Dengan demikian, kekayaan kakaknya atau properti milik kakaknya berarti miliknya juga. Ya, celaka, dong! Itulah mengapa, Sukiat menekankan, segala perbedaan seharusnya dicari toleransi dan titik temunya ketika kita berpacaran. Dengan begitu, bisa meminimalisir konflik kelak setelah masuk ke dunia perkawinan. Jangan lupa, perkawinan di negeri kita bukan cuma antar individu saja, tapi juga melibatkan keluarga besarnya. Jadi, sebaiknya nilai-nilai dan isu-isu keluarga besar juga ikut diperbincangkan selama pacaran.
Selanjutnya, ya, terserah kita. Bila ternyata kita enggak bisa bersikap toleransi, apa boleh buat, hubungan kita dengannya cukup sampai di situ saja. Soalnya, menurut Sukiat, perbedaan-perbedaan tersebut penyelesaiannya cuma toleransi; artinya, saling menghargai dan memahami. "Jika kesepakatan bisa diterima kedua belah pihak, go ahead, lanjutkan ke perkawinan." Begitu pula kalau kita suka rela menerima kebiasaan yang dianut calon pasangan kita dan keluarga besarnya, termasuk kebiasaan menyokong ipar, ya, monggo saja.
IPAR MALAH NGELUNJAK
Tapi, bukan berarti perkawinan kita akan mulus-mulus saja, lo. Pasalnya, seringkali persoalan tak lantas selesai begitu saja, sekalipun kesediaan dan kebiasaan menyokong ipar sudah disepakati kedua belah pihak. Namun konfliknya bukan bersumber dari suami-istri itu sendiri, melainkan dari si ipar yang bersikap tak tahu diri. Misalnya, si kakak cuma bisa bantu Rp. 1.000, tapi si adik ngotot minta Rp. 10 ribu. Kalau enggak dikasih, malah menjelek-jelekkan keluarga kakaknya. Ya, jelas, dong, kalau akhirnya timbul konflik baru gara-gara si ipar ngelunjak. Ipar yang demikian, menurut Sukiat, sering bersikap dan merasa bahwa kewajiban sang kakaklah untuk membantunya sehingga dia juga ikut "berkuasa" dalam soal keuangan.
"Pada saat istri si kakak mau ikut campur, eh, malah diadukan yang tidak-tidak pada kakaknya. Kesannya, kan, seperti mengadu domba. Nggak heran kalau si istri gondoknya bukan main." Si istri juga jadi serba salah; kalau menegur, nanti malah dijauhi keluarga suami. Belum lagi suaminya juga ikut marah-marah karena membela keluarganya. Nah, karena si istri merasa lama-lama dijauhi oleh suami, maka seringkali perkawinan jadi runyam gara-gara soal ipar.
Oleh karena itu, anjur Sukiat, jangan ragu untuk berbicara tegas kepada ipar yang ngelunjak. Tapi sebelumnya kita harus yakin dulu, pasangan kita berada di pihak siapa. "Siapa tahu ia sebetulnya tertekan kalau harus membiayai adik-adiknya terus-menerus, namun tak punya keberanian bicara. Nah, Anda bisa bertindak sebagai juru bicara," katanya. Tapi bila pasangan kita termasuk tipe pembela keluarga, berarti kita harus siap "perang" besar. Soalnya, jelas Sukiat, memang ada tipe suami atau istri yang right or wrong is my family, "keluarga besarnya dibela mati-matian, sehingga gara-gara sikap ipar, hubungan suami-istri malah bisa memburuk."
Apalagi kalau suaminya juga aji mumpung, "mentang-mentang istrinya bekerja sehingga punya penghasilan sendiri, suami lantas sering take it for granted. Dia pikir, toh, istrinya juga bisa cari duit sendiri, jadi uangnya bisalah untuk membiayai adik-adiknya atau kakaknya. Suami seolah-olah tak peduli dengan kebutuhan rumah tangga inti." Ya, terang saja istrinya jadi makin bertambah gondok. Iya, kan?
SALING TERBUKA UNTUK CARI SOLUSI
Sebenarnya, tutur Sukiat, bila hubungan suami-istri jadi runyam gara-gara menanggung ipar, maka masing-masing pihak harus membuka diri untuk mencari solusi. "Kalau memang bantuan mau tak mau harus diberikan, buatlah daftar skala prioritas," anjurnya. Misalnya, kalau kita sudah menikah, apa, sih, yang menjadi prioritas pengeluaran kita; apakah untuk anak-anak atau keluarga besar? Bukankah suami-istri juga perlu menabung untuk kebutuhan biaya sekolah anak-anak kelak? Ingat, biaya sekolah jaman sekarang enggak sedikit, lo.
Kita arus menabung sejak anak-anak masih balita. Dengan membuat daftar skala prioritas, terang Sukiat, maka pos-pos diluar kebutuhan rutin seperti uang bantuan untuk ipar, harus didiskusikan bersama seberapa besar dan untuk keperluan apa saja yang boleh disokong. "Meskipun suami atau istri dibesarkan dalam keluarga yang sering saling bantu-membantu dalam hal keuangan, namun bila sudah menikah hendaknya setiap bantuan yang diberikan kepada adik-adik atau keluarga besarnya harus sepengetahuan pasangannya."
Artinya, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk orang lain di luar keluarga inti, suami dan istri sudah sama-sama tahu dan setuju jumlahnya. Dengan demikian, konflik soal tanggung-menanggung ipar bisa dihindarkan. "Memang, sih, belum ada orang yang bercerai gara-gara uang lari ke ipar," ujar Sukiat. Tapi kalau dibiarkan berlarut-larut, ada satu pihak yang tak puas karena dirongrong terus oleh ipar, lama-lama, kan, bisa terjadi perceraian secara psikologis; tinggal satu atap, tapi sudah tak ada lagi hubungan emosional. "Jadi di rumah pun sifatnya sudah lu-lu gue-gue. Secara psikologis sudah saling mandiri dan membuat batas," lanjutnya.
Ya, tetap runyam juga, dong, jadinya. Tentu saja, dalam menyokong ipar hendaknya dilakukan setelah kebutuhan keluarga inti terpenuhi. Jadi, bantulah sesuai kemampuan, tak usah gengsi soal besarnya. "Membantu menyekolahkan adik-adik atau keluarga yang sedang kesulitan itu pekerjaan mulia. Tapi, kalau memang kita enggak mampu, ya, jangan memaksakan diri," nasihat Sukiat. Apalagi kalau kita memaksakan diri demi mendapat cap baik di keluarga besar, sementara di dalam rumah sendiri sebenarnya masih kesulitan menata keuangan.