Ipar "Menggerogoti" Keuangan Keluarga

By nova.id, Minggu, 24 Oktober 2010 | 17:07 WIB
Ipar Menggerogoti Keuangan Keluarga (nova.id)

Urusan ipar-iparan memang seringkali sensitif, apalagi jika menyangkut soal uang. Kuncinya cuma keterbukaan sejak awal.

"Soal keuangan antara suami istri saja seringkali sangat krusial dan sensitif, apalagi bila menyangkut ipar. Penanganannya mesti hati-hati," ujar Sukiat. Kalau tidak, lanjut doktor psikologi dari Fakultas Psikologi UI ini, salah-salah Anda bisa dicap buruk oleh keluarga besar pasangan.

Pernah terjadi, tutur Sukiat, seorang suami tak mau bicara dengan istrinya sampai dua tahun gara-gara urusan ipar. Ceritanya begini, si suami ingin sekali punya rumah sehingga ia pun pontang-panting kerja siang-malam mencari tambahan.

Kebetulan ia termasuk tipe suami yang terbuka, sehingga setiap kali ada tambahan uang, hasilnya selalu diberikan kepada istri. Tapi, bukannya ditabung, diam-diam si istri selalu memberikan bantuan keuangan kepada adik-adiknya, karena bapaknya sudah pensiun sementara adik-adiknya masih kuliah dan sekolah semua. Nah, persoalan timbul ketika si suami berpikir uangnya sudah cukup untuk membeli rumah. Pas ia meminta uangnya pada sang istri, eh, ternyata uangnya sudah bablas, enggak ada lagi. "Jelas, dong, si suami sangat kecewa. Makanya, sampai dua tahun mereka tak saling bicara," kisah Sukiat.

KONFLIK TIMBUL KARENA BERBEDA KULTUR

Bagaimanapun, kehidupan rumah tangga kita memang tak bisa dilepaskan dari keberadaan ipar. Apalagi perkawinan di Indonesia, pada dasarnya adalah perkawinan yang melibatkan keluarga besar. Dengan demikian, baik adik, kakak, ayah, maupun ibu, seringkali terlibat atau melibatkan diri ke dalam hidup perkawinan kita. Bahkan, dalam soal-soal yang pribadi pun seperti masalah keuangan, mereka juga terlibat.

Nah, lantaran kepentingan keluarga besar masih sering diperhitungkan, maka membantu ipar dalam soal keuangan pun sering dilakukan. Biasanya, anak sulunglah yang kerap menanggung biaya sekolah dan kuliah adik-adiknya. "Malah, ada kultur yang menekankan, seorang kakak, terutama kakak lelaki, meskipun sudah menikah tetap bertanggung jawab terhadap kesejahteraan adik-adiknya, termasuk juga keponakan-keponakannya. Pokoknya, menanggung keluarga besarlah," papar Sukiat.

Ada pula keluarga yang "mengharuskan" perlunya saling tolong-menolong, terutama dalam masalah keuangan. "Kalau ada yang kepepet soal uang atau ada yang tak punya biaya, semuanya harus ikut menyumbang," lanjut Sukiat. Sebaliknya, ada keluarga yang justru menekankan tabu untuk saling meminta uang di antara keluarga. "Ada, lo, keluarga yang sangat menekankan kemandirian, terutama dalam hal keuangan," ujar Sukiat.

Dalam arti, si orang tua mengajari anak-anaknya boleh saling bantu-membantu sejauh tak menyangkut uang. Jadi, benar-benar menekankan kemandirian finansial sehingga dalam bidang keuangan, mereka tak mau saling merecoki. Dengan demikian, ketika si adik dari keluarga tersebut ikut menumpang pada keluarga kakaknya, ia tetap mandiri. "Jadi, cuma ikut berteduh saja. Ia cuma butuh secara psikologis ada yang mengayomi." Soal keuangan, ia benar-benar tak mendapat apa-apa dari kakaknya dan ia pun tak ingin merecoki kakaknya. "Ia benar-benar bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri."

Tentunya, bila suami dan istri berasal dari kultur dan punya kebiasaan yang sama bahwa menyokong ipar sah-sah saja dan boleh dilakukan kapan saja serta untuk keperluan apapun, maka tak terlalu jadi masalah. Tak demikian halnya bila suami-istri dibesarkan dalam kultur berbeda, "konflik bisa timbul." Bahkan, sambung Sukiat, ada, lo, keluarga yang tercerai-berai gara-gara soal uang, "iparnya pinjam uang tapi enggak dibayar atau ada iparnya yang sering merongrong minta uang." Runyam, kan?

PENYELESAIANNYA CUMA TOLERANSI

Nah, agar terhindar dari konflik setelah menikah, Sukiat menyarankan, sebaiknya perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijadikan acuan selagi pacaran. "Pacaran itu, kan, proses penyesuaian diri sebelum perkawinan," tukasnya. Jadi, masing-masing harus terbuka dengan kebiasaan keluarga besarnya; apa sistem nilai yang dianut, bagaimana konsepnya tentang kekerabatan, termasuk soal biaya-membiayai ipar-iparnya jika ada yang harus ditanggung. Apalagi, lanjut Sukiat, ada keluarga yang salah mengartikan hubungan sangat erat antara kakak-adik. Misalnya, menganggap milik kakaknya sebagai miliknya juga.

Dengan demikian, kekayaan kakaknya atau properti milik kakaknya berarti miliknya juga. Ya, celaka, dong! Itulah mengapa, Sukiat menekankan, segala perbedaan seharusnya dicari toleransi dan titik temunya ketika kita berpacaran. Dengan begitu, bisa meminimalisir konflik kelak setelah masuk ke dunia perkawinan. Jangan lupa, perkawinan di negeri kita bukan cuma antar individu saja, tapi juga melibatkan keluarga besarnya. Jadi, sebaiknya nilai-nilai dan isu-isu keluarga besar juga ikut diperbincangkan selama pacaran.

Selanjutnya, ya, terserah kita. Bila ternyata kita enggak bisa bersikap toleransi, apa boleh buat, hubungan kita dengannya cukup sampai di situ saja. Soalnya, menurut Sukiat, perbedaan-perbedaan tersebut penyelesaiannya cuma toleransi; artinya, saling menghargai dan memahami. "Jika kesepakatan bisa diterima kedua belah pihak, go ahead, lanjutkan ke perkawinan." Begitu pula kalau kita suka rela menerima kebiasaan yang dianut calon pasangan kita dan keluarga besarnya, termasuk kebiasaan menyokong ipar, ya, monggo saja.

IPAR MALAH NGELUNJAK

Tapi, bukan berarti perkawinan kita akan mulus-mulus saja, lo. Pasalnya, seringkali persoalan tak lantas selesai begitu saja, sekalipun kesediaan dan kebiasaan menyokong ipar sudah disepakati kedua belah pihak. Namun konfliknya bukan bersumber dari suami-istri itu sendiri, melainkan dari si ipar yang bersikap tak tahu diri. Misalnya, si kakak cuma bisa bantu Rp. 1.000, tapi si adik ngotot minta Rp. 10 ribu. Kalau enggak dikasih, malah menjelek-jelekkan keluarga kakaknya. Ya, jelas, dong, kalau akhirnya timbul konflik baru gara-gara si ipar ngelunjak. Ipar yang demikian, menurut Sukiat, sering bersikap dan merasa bahwa kewajiban sang kakaklah untuk membantunya sehingga dia juga ikut "berkuasa" dalam soal keuangan.

"Pada saat istri si kakak mau ikut campur, eh, malah diadukan yang tidak-tidak pada kakaknya. Kesannya, kan, seperti mengadu domba. Nggak heran kalau si istri gondoknya bukan main." Si istri juga jadi serba salah; kalau menegur, nanti malah dijauhi keluarga suami. Belum lagi suaminya juga ikut marah-marah karena membela keluarganya. Nah, karena si istri merasa lama-lama dijauhi oleh suami, maka seringkali perkawinan jadi runyam gara-gara soal ipar.

Oleh karena itu, anjur Sukiat, jangan ragu untuk berbicara tegas kepada ipar yang ngelunjak. Tapi sebelumnya kita harus yakin dulu, pasangan kita berada di pihak siapa. "Siapa tahu ia sebetulnya tertekan kalau harus membiayai adik-adiknya terus-menerus, namun tak punya keberanian bicara. Nah, Anda bisa bertindak sebagai juru bicara," katanya. Tapi bila pasangan kita termasuk tipe pembela keluarga, berarti kita harus siap "perang" besar. Soalnya, jelas Sukiat, memang ada tipe suami atau istri yang right or wrong is my family, "keluarga besarnya dibela mati-matian, sehingga gara-gara sikap ipar, hubungan suami-istri malah bisa memburuk."

Apalagi kalau suaminya juga aji mumpung, "mentang-mentang istrinya bekerja sehingga punya penghasilan sendiri, suami lantas sering take it for granted. Dia pikir, toh, istrinya juga bisa cari duit sendiri, jadi uangnya bisalah untuk membiayai adik-adiknya atau kakaknya. Suami seolah-olah tak peduli dengan kebutuhan rumah tangga inti." Ya, terang saja istrinya jadi makin bertambah gondok. Iya, kan?

SALING TERBUKA UNTUK CARI SOLUSI

Sebenarnya, tutur Sukiat, bila hubungan suami-istri jadi runyam gara-gara menanggung ipar, maka masing-masing pihak harus membuka diri untuk mencari solusi. "Kalau memang bantuan mau tak mau harus diberikan, buatlah daftar skala prioritas," anjurnya. Misalnya, kalau kita sudah menikah, apa, sih, yang menjadi prioritas pengeluaran kita; apakah untuk anak-anak atau keluarga besar? Bukankah suami-istri juga perlu menabung untuk kebutuhan biaya sekolah anak-anak kelak? Ingat, biaya sekolah jaman sekarang enggak sedikit, lo.

Kita arus menabung sejak anak-anak masih balita. Dengan membuat daftar skala prioritas, terang Sukiat, maka pos-pos diluar kebutuhan rutin seperti uang bantuan untuk ipar, harus didiskusikan bersama seberapa besar dan untuk keperluan apa saja yang boleh disokong. "Meskipun suami atau istri dibesarkan dalam keluarga yang sering saling bantu-membantu dalam hal keuangan, namun bila sudah menikah hendaknya setiap bantuan yang diberikan kepada adik-adik atau keluarga besarnya harus sepengetahuan pasangannya."

Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk orang lain di luar keluarga inti, suami dan istri sudah sama-sama tahu dan setuju jumlahnya. Dengan demikian, konflik soal tanggung-menanggung ipar bisa dihindarkan. "Memang, sih, belum ada orang yang bercerai gara-gara uang lari ke ipar," ujar Sukiat. Tapi kalau dibiarkan berlarut-larut, ada satu pihak yang tak puas karena dirongrong terus oleh ipar, lama-lama, kan, bisa terjadi perceraian secara psikologis; tinggal satu atap, tapi sudah tak ada lagi hubungan emosional. "Jadi di rumah pun sifatnya sudah lu-lu gue-gue. Secara psikologis sudah saling mandiri dan membuat batas," lanjutnya.

Ya, tetap runyam juga, dong, jadinya. Tentu saja, dalam menyokong ipar hendaknya dilakukan setelah kebutuhan keluarga inti terpenuhi. Jadi, bantulah sesuai kemampuan, tak usah gengsi soal besarnya. "Membantu menyekolahkan adik-adik atau keluarga yang sedang kesulitan itu pekerjaan mulia. Tapi, kalau memang kita enggak mampu, ya, jangan memaksakan diri," nasihat Sukiat. Apalagi kalau kita memaksakan diri demi mendapat cap baik di keluarga besar, sementara di dalam rumah sendiri sebenarnya masih kesulitan menata keuangan.

"Itu, kan enggak fair," lanjutnya. Jadi, sekalipun kita adalah kakak sulung tapi kalau kehidupan keluarga kita sendiri pas-pasan, ya, tak usahlah kita memaksakan diri membantu adik-adik sampai mengorbankan keluarga kita sendiri. Toh, kita bisa memberi bantuan dengan cara lain. Misalnya, membantu per segmen. Saran Sukiat, buatlah perjanjian dengan sang adik atau ipar, "Oke, untuk kebutuhan kuliah, Kakak bantu. Tapi, untuk kebutuhan sehari-hari, usahakan sendiri atau minta pada kakak yang lain." Pada prinsipnya, kasihlah bantuan sesuai kemampuan. Nah, Bu-Pak, sudah jelas, kan, solusinya? Jadi, jangan ribut lagi, ya, gara-gara harus menanggung ipar.  

JANGAN "PERANG" TERBUKA, SI KECIL BISA IKUT TERTEKAN

 

Bila ipar tak tinggal serumah, biasanya konflik dengan ipar lebih banyak bersifat kasak-kusuk dan tertutup. Dengan demikian, si kecil yang masih berusia balita tak begitu merasakan adanya konflik tersebut sehingga pengaruhnya pun tak ada. Lain hal bila ipar tinggal serumah lalu timbul cekcok antar ipar, "anak dapat terpengaruh melihat 'perang mulut' yang terjadi," ujar Sukiat. Terlebih lagi jika dalam konflik tersebut, ayah dan ibu bersama-sama melawan ipar atau ayah dan adiknya melawan ibu. "Konflik yang terus timbul bisa menjadi patologis, sehingga anak pun lama-lama ikut jadi tertekan," lanjutnya. Itulah mengapa, \

Sukiat menyarankan, konflik dengan ipar sebaiknya diselesaikan dengan cara yang dewasa. "Jangan 'perang' terbuka, apalagi sampai memberi cap buruk hanya gara-gara Anda merasa dirugikan." Misalnya, mengatakan si Tante jahat, pemalas, atau si Om parasit. "Meracuni anak-anak dengan memberi cap-cap yang negatif pada paman dan bibinya, bukanlah bentuk pendidikan yang baik. Bagaimanapun, hubungan yang harmonis dengan keluarga besar sangat baik pengaruhnya untuk anak-anak." Paman dan bibi juga bisa menjadi pelindung mereka, lo.

Santi Hartono