Bagaimana perasaan Anda bila pasangan tak pernah menunjukkan cintanya sementara Anda merasa telah "berkorban" habis-habisan? Jangan sakit hati dulu, karena bisa jadi, Anda melakukannya lantaran takut ditinggalkan oleh pasangan.
Mirna, sebut saja begitu, telah menikah selama 7 tahun. Sejak awal menikah, ia sebenarnya sudah merasa ada sesuatu yang "salah" dalam perkawinannya. Pasalnya, ia tak pernah mendapatkan dari sang suami, apa yang telah ia berikan kepada pasangan hidupnya itu.
"Sejak bangun pagi sampai mau tidur malam, saya sediakan segala kebutuhannya. Secapek apapun juga, saya tak pernah mengabaikannya. Saya pun selalu memperlakukannya dengan mesra. Tapi apa yang saya dapatkan? Dia malah cuek saja. Apakah karena cinta saya lebih besar dari dia sehingga dia nggak pernah memberikan hal yang sama kepada saya?" tutur ibu dua anak balita ini.
Tak sedikit, lo, istri ataupun suami yang punya pengalaman serupa dengan Mirna; merasa sudah memberikan segala-galanya tapi, kok, tak mendapatkan imbalan serupa dari pasangannya. Tak heran bila kemudian yang bersangkutan mulai main hitung-hitungan, merasa cintanya jauh lebih besar ketimbang cinta pasangan terhadap dirinya. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian. Boleh jadi karena persepsinya berbeda dengan persepsi pasangannya tentang arti cinta. Bukankah setiap orang tak selalu sama persepsinya dalam segala hal, termasuk juga cinta?
"Sebaiknya sebelum menikah kedua belah pihak sudah memiliki kesamaan persepsi dalam memandang cinta," kata dra. Pamugari Widyastuti . Sebab, tuturnya, apa yang terjadi dalam pernikahan, sebenarnya merupakan cerminan dari apa yang terjadi selama kita pacaran.
Itulah mengapa, setiap pasangan yang hendak menikah, sebaiknya menunda dulu pernikahannya sampai kedua belah pihak punya kesamaan persepsi dalam memandang cinta. Dengan demikian, sesudah menikah, jangan sampai ada hitung-hitungan seperti yang dialami Mirna. Jadi, Bu-Pak, bila Anda merasa cinta Anda tak digapai, maka patut dipertanyakan, apakah kala pacaran dulu Anda dan pasangan tak pernah sampai pada pembicaraan tentang apa itu cinta dan bagaimana memandangnya?
BUKAN MENGOBRAL KATA CINTA
Tentu saja, untuk menyamakan persepsi dibutuhkan komunikasi. Jangan salah, lo, meski cinta adalah soal perasaan, namun bukan berarti tak dapat diomongkan. Memang, aku Pamugari, kalau ada perasaan cinta, tanpa diomongkan pun kita sudah merasakan. "Rasanya kalau ketemu deg-deg-an . Ada sensasi-sensasi yang kita rasakan."
Tapi sebaiknya jangan berhenti sampai disitu, namun harus dikomunikasikan. Yang diomongkan pun bukan hanya sebatas mengobral kata-kata I love you atau puji-pujian muluk yang membuat hati tambah dag-dig-dug. "Tapi sebaiknya tingkatan cinta itu sendiri juga dibahas karena ada insting, emosi, perlakuan fisik yang terlibat," jelas psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini.
Bila sudah saling bicara dari hati ke hati, maka akan lebih jelas persepsi masing-masing tentang cinta dan cinta macam apa yang dalam persepsinya itu. Dengan begitu, hubungan antar pribadi pun akan lebih terang apa artinya dan mau ke mana arahnya.
Sayangnya, tutur Pamugari, justru hal demikian jarang sekali ditekankan dalam hubungan antar pribadi. Alhasil, setelah menikah yang terjadi, ya, hitung-hitungan. Nah, agar hitung-menghitung ini tak jadi berkepanjangan, yang tentunya bisa memperburuk kehidupan perkawinan, segeralah Anda mengajak pasangan untuk menyamakan persepsi tersebut.
MENGUKUR KADAR CINTA
Bila Anda dan pasangan telah memiliki kesamaan persepsi dalam memandang cinta, barulah Anda dapat mengukur kadar atau bobot cinta tersebut. Soalnya, untuk "menghitung" kadar cinta, berangkatnya juga dari persepsi tentang cinta itu sendiri.
Jadi, besar-kecilnya "jumlah" cinta yang Anda terima dari pasangan maupun yang Anda berikan kepada pasangan, hanya bisa diketahui dari persepsi yang Anda bentuk sendiri. Misalnya, cinta bagi Anda ialah perlakuan fisik yang mengarah pada keintiman seperti dipeluk, dicium, dibelai, dan sebagainya.
Nah, bila pasangan Anda sering absen melakukannya, kontan Anda akan menilai, "Wah, kadar cintanya berkurang." Sebaliknya, jika Anda selalu mendapatkan perlakuan fisik tersebut dari pasangan, Anda pun yakin bahwa dia memang sungguh mencintai Anda. Tentu, apapun persepsi Anda tentang cinta dan bagaimana Anda memandang cinta, adalah sah-sah saja.
Cuma, perlu diketahui bahwa cinta tak sesederhana itu, tak hanya sebatas keintiman fisik, tapi juga ada hal-hal lain seperti komitmen, percaya, jujur, respek, dan tanggung jawab. Menurut Pamugari, justru aspek-aspek inilah yang sering dilupakan orang. Padahal, dari aspek-aspek tersebutlah kita jadi tahu apakah si dia memang sungguh mencintai kita atau tidak.
Memang, aku Pamugari, hal-hal fisik seperti memeluk atau mencium dan sebagainya, perlu ada dalam kehidupan suami-istri. Namun jangan sampai kita terjebak, kalau kita sudah menunjukkan hal-hal fisik tersebut berarti kita sudah menunjukkan cinta kita kepada pasangan, sementara kegiatan mental lainnya dilupakan.
"Begitu luas sebenarnya konsep cinta ini, sehingga pengukurannya pun tak selalu mudah. Apalagi bila masing-masing punya persepsi yang berlainan dan celakanya jarang membahas bersama soal cinta ini," tutur Pamugari. Karena itu, sarannya, sebelum mengukur kadar cinta, lebih baik bahas bersama dulu bentuk keintiman dan kedekatan yang Anda berdua inginkan. "Kalau sudah dipolakan bersama, kecil kemungkinan bobot cintanya akan jomplang satu dengan lainnya," lanjut konselor keluarga ini.
TANPA PAMRIH
Yang jelas, seperti kata petuah orang bijak, cinta sejati tak mengenal pamrih. Jadi, bila suami atau istri "menggugat" pasangannya kurang mencintainya, jangan-jangan yang bersangkutan sendiri punya pamrih; jangan-jangan dia memberikan cinta yang sangat besar sehingga kesannya rela berkorban tapi mengharapkan balasan juga. Itulah mengapa, Pamugari minta agar suami atau istri melakukan introspeksi sebelum berhitung dengan kadar cinta pasangannya.
"Setiap kali hendak menuntut, kita harus bertanya, apakah kita menuntut karena kita memberikannya dengan pamrih; apakah supaya pasangan tunduk pada kita, apakah pasangan harus memberikan kembali apa yang sudah kita berikan kepadanya." Bila demikian, lanjut Pamugari, "Itu bukan cinta tapi berdagang. Ibaratnya, saya kasih cinta, kamu kasih apa."
Padahal, cinta pada tingkatan yang lebih dewasa seperti cinta suami-istri, bukanlah berdagang. Dengan kata lain, cinta tanpa pamrih. Jadi, tak apa-apa bila kita memberikan cinta berlebihan. "Toh, hukum alam akan berlaku, pasti akan mendapat balasannya," ujar Pamugari seraya melanjutkan, "Manusia, kan, bukan robot. Jika kita setiap hari menghujani pasangan dengan cinta yang tulus dan tanpa pamrih, masa, sih, dia enggak akan tergerak hatinya untuk membalas?" Jadi, tak usah khawatir dan hitung-hitungan lagi, lo.
TAKUT DITINGGALKAN
Kendati demikian, karena setiap manusia mempunyai batas kesabaran, tentu lama-lama cinta yang jomplang ini bisa membuat Anda makan hati juga. Bukan tak mungkin akan muncul pertanyaan dalam diri Anda, "Sampai kapan saya harus bertahan dengan situasi cinta berat sebelah ini? Apakah sampai seumur hidup saya?" Mungkin Anda pun akan merasa, "Kok, kesannya saya ini seperti mengemis cinta." Bila demikian, harga diri Anda bisa terluka. Nah, sebelum hubungan cinta yang jomplang ini terus berlarut-larut, segeralah Anda mulai meneliti diri sendiri.
Bukan tak mungkin sumber penyebabnya adalah Anda sendiri, yakni Anda takut ditinggalkan oleh pasangan. Seperti dikatakan Pamugari, cinta yang berlebihan juga bisa menjadi refleksi tak percaya diri, "takut enggak dicintai sehingga harus memberi cinta yang berlebihan." Jika itu yang terjadi, sarannya, mulailah bertindak untuk sesekali menomorsatukan perasaan dan kebutuhan kita.
"Kembangkan berbagai kualitas diri dan potensi yang kita punya. Dengan demikian, kepercayaan diri akan menebal dan kita akan tampil sebagai pribadi yang layak dicintai." Tapi bila masalahnya bukan terletak pada diri Anda, boleh jadi pasangan Andalah yang bermasalah; dia takut untuk menyerahkan cintanya dengan sepenuhnya kepada Anda. Saran Pamugari, coba, deh, diselidiki apa kira-kira yang menyebabkannya menjadi seperti itu.
"Masa lalu bisa menjadi penyebab mengapa pasangan tampak enggan menunjukkan cintanya. Bisa jadi dia memilih kita sebagai reaksi terhadap hubungannya dengan ayah-ibunya dulu. Bila dia merasa kurang dicintai ketika kecil, maka ketika dia memilih pasangan, dia akan bersikap sebagaimana orang tuanya dulu memperlakukan dia. Secara tak sadar, dia menghukum ayah-ibunya, meskipun kemudian yang terluka sebenarnya kita."
Nah, bila demikian permasalahannya, cobalah Anda menyadarkannya untuk melihat realitas lain yang lebih positif. "Ajak pasangan berdialog dan bukakan pikirannya bahwa 'kesalahan' orang tua tak perlu dibalaskan kepada Anda." Sadarkan pula bahwa cinta yang seimbang dapat membuat perkawinan menjadi lebih sehat. Bila perlu, Anda dan pasangan dapat meminta bantuan profesional untuk memperbaiki pola hubungan yang tak sehat itu. Bukankah hubungan yang sehat ditandai dengan arus cinta dua arah yang sama-sama berimbang?
Jadi, kendati kita seharusnya memberikan cinta tanpa pamrih, namun bukan berarti kita harus pasrah tanpa berbuat apapun. Kita tetap boleh, kok, bertindak untuk memperbaiki keadaan agar cinta yang jomplang ini tak semakin memburuk. Tapi jika segala usaha tersebut tak menunjukkan hasil, apa boleh buat, keputusan pahit mungkin harus menjadi solusinya. Apalagi, untuk mengubah pasangan dan pola hubungan yang sudah bertahun-tahun memang tak mudah.
Akhirnya, kepada suami atau istri yang "pelit" dengan cintanya, Pamugari mengingatkan, kita tak akan pernah bahagia bila selalu menahan cinta. Dengan demikian, kita pun berarti telah menyakiti pasangan karena kita terus bersamanya walaupun tak mampu mencintainya. "Mungkin Anda harus memilih, antara mencintai diri sendiri atau mencintai pasangan secara seimbang dalam sebuah perkawinan," tandasnya.
SI KECIL BELAJAR JADI MUNAFIK
Cukup banyak, lo, perkawinan yang tampaknya harmonis namun di dalamnya tak mulus lantaran selalu hitung-hitungan cinta. Nah, bila Anda dan pasangan termasuk yang demikian, hati-hatilah! Pasalnya, Anda berdua memberikan pelajaran kepada si kecil bahwa kehidupan munafik itu sah-sah saja. Akibatnya, si kecil pun belajar menjadi munafik; seringkali nanti dia tampil bukan sebagai dirinya sendiri. Bukankah orang munafik sering tak mengenal siapa dirinya dan apa yang dia butuhkan dalam hidupnya?
Belum lagi ada kecenderungan, si munafik juga sering merugikan orang lain. Celakan, kan! Karena itu, Bu-Pak, saran Pamugari, berilah ajaran pada anak tentang cinta yang sehat alias enggak hitung-hitungan. Ajarkan pada mereka bahwa cinta itu banyak bentuknya dan tanpa pamrih.
"Ibu yang romantis yang suka membelai ayah dan ayah yang mengaplikasikan cintanya dalam bentuk tanggung jawab, komitmen,serta respek pada ibu dapat memberikan gambaran pada anak, bahwa cinta itu bentuknya bukan hanya lahiriah, tapi juga mental," tutur Pamugari. Jadi, meski ayah dan ibu saling berbeda cara dalam mengungkapkan cintanya, namun anak-anak tetap dapat merasakan bahwa ayah dan ibu memiliki keterikatan yang kuat. "Dua-duanya memberi sisi yang baik, tak ada yang lebih hebat dari yang lain." Dengan demikian, si kecil pun dapat tumbuh sehat menjadi pribadi yang dewasa.
Santi Hartono