Tangan Terampil Pengaruh Kecerdasan

By nova.id, Selasa, 15 Februari 2011 | 17:00 WIB
Tangan Terampil Pengaruh Kecerdasan (nova.id)

BUKA WAWASANNYA

Nah, jika si kecil sudah luwes jari-jemarinya, ia takkan mengalami kesulitan lagi kala harus mengerjakan bentuk stimulasi yang tertinggi (patern making). Namun begitu, tangan yang terampil saja ternyata belum cukup; anak juga harus punya wawasan luas. Seperti dikatakan Vygotsky, pakar pendidikan dari Rusia, anak-anak yang wawasannya kurang berkembang, besar kemungkinan akan semakin tertinggal. Jadi, ia akan tetap menemui kesulitan meski pada aktivitas imitasi dan manipulasi sudah diberi contoh. Ini berarti, interaksi sosial anak juga harus dikembangkan.

Saran Hapidin, ajarkan anak untuk tak bersandar sepenuhnya pada "bekal" dari orang tua, melainkan juga dari sumber-sumber lain semisal buku/majalah, pengalaman sehari-hari nonton TV, maupun pergaulan dengan teman-teman sebaya dan interaksi dengan orang dewasa. "Sumber-sumber inilah yang bisa dijadikan wacana atau wawasan saat anak melakukan aktivitas manipulasi ataupun mencipta pola. Karena dari situ, daya imajinasinya berkembang dan kemampuan kognitifnya pun terasah saat ia me-recall pengetahuan-pengetahuan yang didapat dari sumber-sumber tersebut." Misal, mencipta berbagai bentuk dari kertas lipat seperti genting, perahu, rumah, burung, dan lainnya.

TUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI

Masih ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi, yaitu anak juga harus punya rasa percaya diri yang kuat. Pasalnya, meski wacananya terisi penuh, tapi jika selalu ragu-ragu, bagaimana ia bisa menuangkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah didapatnya ke dalam satu bentuk karya cipta?

Anak-anak yang enggak PD ini, jelas Hapidin, biasanya mendapat "dukungan" dari orang tua atau lingkungan peer grup-nya. Misal, "Ah, paling juga kamu enggak bisa. Nanti malah jelek jadinya. Udah, sini Ayah yang buatkan biar bagus." Padahal, harusnya orang tua memberi semangat, bukan malah melecehkan yang akhirnya bikin anak yakin kalau dirinya memang enggak mampu.

Jadi, Bu-Pak, apa pun hasilnya, jangan pernah mencela. Kita justru harus memancingnya untuk berkreasi sendiri, "Kemarin Bunda lihat Kakak sudah bisa bikin menara dari balok-balok ini. Bagus, lo, Kak. Pasti sekarang Kakak bisa bikin lebih bagus lagi."

Kita juga tak perlu mendikte semisal, "Yang rapi, dong! Warnainnya jangan sampai keluar garis, ya!" ataupun mengatur-atur pola warna, "Gunungnya dikasih warna biru, dong. Gunung, kan, nggak ada yang warnanya ungu." Sebaiknya, biarkan anak menemukan sendiri yang terbaik untuk dirinya lewat pengalaman kesehariannya. Dengan begitu, kreativitas dan otoaktivitas (aktivitas yang muncul dari diri sendiri) akan muncul.

 LIBATKAN SI KECIL DALAM AKTIVITAS ORANG DEWASA

Anak-anak senang, lo, dilibatkan dalam aktivitas orang dewasa. Selain pekerjaan kita jadi lebih cepat terselesaikan, si kecil pun merasakan manfaat bagi keluwesan jari-jemarinya. Saran Hapidin, sekecil apa pun peran anak, libatkan ia untuk mengasah semua kemampuannya sekaligus meningkatkan rasa percaya dirinya dan melatih kedisiplinannya.

Hanya saja, pesannya, "jangan sekaligus memberi anak begitu banyak stimulasi, karena daya tangkapnya malah akan melemah hingga ia jadi bingung ingin mengerjakan yang mana. Akhirnya, semua tugas malah jadi tak terselesaikan." Cukup tawarkan 2-3 pilihan agar ia juga terbiasa berpikir alternatif.

KURANG LATIHAN, KECERDASAN MENURUN

Hati-hati, lo, Bu-Pak, jika selagi balita si kecil kurang dilatih keterampilan motorik halusnya, maka kemampuan kognitifnya akan menurun. Namun begitu, tak usah cemas. Menurut Hapidin, "kesalahan" ini masih dikoreksi jika intervensi perbaikan dilakukan sebelum si kecil usia 8 tahun. Lebih dari itu, "prosesnya lambat sekali dan butuh waktu lebih lama. Paling tidak, pemahamannya tentang konsep ruang, sintesa antara kemampuan motorik dan kognitif, serta keseimbangan kiri dan kanan, atas dan bawah, tak bisa berkembang sebagus pada anak yang sejak usia dini diberikan stimulasi."

  Th. Puspayanti/nakita