Kalau ia memang berminat pada bidang tertentu, tak ada salahnya, kok, dikursuskan. Asal jangan kebanyakan, ya, Bu-Pak. Nanti malah kecapekan sehingga ia pun jadi malas berangkat kursus.
Sudah tak asing lagi bila kursus keterampilan tertentu menjadi makanan sehari-hari anak usia prasekolah di masa sekarang. Tak sedikit, lo, anak yang dalam seminggu mengikuti sampai 3-4 jenis kursus atau malah dalam sehari lebih dari satu jenis kursus. Misal, Senin dan Rabu sore kursus balet dan bahasa Inggris, dilanjutkan malamnya baca Al-Quran; Selasa dan Kamis kursus komputer dan renang; lalu Jumat kursus olah vokal dan main piano.
Sampai-sampai orang tua merasa perlu untuk terus mengingatkan si anak pada jadwal-jadwal kursusnya. Bukan lantaran si kecil butuh sekretaris karena saking sibuknya, lo. Maklumlah, dengan jadwal sepadat itu, anak kecil masih suka lupa. Belum lagi orang tua harus terus memompa semangat anak agar termotivasi terus dalam mengikuti kursusnya, karena tak jarang anak mogok berangkat kursus bila malasnya tengah kambuh. Tentu tak ada salahnya bila anak ikut aneka macam kursus. Sekalipun usianya masih balita. Toh, demi kebaikan si anak juga. Terlebih lagi dalam menghadapi tantangan di masa depan yang semakin berat, pastilah anak butuh persiapan yang matang.
Nah, dengan ikut kursus, si anak nantinya memiliki keterampilan hidup dan menjadi pribadi yang sukses. Iya, kan? Celakanya, tak sedikit orang tua yang mengkursuskan anaknya justru demi mengejar ambisi orang tua. Seperti dikatakan dra. Sri Wulan, staf Litbang TKIT Auliya Bintaro Jaya, kadang orang tua lupa dengan beranggapan bahwa sukses anak adalah bukti dari kesuksesan orang tua. "Akibatnya, orang tua banyak mendorong dan memberi tekanan pada sang anak agar menjadi orang yang sukses." Di antaranya dengan memberi banyak stimulus keterampilan lewat kursus. Padahal, baik menurut orang tua belum tentu baik bagi anak. Bisa jadi kebutuhan anak akan lain. Iya, kan?
Tak jarang pula, orang tua menjadikan kursus sebagai pengganti tugas orang tua. "Banyak, kan, yang mengkursuskan anaknya dalam berbagai bidang, termasuk baca-tulis, lantaran orang tua sangat sibuk dan tak punya waktu mengajari anaknya?" ujar Wulan, panggilan akrab psikolog ini. Bila demikian, tandasnya, orang tua tak bertanggung jawab. "Boleh saja orang tua mencari guru kursus karena tak sempat mengajari anaknya, tapi dalam waktu-waktu tertentu saja. Jangan semua tugas orang tua digantikan keseluruhannya oleh guru kursus." Ingat, lo, Bu-Pak, orang tualah yang bertugas sebagai pendidik anak yang utama.
SESUAI KEBUTUHAN ANAK
Jadi, kalau kita ingin mengkursuskan si kecil harus disesuaikan dengan masa perkembangan dan kebutuhannya, ya, Bu-Pak. Untuk itu, kita perlu tahu tugas-tugas perkembangan apa yang harus dilalui anak usia ini, sehingga kita bisa memahami apa yang dibutuhkan bagi perkembangan si kecil sesuai tahapan usianya. Memang, diakui Wulan, pada awalnya anak tak tahu mana yang ia butuhkan atau mana yang ia senangi kalau orang tua tak memperkenalkannya lebih dulu.
Dengan demikian, orang tualah yang lebih dulu memberikan motivasi kepada anak untuk mengikuti kursus-kursus tersebut. "Tapi jangan lupa, jika setelah beberapa kali mengikuti kursus ternyata si anak tak juga menampakkan keinginan untuk meneruskan kursusnya, maka sebaiknya dihentikan. Jangan malah stimulasi ini berubah jadi paksaan, jangan orang tua hanya memikirkan ambisinya sendiri daripada kepentingan anak." Nah, agar kita tak keliru memasukkan si kecil ke dalam suatu kursus yang belum tentu disenanginya, maka kita harus jeli melihat bakatnya. "Jika orang tua peka mengenal anaknya, ia akan bisa melihat bakat anaknya." Sebab, jika anak menyukai bidang tertentu, maka kegiatan itu pula yang paling sering dilakukannya.
Misal, si kecil berbakat melukis. "Tentu frekuensi corat-coret dan menggambarnya akan lebih banyak. Hasilnya juga menunjukkan bukan sekadar gambar biasa." Barulah kita memasukkan si kecil ke sanggar melukis. Perlu diketahui, tiap anak mempunyai masa peka berbeda-beda. Kalau masa pekanya menulis, maka di mana saja ia akan menulis dan corat-coret; entah di kertas, tembok, hingga seprei dan pakaiannya sendiri. Soalnya bagi anak, menulis adalah kegiatan yang mengasyikkan.
Begitu pula jika pekanya menyanyi, ia akan menunjukkan bakat ini. Nah, dari sinilah kita akan melihat, apakah si kecil cenderung berbakat art, bahasa, atau daya pikir, sehingga kita bisa mencari program khusus untuk membantu mengembangkan bakatnya. Dengan demikian, tutur dosen Luar Biasa PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Universitas Negeri Jakarta, ini, "orang tua bisa membekali pengetahuan pada anak dan si anak juga merasa enjoy serta belajar untuk profesionalisme sejak dini." Artinya, si kecil tak mempelajari setengah-setengah, namun akan ditekuni secara tuntas.
HAK BERMAIN
Bukan berarti bidang apapun yang disenangi anak harus dimasuki semua, lo. Jangan sampai waktunya seminggu penuh dihabiskan hanya untuk kursus. "Yang ideal, cukup seminggu dua kali saja anak pergi kursus agar ia tetap memiliki waktu bermain bersama keluarganya," bilang Wulan. Di samping itu, jika anak usia ini mengikuti banyak kursus, akhirnya ia akan jenuh dan bosan; biasanya ditandai dengan seringnya ia mogok berangkat ke tempat kursus.
"Dia, toh, bukan anak super yang bisa meng-handle semua jam untuk kursus segala macam. Suatu ketika ia akan mengalami kejenuhan juga diberi jadwal yang padat." Kita saja yang dewasa kalau diberi jadwal yang padat terus-menerus akan jenuh juga, kan? Apalagi anak usia prasekolah yang masa perkembangannya masih dalam taraf bermain. Ingat, lo, Bu-Pak, setiap anak mempunyai tugas perkembangan sesuai usianya. Nah, usia prasekolah adalah masanya bermain. Dengan demikian, meski si kecil ikut kursus, namun ia tetap punya hak bermain sesuai tugas perkembangannya.
Jadi, jangan sampai Ibu-Bapak memaksakan kehendak hingga si kecil tak lagi enjoy bermain lantaran waktunya habis cuma buat kursus. "Anak-anak itu hidupnya untuk bermain, tak seperti orang dewasa yang hidupnya untuk bekerja dan belajar. Artinya, kegitan bermain merupakan sarana anak untuk menumbuhkembangkan potensi dirinya." Di usia prasekolah, lanjut dosen PGTKI Bani Saleh ini, anak juga seharusnya lebih banyak tinggal di rumah. "Ia belum wajib sekolah karena dunianya masih dunia suasana informal. Boleh ia keluar rumah, misal, berangkat 'sekolah', tapi hanya untuk sosialisasi."
Itulah mengapa, TK dibatasi waktu belajarnya hanya 2-3 jam. Lagi pula, dengan terlalu banyak kursus, anak jadi kelelahan. Walau pada saat kursus ia mungkin senang-senang saja, tapi sesampainya di "sekolah" bisa jadi ia kurang semangat atau cepat mengantuk. Kalau sudah begitu, sebaiknya kegiatan kursus dikurangi. "Bicarakan dengan anak, bidang mana yang harus dikurangi dan bidang mana yang tetap dilanjutkan." Caranya, minta anak memilih mana yang ia senangi. Misal, "Kakak mau menyanyi atau melukis?" Jika ia lebih suka melukis, misal, maka kursus menyanyinya ditunda. Tapi kalau ia suka keduanya, jelaskanlau dua-duanya diikuti, nanti Kakak gampang capek. Toh, nanti Kakak bisa mengambil kursus itu saat duduk di SD." Jadi, ambillah kursus yang sesuai dengan kemampuan anak dan tak menghabiskan waktu bermainnya, ya, Bu-Pak.
Indah Mulatsih
UNTUNG-RUGI KURSUS
Kursus bermanfaat untuk melengkapi kemampuan yang perlu diasah, disamping memberikan kesempatan pada anak untuk bersosialisasi lebih banyak lagi. Bukankah dengan mengikuti kursus, ia akan bertambah teman dan pengalaman? Namun kursus juga ada ruginya, "bila ada unsur paksaan dari orang tua atau hanya demi memenuhi ambisi orang tua, serta merampas hak anak untuk berada di rumah dan bermain," tutur Wulan.
PATOKAN MEMILIH KURSUS
Kendati kursus sifatnya informal dan hanya sebagai pelengkap, namun tetap saja Ibu-Bapak harus mencari tempat kursus yang terbaik buat si kecil. "Seyogyanya selama kursus, anak tetap bisa melaksanakan tugas perkembangannya, bisa memiliki dunia bermainnya, serta tetap bisa istirahat untuk memenuhi kesehatan fisiknya," tutur Wulan. Ada beberapa hal yang sebaiknya dipertimbangkan sebelum Ibu-Bapak mengambil sesuatu jenis kursus untuk si kecil, yaitu:
* Programnya harus sesuai untuk usia anak. Misal, kursus bahasa Inggris. "Untuk anak usia prasekolah, sebatas ia mengenal nama-nama benda yang ada di sekitarnya, bisa mengucapkannya, dan bisa memahami perintah-perintah singkat yang sederhana," terang Wulan. Nah, Ibu-Bapak harus tahu hal ini agar bisa mengetahui sebatas mana kemajuan yang hendak dicapai si kecil dalam usianya.
* Metode pengajarannya juga harus disesuaikan dengan usia anak, karena tentunya anak usia prasekolah akan berbeda dengan anak usia SD. Jadi, Bu-Pak, lihatlah, apakah metode pengajarannya akan memberikan suasana enjoy buat anak. "Kalau lembaga kursusnya menyesuaikan cara belajar-mengajarnya dengan cara bermain, tak ada salahnya diikuti."
* Waktu kursus. "Sebaiknya kalau anak 'sekolah' pagi, kursusnya di sore hari." Dengan demikian, anak punya waktu cukup untuk istirahat siang, sehingga energi yang sudah dikeluarkan waktu pagi bisa tergantikan dengan tidur siangnya.
* Yang tak kalah penting, lihat tenaga pengajarnya, apakah memahami perkembangan anak.
"SEKOLAH" FULL DAY
Wulan lebih menganjurkan memilih "sekolah" full day apabila ingin membekali atau memperkenalkan si kecil dalam berbagai bidang namun tak ingin membebaninya dengan jadwal kursus yang padat. "Sekolah" full day, terangnya, sudah menyediakan berbagai kegiatan; ada pengajaran komputer, bahasa Inggris, aritmatika, mewarnai, menari, menyanyi, dan sebagainya. "Dengan demikian, orang tua tak perlu lagi mengkursuskan anaknya di luar." Keuntungan lain, program keterampilan yang disediakan "sekolah" full day telah dirancang khusus sesuai usia anak. "Tak seperti kursus-kursus di luar yang kadang programnya atau pengajarannya enggak sesuai usia anak."