Kok, Sepatunya Terbalik, Sayang

By nova.id, Sabtu, 23 April 2011 | 17:03 WIB
Kok Sepatunya Terbalik Sayang (nova.id)

Jadi, tegas Retno, anak sebetulnya tengah menguji kemampuan dirinya atau berusaha menunjukkan kemandiriannya. Namun karena keterbatasan intelektual tadi, sementara ia ngotot ingin mencoba, terjadilah kesalahan tersebut.

PENJAGA GAWANG

Kendati begitu, kita mesti mencermati dampak buruk kebiasaan memakai sepatu atau sandal terbalik, mengingat peran kaki cukup vital bagi gerak tubuh anak secara keseluruhan. Dengan memakai sepatu/sandal yang terbolak-balik, minimal ia merasa tak nyaman hingga membuat gerak motoriknya terganggu.

Padahal di usia ini, kemampuan motorik kasar anak justru tengah berkembang pesat. Hingga, si kecil yang tengah getol berlari ke sana kemari atau melompat/meloncat akan mudah terjatuh. Praktis, aktivitas dan peluang bereksplorasi serta rasa ingin tahunya jadi terhambat.

Itu sebab, agar tak berkembang kelewat jauh, sejak awal orang tua maupun pengasuh atau siapa pun yang menjadi orang terdekat si kecil harus memberi perhatian secara proporsional sekaligus pengarahan.

Jikapun lantaran berbagai sebab, akhirnya 'kesalahan' ini menjadi kebiasaan, menurut Retno, orang tua wajib bersikap sebagai gatekeeper atau penjaga gawang yang takkan pernah bosan memberitahukan kesalahan sekaligus meluruskannya. Bukankah bentuk perlakuan yang berulang-ulang bisa diharapkan akan mengakar sebagai kebiasaan?

Namun bila orang tua tak peka terhadap kesalahan tadi dan tak segera menegur serta membetulkannya, anak akan merasa hal tersebut bukan suatu kesalahan.

BELAJAR DARI KESALAHAN

Sebetulnya, bilang Retno, kita bisa memanfaatkan sisi positif dari situasi ini, yakni biarkan anak belajar dari kesalahannya. "Namun tentu saja, kesadaran bahwa dirinya melakukan kesalahan tak datang atau terbentuk dengan sendirinya, melainkan karena ada kepekaan dan pendampingan serta pengarahan yang tepat dari orang tua." Misal, "Ade, pakai sepatunya salah. Harusnya begini, lo, pakai sepatu yang benar.", dibarengi contoh langsung atau minimal sembari orang tua meletakkan sepatu tersebut di posisi yang benar.

Koreksi cara ini akan diingat si kecil dalam memorinya sekaligus lebih bermakna. Pasalnya, dibanding anak yang tak pernah melakukan kesalahan lantaran sepatunya selalu dipakaikan, mereka yang memakai sepatu terbolak-balik ini lebih "beruntung". Setidaknya, dampak psikologisnya lebih bagus karena ia pernah merasakan arti gagal atau berbuat salah, sekaligus tahu bagaimana cara memperbaikinya. Namun ingat, dalam menegur harus menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak usia ini. Juga harus disertai contoh karena lebih mudah ditangkap anak lantaran bersifat konkret. Selain, anak masih dalam tahap modelling atau peniruan.

Jika ia sampai terjatuh karena pakai sepatu/sandal terbalik, kita pun bisa menjadikannya sebagai contoh karena anak umumnya lebih mudah berasosiasi. Misal, "Tuh, Ade jatuh kesrimpet gara-gara pakai sepatu terbalik, sih!" Dengan demikian, ia akan melihat dan merasakan konsekuensi langsung dari kesalahannya memakai sepatu/sandal terbalik. Yang penting, bilang Retno, jangan lupa untuk langsung meralat kesalahannya, "Begini, lo, De, pakai sepatunya biar enggak jatuh dan kaki Adek juga enggak sakit."

Namun jangan lantas berhenti sampai di situ, lo, melainkan lanjutkan dengan memberi dukungan dan lingkungan kondusif yang akan menguatkan harga dirinya dan memunculkan perasaan mampu. Caranya, tunjukkan apresiasi atau penghargaan kita kala ia menunjukkan keinginannya mandiri. "Aduh, pintarnya, anak Ayah, sudah bisa pakai sepatu sendiri."