Boleh, Kok, Si Kecil Ikut Kursus

By nova.id, Jumat, 18 Februari 2011 | 17:01 WIB
Boleh Kok Si Kecil Ikut Kursus (nova.id)

Kalau ia memang berminat pada bidang tertentu, tak ada salahnya, kok, dikursuskan. Asal jangan kebanyakan, ya, Bu-Pak. Nanti malah kecapekan sehingga ia pun jadi malas berangkat kursus.

Sudah tak asing lagi bila kursus keterampilan tertentu menjadi makanan sehari-hari anak usia prasekolah di masa sekarang. Tak sedikit, lo, anak yang dalam seminggu mengikuti sampai 3-4 jenis kursus atau malah dalam sehari lebih dari satu jenis kursus. Misal, Senin dan Rabu sore kursus balet dan bahasa Inggris, dilanjutkan malamnya baca Al-Quran; Selasa dan Kamis kursus komputer dan renang; lalu Jumat kursus olah vokal dan main piano.

Sampai-sampai orang tua merasa perlu untuk terus mengingatkan si anak pada jadwal-jadwal kursusnya. Bukan lantaran si kecil butuh sekretaris karena saking sibuknya, lo. Maklumlah, dengan jadwal sepadat itu, anak kecil masih suka lupa. Belum lagi orang tua harus terus memompa semangat anak agar termotivasi terus dalam mengikuti kursusnya, karena tak jarang anak mogok berangkat kursus bila malasnya tengah kambuh. Tentu tak ada salahnya bila anak ikut aneka macam kursus. Sekalipun usianya masih balita. Toh, demi kebaikan si anak juga. Terlebih lagi dalam menghadapi tantangan di masa depan yang semakin berat, pastilah anak butuh persiapan yang matang.

Nah, dengan ikut kursus, si anak nantinya memiliki keterampilan hidup dan menjadi pribadi yang sukses. Iya, kan? Celakanya, tak sedikit orang tua yang mengkursuskan anaknya justru demi mengejar ambisi orang tua. Seperti dikatakan dra. Sri Wulan, staf Litbang TKIT Auliya Bintaro Jaya, kadang orang tua lupa dengan beranggapan bahwa sukses anak adalah bukti dari kesuksesan orang tua. "Akibatnya, orang tua banyak mendorong dan memberi tekanan pada sang anak agar menjadi orang yang sukses." Di antaranya dengan memberi banyak stimulus keterampilan lewat kursus. Padahal, baik menurut orang tua belum tentu baik bagi anak. Bisa jadi kebutuhan anak akan lain. Iya, kan?

Tak jarang pula, orang tua menjadikan kursus sebagai pengganti tugas orang tua. "Banyak, kan, yang mengkursuskan anaknya dalam berbagai bidang, termasuk baca-tulis, lantaran orang tua sangat sibuk dan tak punya waktu mengajari anaknya?" ujar Wulan, panggilan akrab psikolog ini. Bila demikian, tandasnya, orang tua tak bertanggung jawab. "Boleh saja orang tua mencari guru kursus karena tak sempat mengajari anaknya, tapi dalam waktu-waktu tertentu saja. Jangan semua tugas orang tua digantikan keseluruhannya oleh guru kursus." Ingat, lo, Bu-Pak, orang tualah yang bertugas sebagai pendidik anak yang utama.

SESUAI KEBUTUHAN ANAK

Jadi, kalau kita ingin mengkursuskan si kecil harus disesuaikan dengan masa perkembangan dan kebutuhannya, ya, Bu-Pak. Untuk itu, kita perlu tahu tugas-tugas perkembangan apa yang harus dilalui anak usia ini, sehingga kita bisa memahami apa yang dibutuhkan bagi perkembangan si kecil sesuai tahapan usianya. Memang, diakui Wulan, pada awalnya anak tak tahu mana yang ia butuhkan atau mana yang ia senangi kalau orang tua tak memperkenalkannya lebih dulu.

Dengan demikian, orang tualah yang lebih dulu memberikan motivasi kepada anak untuk mengikuti kursus-kursus tersebut. "Tapi jangan lupa, jika setelah beberapa kali mengikuti kursus ternyata si anak tak juga menampakkan keinginan untuk meneruskan kursusnya, maka sebaiknya dihentikan. Jangan malah stimulasi ini berubah jadi paksaan, jangan orang tua hanya memikirkan ambisinya sendiri daripada kepentingan anak." Nah, agar kita tak keliru memasukkan si kecil ke dalam suatu kursus yang belum tentu disenanginya, maka kita harus jeli melihat bakatnya. "Jika orang tua peka mengenal anaknya, ia akan bisa melihat bakat anaknya." Sebab, jika anak menyukai bidang tertentu, maka kegiatan itu pula yang paling sering dilakukannya.

Misal, si kecil berbakat melukis. "Tentu frekuensi corat-coret dan menggambarnya akan lebih banyak. Hasilnya juga menunjukkan bukan sekadar gambar biasa." Barulah kita memasukkan si kecil ke sanggar melukis. Perlu diketahui, tiap anak mempunyai masa peka berbeda-beda. Kalau masa pekanya menulis, maka di mana saja ia akan menulis dan corat-coret; entah di kertas, tembok, hingga seprei dan pakaiannya sendiri. Soalnya bagi anak, menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan.

Begitu pula jika pekanya menyanyi, ia akan menunjukkan bakat ini. Nah, dari sinilah kita akan melihat, apakah si kecil cenderung berbakat art, bahasa, atau daya pikir, sehingga kita bisa mencari program khusus untuk membantu mengembangkan bakatnya. Dengan demikian, tutur dosen Luar Biasa PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Universitas Negeri Jakarta, ini, "orang tua bisa membekali pengetahuan pada anak dan si anak juga merasa enjoy serta belajar untuk profesionalisme sejak dini." Artinya, si kecil tak mempelajari setengah-setengah, namun akan ditekuni secara tuntas.

HAK BERMAIN

Bukan berarti bidang apapun yang disenangi anak harus dimasuki semua, lo. Jangan sampai waktunya seminggu penuh dihabiskan hanya untuk kursus. "Yang ideal, cukup seminggu dua kali saja anak pergi kursus agar ia tetap memiliki waktu bermain bersama keluarganya," bilang Wulan. Di samping itu, jika anak usia ini mengikuti banyak kursus, akhirnya ia akan jenuh dan bosan; biasanya ditandai dengan seringnya ia mogok berangkat ke tempat kursus.