perilaku orang tua dalam keseharian pun harus mencerminkan cinta kasih terhadap sesama, selain dituntut untuk konsisten," bilang Ike. Kalau tidak, apa yang sudah kita ajarkan tadi akan percuma saja. Jangan sampai kita di rumah malah "rajin" mengomel atau memperbudak pembantu, misal. Ingat, di mata anak, orang tua merupakan tokoh sentral dan ia paling mudah meniru apa pun dari orang tuanya.
Selain itu, sesibuk apa pun kita harus selalu upayakan meluangkan waktu buat anak. Minimal untuk berkomunisasi, semisal dengan menelepon dari kantor, "Lagi ngapain, Sayang? Tadi Bunda pesan sama si Mbak supaya membuatkan mi goreng kesukaanmu. Gimana? Enak, kan? Terus, di 'sekolah' tadi kamu main apa bersama teman-temanmu?" Hal ini akan membuat si kecil merasa diperhatikan hingga ia pun belajar untuk memperhatikan kita dan orang lain.
Disamping, kita pun jadi bisa tahu apa saja aktivitasnya sepanjang hari itu, baik di "sekolah" maupun rumah. Hingga, bila terjadi hal-hal yang menyimpang dari sikap dan perilaku si kecil atau sebaliknya, si kecil dinakali/dijahati teman, kita bisa memberinya pengertian sambil memasukkan nilai-nilai kepadanya. Misal, "Kalau si Toni gangguin lagi, kamu bilang sama Ibu Guru, ya. Biar nanti Ibu Guru yang menasihati Toni. Tapi kamu harus ingat, lo, jangan sekali-kali membalasnya atau malah kamu duluan yang gangguin orang lain. Kamu sendiri sudah ngerasain nggak enak, kan, digangguin."
Tak kalah penting, jangan pernah memperlakukan anak secara keras/kasar. Soalnya, anak yang dibesarkan dengan perlakuan kasar/keras, kecil kemungkinan akan memiliki rasa cinta sesama. Jika si kecil kerap dipanggil dengan sebutan/sapaan kasar, misal, ia akan terbiasa dengan situasi/suasana kehidupan seperti itu. Ia akan menganggap perlakuan kasar tersebut memang lumrah, hingga akhirnya terbentuklah perilaku kasar pada dirinya. Kalau sudah begitu, bagaimana ia bisa mencintai sesama? Itu sebab, anjur Ike, orang tua hendaknya membesarkan anak dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, semisal memanggil anak dengan sapaan-sapaan manis seperti, "Halo, Sayang, sudah mandi belum?"
BANYAK TEMAN
Perlu diketahui, cinta pada sesama merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Soalnya, terang Ike, manusia adalah makhluk sosial yang setiap waktu berinteraksi, bahkan tak bisa hidup tanpa kehadiran makhluk lain. Namun cinta sesama tak datang atau terbentuk dengan sendirinya, melainkan harus melalui proses pembelajaran untuk jangka waktu tak terbatas.
Itulah mengapa, kita perlu mengajarkan cinta sesama pada si kecil, malah sedari dini. Selain lebih mudah memberikan masukan/nilai-nilai yang hendak diajarkan, hasilnya pun diharapkan akan sedemikian tertanam dalam diri anak sepanjang hidupnya. Namun sejauh mana pengajaran itu membuahkan hasil, sangat tergantung dari peran serta kita, terutama pada "strategi" kita untuk menjabarkannya dalam kesehariannya.
Manfaatnya amat besar, lo, Bu-Pak, bila kita berhasil menanamkan cinta sesama pada si kecil. Soalnya, anak yang memiliki rasa cinta sesama, biasanya lebih mudah berinteraksi dengan teman-temannya ataupun bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. "Ia akan punya banyak teman karena pribadi semacam ini umumnya mudah pula masuk dan diterima kelompok atau lingkungan mana pun." Bukankah jika orang punya cinta pada sesama, ia takkan pernah mau menyakiti orang lain? Sebaliknya, orang yang "miskin" cinta umumnya mudah mengejek/mengolok-olok/melecehkan orang lain. Tak heran bila ia akhirnya dijauhi atau malah dikucilkan teman-temannya.
LINGKUNGAN LUAR
Yang harus diingat, di usia prasekolah, lingkungan pergaulan anak mulai meluas. Kendati frekuensi keberadaan anak di dalam rumah masih jauh lebih besar ketimbang di luar rumah, tapi bila ia minim masukan tentang cinta kasih dari dalam rumah, maka kecil kemungkinan ia akan memiliki rasa cinta sesama. Terlebih lagi kita tak bisa sepenuhnya mengontrol anak kala ia bermain dengan teman-temannya, hingga bisa saja ia meniru perilaku buruk teman-temannya semisal suka jahil, memukul, mengejek, dan lainnya.
Bukan berarti kita lantas melarang si kecil bergaul, lo. "Enggak fair, dong, kalau orang tua melarang anak bergaul sementara kita sendiri boleh berteman dengan siapa saja. Sekalipun dia itu penjahat, asalkan sifat buruknya tak menulari kita, malah sifat baik cinta sesama pada kitalah yang harus mempengaruhinya," tutur Ike. Namun mengingat si kecil masih kanak-kanak, tentu kita harus menjaganya agar jangan sampai "terjatuh" atau mengadopsi hal-hal buruk dari luar rumah.
Tapi ingat, caranya bukan dengan melarang si kecil bergaul, ya, Bu-Pak. Melainkan dengan memberinya pengertian bahwa perilaku tersebut tak baik, jadi tak boleh ditiru. Jika hal ini terus kita lakukan, lama-lama si kecil pun bisa menyeleksi sendiri masukan nilai-nilai yang ia terima dari lingkungan luar. Justru bila kita main larang tanpa memberikan pengertian, si kecil akan bingung dan bertanya-tanya, "Kenapa, sih, aku enggak boleh main sama si Toni?" atau, "Kenapa, sih, aku enggak boleh main di tempat itu?" Lama-lama ia pun terdorong untuk mencari tahu sendiri yang bisa membahayakan dirinya. Malah celaka, kan?
Selain lingkungan permainan, masih ada satu lagi yang patut diwaspadai mengingat dampaknya tak kalah serius, yakni tayangan TV. Bukankah umumnya film, termasuk film untuk anak, lebih kerap mempertontonkan adegan keras atau mengetengahkan cerita yang tak mengajarkan cinta sesama? Bisa dibayangkan, kan, apa jadinya si kecil bila ia kerap dijejali berbagai pengaruh dan contoh yang tak mengedepankan rasa cinta pada sesama? Ia tentu akan menganggapnya wajar, hingga ia pun akan berperilaku kasar. Jadi, bukan cuma perlakuan keras dan kasar dari orang tua saja, ya, Bu-Pak, yang bisa berdampak pada anak.
Pengalaman Traumatis Menghilangkan Cinta Pada Sesama
Jika sedari dini anak diajarkan cinta sesama hingga meresap dan tertanam dalam dirinya, biasanya akan bertahan sampai kapan pun. Lain soal jika di tengah perjalanan anak mengalami suatu hal atau peristiwa tak menyenangkan yang amat membekas alias pengalaman traumatis. Misal, ia menyaksikan ayahnya dibunuh.
"Pengalaman ini tentu akan memunculkan perasaan dendam. Ini berarti tak ada lagi rasa cintanya pada sesama. Perasaan dendam telah mengubah hidupnya 180 derajat; dari yang tadinya penuh cinta pada sesama dengan selalu menolong, sayang kepada semua makhluk hidup, menghargai orang lain, selalu bersikap arif dan hormat pada orang lain, kini mendadak berubah jadi manusia yang bengis dan kejam," tutur Ike.
Soalnya, dalam dirinya tertanam begitu kuat anggapan, "Buat apa saya memiliki rasa cinta pada sesama jika orang lain tak demikian halnya pada saya." Kalau sudah begini, untuk mengembalikannya tak semudah kita membalik telapak tangan. Kita harus selalu memberikannya masukan dan pengertian dengan penuh kesabaran, hingga lambat laun perasaan dendam itu hilang dan ia bisa hidup normal kembali. Namun bila kita merasa tak sanggup untuk menanganinya, sangat dianjurkan untuk minta bantuan ahli.
Selain pengalaman traumatis, penyebabnya juga bisa karena gangguan kepribadian. "Jika ada anak yang tak merasa bersalah meski telah berbuat sadis pada sesama dengan kerap menjahili atau mengganggu teman-temannya atau bahkan menyakiti binatang, boleh jadi si anak menderita gangguan kepribadian." Tentu saja, kasus begini tak bisa ditangani sendiri, melainkan harus dikonsultasikan pada ahlinya untuk mendapatkan terapi.
Yanti/Gazali Solahuddin/nakita