Uang Belanja, Kok, Dijatah

By nova.id, Kamis, 11 November 2010 | 17:07 WIB
Uang Belanja Kok Dijatah (nova.id)

"Tapi tentu dengan tak meninggalkan kesetaraan, ya," pesan Widyarto seraya melanjutkan, "karena kesetaraan adalah manifestasi gejala penghargaan dari masing-masing pihak kepada pasangannya." Yang perlu diingat, pada sistem dua pundi, siapapun yang lebih besar penghasilannya -tanpa terkecuali- akan menanggung keuangan keluarga lebih besar dari pasangannya.

"Jadi, kalau suami gajinya lebih besar, ia dapat menanggung biaya pengeluaran yang besar-besar, seperti rekening telepon, asuransi mobil, uang pangkal masuk sekolah anak-anak, perbaikan rumah, dan sebagainya. Sedangkan istri yang membayar iuran sekolah anak, belanja sehari-hari maupun gaji pembantu." Begitu pula sebaliknya kalau istri yang lebih besar penghasilannya.

Untuk memperlancar komunikasi, saran Widyarto, alat bantu seperti white board bisa digunakan sebagai media komunikasi antara suami-istri ataupun dengan anggota keluarga lain. Misalnya, untuk menyampaikan pesan kepada suami bahwa perlu dibelikan lagi satu tabung gas sebagai cadangan. Tentunya pesan tersebut dapat dibaca oleh semua anggota keluarga agar dapat saling mengingatkan.

PUNDI KETIGA DAN SETERUSNYA

Kalau sistem dua pundi sudah sukses, selanjutnya suami-istri bisa menciptakan pundi ketiga. "Pundi ketiga merupakan gabungan sisa uang pada pundi milik masing-masing. Jadi, sifatnya sama dengan tabungan, lebih banyak uang yang masuk," jelas Widyarto.

Dari pundi ketiga dapat pula direncanakan pengeluaran lain, misalnya, untuk berlibur sekeluarga ke Bali. Jika penghasilan suami dan istri, seiring dengan waktu terus bertambah, maka dapat diciptakan pundi keempat, kelima, dan seterusnya sebagai tempat menabung untuk pengeluaran yang cukup besar dan bersifat jangka panjang. Misalnya, ada rencana merenovasi rumah, ingin mengganti mobil, dan sebagainya yang perlu waktu relatif lama untuk mengumpulkan dananya. Ternyata enggak sulit-sulit amat, ya, Pak-Bu, mengelola keuangan keluarga. Asalkan kita mau saling terbuka mengenai gaji masing-masing dan percaya dalam pengelolaannya. Tentunya yang ditunjuk sebagai "menteri keuangan" juga harus bisa dipercaya, lo.

MENGANDALKAN ISTRI

  

Ada, lo, suami yang tak mau ikut berperan dalam keuangan keluarga lantaran istrinya sudah bekerja. Jadi, istrilah yang membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga dengan gajinya, sementara si suami menggunakan seluruh gajinya untuk kebutuhannya sendiri. Si suami juga enggak mau peduli bila istrinya mengalami kekurangan uang, sehingga si istri harus berjuang sendiri untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pinjam sana-sini. Suami model ini, menurut Widyarto, sewaktu kecil kurang mendapatkan pendidikan tentang berbagi dan bagaimana menghargai wanita. "Setelah menikah, walaupun sudah berpenghasilan, tanggung jawabnya cenderung kurang dalam menopang kebutuhan keluarganya dan lebih mengandalkan istrinya dalam membiayai kebutuhan keluarganya." Hal ini tentunya membuat hubungan suami-istri jadi tak harmonis. Komunikasi pun bisa enggak ada. Masalah anak-anak, misalnya, semuanya seolah-olah hanyalah urusan istri semata. Bila keadaan ini berlarut-larut, bukan tak mungkin si istri akhirnya mengajukan gugat cerai kepada sang suami. Nah, bila Anda yang menjadi istri tersebut, saran Widyarto, mintalah pertolongan kepada sanak keluarga untuk dapat menasihati suami. Misalnya, kepada mertua. Atau, bila perlu dapat juga meminta bantuan kepada ahli agama semisal ulama.

DEMI HARGA DIRI, PRIA PERLU "UANG LELAKI"

  

Sering, kan, mendengar istilah "uang lelaki"? Menurut Widyarto , para suami biasanya memang membutuhkan "uang lelaki" untuk kegiatannya di luar rumah. "Kadang, suami, kan, juga perlu mentraktir untuk membina network dengan teman-temannya atau untuk menjaga harga dirinya. Nah, ini, kan, tentunya membutuhkan biaya," tuturnya. Jadi, sepanjang jelas ketahuan digunakannya untuk apa saja, "uang lelaki" masih bisa ditolerir. "Asal jangan buat berselingkuh saja, ya!" tukas Widyarto.

Selain itu, "uang lelaki" sebaiknya juga tak berasal dari gaji atau penghasilan tetap lainnya, karena dikhawatirkan akan menganggu keuangan rumah tangga. "Bila suami tak punya penghasilan sampingan, diskusikan dengan istri untuk membahas masalah tersebut," anjurnya.

Julie/Rohedi Yulianto