Bila Anda dan pasangan telah memiliki kesamaan persepsi dalam memandang cinta, barulah Anda dapat mengukur kadar atau bobot cinta tersebut. Soalnya, untuk "menghitung" kadar cinta, berangkatnya juga dari persepsi tentang cinta itu sendiri.
Jadi, besar-kecilnya "jumlah" cinta yang Anda terima dari pasangan maupun yang Anda berikan kepada pasangan, hanya bisa diketahui dari persepsi yang Anda bentuk sendiri. Misalnya, cinta bagi Anda ialah perlakuan fisik yang mengarah pada keintiman seperti dipeluk, dicium, dibelai, dan sebagainya.
Nah, bila pasangan Anda sering absen melakukannya, kontan Anda akan menilai, "Wah, kadar cintanya berkurang." Sebaliknya, jika Anda selalu mendapatkan perlakuan fisik tersebut dari pasangan, Anda pun yakin bahwa dia memang sungguh mencintai Anda. Tentu, apapun persepsi Anda tentang cinta dan bagaimana Anda memandang cinta, adalah sah-sah saja.
Cuma, perlu diketahui bahwa cinta tak sesederhana itu, tak hanya sebatas keintiman fisik, tapi juga ada hal-hal lain seperti komitmen, percaya, jujur, respek, dan tanggung jawab. Menurut Pamugari, justru aspek-aspek inilah yang sering dilupakan orang. Padahal, dari aspek-aspek tersebutlah kita jadi tahu apakah si dia memang sungguh mencintai kita atau tidak.
Memang, aku Pamugari, hal-hal fisik seperti memeluk atau mencium dan sebagainya, perlu ada dalam kehidupan suami-istri. Namun jangan sampai kita terjebak, kalau kita sudah menunjukkan hal-hal fisik tersebut berarti kita sudah menunjukkan cinta kita kepada pasangan, sementara kegiatan mental lainnya dilupakan.
"Begitu luas sebenarnya konsep cinta ini, sehingga pengukurannya pun tak selalu mudah. Apalagi bila masing-masing punya persepsi yang berlainan dan celakanya jarang membahas bersama soal cinta ini," tutur Pamugari. Karena itu, sarannya, sebelum mengukur kadar cinta, lebih baik bahas bersama dulu bentuk keintiman dan kedekatan yang Anda berdua inginkan. "Kalau sudah dipolakan bersama, kecil kemungkinan bobot cintanya akan jomplang satu dengan lainnya," lanjut konselor keluarga ini.
TANPA PAMRIH
Yang jelas, seperti kata petuah orang bijak, cinta sejati tak mengenal pamrih. Jadi, bila suami atau istri "menggugat" pasangannya kurang mencintainya, jangan-jangan yang bersangkutan sendiri punya pamrih; jangan-jangan dia memberikan cinta yang sangat besar sehingga kesannya rela berkorban tapi mengharapkan balasan juga. Itulah mengapa, Pamugari minta agar suami atau istri melakukan introspeksi sebelum berhitung dengan kadar cinta pasangannya.
"Setiap kali hendak menuntut, kita harus bertanya, apakah kita menuntut karena kita memberikannya dengan pamrih; apakah supaya pasangan tunduk pada kita, apakah pasangan harus memberikan kembali apa yang sudah kita berikan kepadanya." Bila demikian, lanjut Pamugari, "Itu bukan cinta tapi berdagang. Ibaratnya, saya kasih cinta, kamu kasih apa."
Padahal, cinta pada tingkatan yang lebih dewasa seperti cinta suami-istri, bukanlah berdagang. Dengan kata lain, cinta tanpa pamrih. Jadi, tak apa-apa bila kita memberikan cinta berlebihan. "Toh, hukum alam akan berlaku, pasti akan mendapat balasannya," ujar Pamugari seraya melanjutkan, "Manusia, kan, bukan robot. Jika kita setiap hari menghujani pasangan dengan cinta yang tulus dan tanpa pamrih, masa, sih, dia enggak akan tergerak hatinya untuk membalas?" Jadi, tak usah khawatir dan hitung-hitungan lagi, lo.
TAKUT DITINGGALKAN
Kendati demikian, karena setiap manusia mempunyai batas kesabaran, tentu lama-lama cinta yang jomplang ini bisa membuat Anda makan hati juga. Bukan tak mungkin akan muncul pertanyaan dalam diri Anda, "Sampai kapan saya harus bertahan dengan situasi cinta berat sebelah ini? Apakah sampai seumur hidup saya?" Mungkin Anda pun akan merasa, "Kok, kesannya saya ini seperti mengemis cinta." Bila demikian, harga diri Anda bisa terluka. Nah, sebelum hubungan cinta yang jomplang ini terus berlarut-larut, segeralah Anda mulai meneliti diri sendiri.