Urusan ipar-iparan memang seringkali sensitif, apalagi jika menyangkut soal uang. Kuncinya cuma keterbukaan sejak awal.
"Soal keuangan antara suami istri saja seringkali sangat krusial dan sensitif, apalagi bila menyangkut ipar. Penanganannya mesti hati-hati," ujar Sukiat. Kalau tidak, lanjut doktor psikologi dari Fakultas Psikologi UI ini, salah-salah Anda bisa dicap buruk oleh keluarga besar pasangan.
Pernah terjadi, tutur Sukiat, seorang suami tak mau bicara dengan istrinya sampai dua tahun gara-gara urusan ipar. Ceritanya begini, si suami ingin sekali punya rumah sehingga ia pun pontang-panting kerja siang-malam mencari tambahan.
Kebetulan ia termasuk tipe suami yang terbuka, sehingga setiap kali ada tambahan uang, hasilnya selalu diberikan kepada istri. Tapi, bukannya ditabung, diam-diam si istri selalu memberikan bantuan keuangan kepada adik-adiknya, karena bapaknya sudah pensiun sementara adik-adiknya masih kuliah dan sekolah semua. Nah, persoalan timbul ketika si suami berpikir uangnya sudah cukup untuk membeli rumah. Pas ia meminta uangnya pada sang istri, eh, ternyata uangnya sudah bablas, enggak ada lagi. "Jelas, dong, si suami sangat kecewa. Makanya, sampai dua tahun mereka tak saling bicara," kisah Sukiat.
KONFLIK TIMBUL KARENA BERBEDA KULTUR
Bagaimanapun, kehidupan rumah tangga kita memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan ipar. Apalagi perkawinan di Indonesia, pada dasarnya adalah perkawinan yang melibatkan keluarga besar. Dengan demikian, baik adik, kakak, ayah, maupun ibu, seringkali terlibat atau melibatkan diri ke dalam hidup perkawinan kita. Bahkan, dalam soal-soal yang pribadi pun seperti masalah keuangan, mereka juga terlibat.
Nah, lantaran kepentingan keluarga besar masih sering diperhitungkan, maka membantu ipar dalam soal keuangan pun sering dilakukan. Biasanya, anak sulunglah yang kerap menanggung biaya sekolah dan kuliah adik-adiknya. "Malah, ada kultur yang menekankan, seorang kakak, terutama kakak lelaki, meskipun sudah menikah tetap bertanggung jawab terhadap kesejahteraan adik-adiknya, termasuk juga keponakan-keponakannya. Pokoknya, menanggung keluarga besarlah," papar Sukiat.
Ada pula keluarga yang "mengharuskan" perlunya saling tolong-menolong, terutama dalam masalah keuangan. "Kalau ada yang kepepet soal uang atau ada yang tak punya biaya, semuanya harus ikut menyumbang," lanjut Sukiat. Sebaliknya, ada keluarga yang justru menekankan tabu untuk saling meminta uang di antara keluarga. "Ada, lo, keluarga yang sangat menekankan kemandirian, terutama dalam hal keuangan," ujar Sukiat.
Dalam arti, si orang tua mengajari anak-anaknya boleh saling bantu-membantu sejauh tak menyangkut uang. Jadi, benar-benar menekankan kemandirian finansial sehingga dalam bidang keuangan, mereka tak mau saling merecoki. Dengan demikian, ketika si adik dari keluarga tersebut ikut menumpang pada keluarga kakaknya, ia tetap mandiri. "Jadi, cuma ikut berteduh saja. Ia cuma butuh secara psikologis ada yang mengayomi." Soal keuangan, ia benar-benar tak mendapat apa-apa dari kakaknya dan ia pun tak ingin merecoki kakaknya. "Ia benar-benar bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri."
Tentunya, bila suami dan istri berasal dari kultur dan punya kebiasaan yang sama bahwa menyokong ipar sah-sah saja dan boleh dilakukan kapan saja serta untuk keperluan apapun, maka tak terlalu jadi masalah. Tak demikian halnya bila suami-istri dibesarkan dalam kultur berbeda, "konflik bisa timbul." Bahkan, sambung Sukiat, ada, lo, keluarga yang tercerai-berai gara-gara soal uang, "iparnya pinjam uang tapi enggak dibayar atau ada iparnya yang sering merongrong minta uang." Runyam, kan?
PENYELESAIANNYA CUMA TOLERANSI
Nah, agar terhindar dari konflik setelah menikah, Sukiat menyarankan, sebaiknya perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijadikan acuan selagi pacaran. "Pacaran itu, kan, proses penyesuaian diri sebelum perkawinan," tukasnya. Jadi, masing-masing harus terbuka dengan kebiasaan keluarga besarnya; apa sistem nilai yang dianut, bagaimana konsepnya tentang kekerabatan, termasuk soal biaya-membiayai ipar-iparnya jika ada yang harus ditanggung. Apalagi, lanjut Sukiat, ada keluarga yang salah mengartikan hubungan sangat erat antara kakak-adik. Misalnya, menganggap milik kakaknya sebagai miliknya juga.