Lebih dari 50 persen wanita Indonesia tak pernah tahu ataupun merasakan orgasme. Padahal, kondisi organ-organ seksualnya memungkinkan ia mengalami orgasme bukan cuma sekali, lo, malah bisa berulang kali hanya dalam waktu sekian detik.
Diduga, penyebab utamanya adalah egoisme pria. "Banyak, kan, suami yang merasa bahwa cuma dia yang harus dipuaskan, tanpa mempedulikan pasangannya puas atau tidak," papar Dr. Ferryal Loetan, ASC&T, DSRM, MKes. (MMR) yang mendapatkan angka di atas dari hasil penelitiannya.
Padahal, lanjut konsultan seksologi ini, kehidupan seksual dalam keluarga adalah kepentingan bersama. Dengan demikian, kepuasan seksual sudah semestinya menjadi hak istri juga. "Berpasangan sebagai suami-istri, kan, levelnya sama; hak dan kewajiban mereka juga sama." Jadi, kalau istri wajib memuaskan suami, maka suami pun wajib memuaskan istri. Begitu, kan, Pak?
Toh, Ferryal melihat, betapapun egoisnya pria, jauh di dasar hatinya ia akan merasa tertekan bila pasangannya tak mencapai kepuasan. "Paling tidak, ia menganggap kejantanannya kurang, atau ia bukan lelaki sempurna yang bisa membahagiakan istrinya." Terlebih lagi, pria pun sebenarnya tahu dan bisa merasakan, kapan pasangannya betul-betul mencapai orgasme atau hanya sekadar pura-pura puas.
MENGINGKARI DIRI
Tapi tentunya nggak adil, ya, Bu, kalau kita hanya menyalahkan pria semata. Soalnya, "ketidakmampuan" wanita mengalami orgasme juga bisa disebabkan si wanita sendiri. Bukankah sebagai istri, wanita sudah "disetel" dalam budaya dan pola pikir untuk serba nrimo atau selalu menempatkan kepentingan suami di atas segalanya, termasuk dalam urusan ranjang?
Pokoknya, apa-apa selalu demi suami. "Nggak masalah, deh, saya nggak bisa menikmati apa-apa. Yang penting suami puas dan enggak neko-neko di luaran," begitu, kan, alasan yang kerap kita dengar. Bahkan, tak sedikit istri yang kemudian berpura-pura puas semata-mata agar suaminya puas. "Sikap begini, kan, jelas salah besar, karena Anda berarti mengingkari diri yang justru bisa mendatangkan stres tingkat tinggi," bilang Ferryal.
Apalagi kalau Ibu pernah sesekali merasakan nikmatnya orgasme, entah dengan suami atau dulu semasa muda lewat masturbasi. "Bisa-bisa Anda akan uring-uringan dan gampang meledak marah tanpa sebab, gara-gara stres lantaran enggak puas." Itulah mengapa, Ferryal minta agar masalah in dikomunikasikan dengan pasangan. "Istri berhak protes, kok!" tegasnya. Jadi, jangan diam saja, ya, Bu, kalau tak pernah mengalami kepuasan. Kalau tidak, biarpun Bapak tahu Ibu belum mencapai orgasme, ya, dia akan anteng-anteng saja. Ingat, lo, egoisme pria! Eh, jadi nyalahin Bapak lagi, ya, Bu.
TIGA FASE HUBUNGAN SEKSUAL
Sebenarnya, tutur Ferryal, kalau suami-istri mau saling terbuka dan memahami, maka tak akan ada ganjalan dalam hubungan suami-istri. Selanjutnya, untuk bisa menikmati hubungan seksual secara benar, ikutilah pola tertentu secara berurutan, yaitu fase foreplay atau pemanasan, persetubuhan itu sendiri, dan afterplay .
"Fase foreplay diperlukan karena wanita butuh rangsangan dan waktu relatif agak lama untuk memulai persetubuhan," terangnya. Bila diibaratkan, wanita adalah mobil bermesin diesel; panasnya lama. Sedangkan pria sebaliknya. Setelah foreplay, biasanya libido keduanya sudah memuncak dan berada dalam kondisi "siap tempur". "Nah, dalam keadaan inilah persetubuhan bisa dilakukan dan harus dituntaskan lewat orgasme." Terakhir, fase afterplay. "Ini sering menjadi bagian yang terlewatkan padahal merupakan keharusan."
Mengapa? Boleh jadi karena keegoisan pria. Maaf, lo, Pak, kembali disalahkan. Soalnya, kata Ferryal, banyak suami yang begitu puas dan bisa ejakulasi, langsung tertidur tanpa mempedulikan istrinya. "Kebiasaan ini, kan, salah besar," tukasnya. Apalagi, fase afterplay tak memerlukan waktu lama, paling cuma 2-3 menit. Toh, tujuannya hanya untuk menunjukkan kasih sayang sambil mencium atau memberi pelukan hangat. Jadi, bukan ajakan untuk bercinta lagi atau teknik-teknik seks yang njlimet. Cukup ngomong, "Mama hebat deh. Terima kasih, ya, Papa puas, lo." Begitu juga sebaliknya, istri bisa melontarkan pujian serupa.