Tangan Terampil Pengaruh Kecerdasan

By nova.id, Selasa, 15 Februari 2011 | 17:00 WIB
Tangan Terampil Pengaruh Kecerdasan (nova.id)

Latih ia menggunakan tangannya agar makin terampil. Dengan begitu, kita sekaligus membantunya jadi anak cerdas.

Tak jarang kita saksikan, anak usia SD begitu kaku memegang pensil/ bolpen hingga huruf- huruf yang ditulisnya sampai tercetak di halaman berikutnya. Ada pula yang tak bisa membuat garis lurus meski sudah menggunakan mistar atau hasil guntingannya melenceng dari garis pembatasnya, dan sebagainya.

Boleh jadi semasa kecilnya kurang atau malah sama sekali tak dilatih menggunakan tangannya secara benar untuk memegang benda-benda tersebut, hingga akhirnya jadi kurang terampil. Soalnya, keterampilan ini amat ditentukan kelenturan seluruh jemari tangan. Hingga, bila tak dilatih, otomatis kelenturannya pun kurang.

Dalam teori perkembangan anak, keterampilan tangan masuk di perkembangan motorik halus. Jadi, ada tahapan-tahapan perkembangan motorik halus yang harus dicapai sesuai usia anak. Di usia 3-4 tahun, misal, anak diharapkan mampu menyusun menara sederhana dari 9 balok kecil, membuat garis lengkung atau meniru bentuk-bentuk yang mengarah pada lingkaran, dan meniru bentuk-bentuk tulisan. Sementara di usia 4-5 tahun, diharapkan mampu menggunting kertas dengan mengikuti garis lurus, menggambar garis silang, maupun menggambar bentuk segitiga dan segiempat.

BENTUK STIMULASI

Penting diketahui, keterampilan motorik halus berkoordinasi dengan otak. Jadi, amat mempengaruhi kemampuan kognitifnya (berpikir). Itu sebab, tekan Drs. Hapidin, MPd., anak harus diberi berbagai stimulasi agar keterampilan motorik halusnya berkembang bagus dan kemampuan berpikirnya makin terasah.

Ada 3 bentuk stimulasi yang diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesulitannya, yaitu:

1. Imitasi.

Anak dirangsang meniru contoh yang sudah ada, semisal mewarnai bentuk-bentuk tertentu. Ini tingkat paling mudah.

2. Manipulasi.

Jika di tingkat imitasi, anak hanya sekadar mencontoh, maka di sini ia dituntut berkreasi sendiri. Yang termasuk dalam kegiatan manipulasi ialah menggunting dan menempel atau melengkapi gambar yang tersedia.

3. Patern Making (Membuat Pola).

Ini tingkat paling sulit karena anak harus membuat bangun/bentuk sendiri. Jadi, bentul-betul dituntut hanya mengandalkan imajinasinya. Misal, menggambar bebas, mencipta mobil balap dari lego atau membangun rumah dari balok-balok aneka warna.

Di sini anak dihadapkan pada pilihan kompleks semisal penggunaan warna dan bidang- bidang geometris. Kemudian, anak diharapkan bisa mengkomunikasikan hasil ciptaannya. Misal, "Ini rumahku. Ini tempat aku bobok. Ini tempat tidur Kakak. Di sebelah sini kamar Ayah dan Ibu. Kalau ini, garasi." Meski awalnya mungkin belum berstruktur atau terpola rapi, minimal anak sudah mencobakan kemampuan bahasanya dengan mengkomunikasikan hasil imajinasinya pada orang lain.

Dengan demikian, dalam patern making, anak bukan hanya dilatih keterampilan motorik halusnya, melainkan juga struktur kognitif dan perkembangan bahasanya. Saat ia membangun rumah dari balok-balok aneka warna, misal, struktur kognitifnya bisa dilihat dari caranya memadukan warna, menyesauaikan bentuk antara kanan dan

kiri, dan lainnya. Di sini ia belajar melihat segala sesuatu secara berstruktur, bahkan apa pun yang kelihatannya abstrak.

JANGAN MENYALAHKAN

Tentunya, agar si kecil sampai pada kemampuan tingkat tinggi, harus dimulai dari tingkat terendah (imitasi). Ini berarti ia harus mampu memegang pensil warna atau crayon, misal, agar bisa mewarnai bentuk-bentuk tertentu. Nah, jika caranya memegang benda-benda tersebut enggak betul, bagaimana ia bisa mewarnai dengan baik?

Ketua Program Studi PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta ini mengingatkan, jika di tingkat paling sederhana (imitasi) saja, kemampuan motorik anak tak terlatih dengan baik, maka di tingkat selanjutnya takkan optimal. Jadi, betapa penting latihan menggunakan tangan ini, ya, Bu-Pak. Misal, dengan mengajarkannya menjepit biji-bijian di antara kedua jarinya, lalu memasukkannya ke botol.

Membiarkan anak mencoret-coret juga salah satu cara melatih keterampilan tangannya. Umumnya, corat-coret dilakukan anak usia batita karena memang pada tahapan usia itu anak lagi senang-senangnya corat-coret. Sampai-sampai dinding rumah, pakaian, dan kaki-tangannya pun dicoreti. Tentu saat usia ini caranya memegang pinsil atau crayon masih salah. Nah, tugas kitalah untuk membetulkannya, tapi bukan dengan cara mencerca atau menyalahkan, "Bukan begitu pegang pensilnya, itu salah! Yang benar begini." Sebaiknya katakan, "Ayah bisa, lo, menggambar apa saja kalau pegang pensilnya begini." Jadi, dikasih contoh dengan cara halus, hingga anak pun tertantang untuk memegang secara benar. Begitu juga bila anak melakukan "kesalahan" saat mewarnai. Wajar, kok. Bu-Pak, jika anak usia prasekolah masih berantakan pewarnaannya karena keterampilan motorik halusnya memang belum sempurna. Itu sebab harus banyak dilatih.

Sikap menyalahkan, terang Hapidin, bisa membuat anak merasa dirinyalah yang paling benar. Kalau sudah begitu, ia akan ngotot mempertahankan caranya yang salah. Tak cuma itu, ia pun jadi belajar menyalahkan orang lain. Atau, ia malah jadi frustrasi lantaran kelewat sering disalahkan. Dampaknya, ia jadi tak termotivasi lagi untuk melakukannya. Makanya, tekan Hapidin, "jangan terlalu mempersoalkan kesalahan anak seolah dosa besar yang tak termaafkan."

LIBATKAN SEMUA JARI

Penting pula diperhatikan, dalam melatih keterampilan motorik halus, semua jari anak harus ikut dilatih. Jadi, saat ia dilatih menjepit biji-bijian, misal, bukan cuma ibu jari dan telunjuknya saja. Tangan yang digunakan pun harus keduanya, kiri dan kanan. Dengan demikian, ada keseimbangan antara tangan kanan dan kiri. "Bila tak ada keseimbangan, risiko akan sangat terasa ketika tangan kanan sakit/luka, sementara tangan kiri tak bisa dimanfaatkan sama sekali," jelas Hapidin.

Memang, diakui Hapidin, orang tua di negeri kita cuma mengajarkan anak menggunakan tangan kanan. Padahal, seharusnya ada keseimbangan antara tangan kanan dan kiriJadi, untuk hal-hal yang berkaitan dengan konteks budaya semisal tata krama, memang sudah seharusnya bila kita mengajarkan si kecil menggunakan tangan kanan. "Namun untuk hal-hal lain seperti mengerjakan tugas-tugas, kan, enggak harus pakai tangan kanan?" ujarnya.

BUKA WAWASANNYA

Nah, jika si kecil sudah luwes jari-jemarinya, ia takkan mengalami kesulitan lagi kala harus mengerjakan bentuk stimulasi yang tertinggi (patern making). Namun begitu, tangan yang terampil saja ternyata belum cukup; anak juga harus punya wawasan luas. Seperti dikatakan Vygotsky, pakar pendidikan dari Rusia, anak-anak yang wawasannya kurang berkembang, besar kemungkinan akan semakin tertinggal. Jadi, ia akan tetap menemui kesulitan meski pada aktivitas imitasi dan manipulasi sudah diberi contoh. Ini berarti, interaksi sosial anak juga harus dikembangkan.

Saran Hapidin, ajarkan anak untuk tak bersandar sepenuhnya pada "bekal" dari orang tua, melainkan juga dari sumber-sumber lain semisal buku/majalah, pengalaman sehari-hari nonton TV, maupun pergaulan dengan teman-teman sebaya dan interaksi dengan orang dewasa. "Sumber-sumber inilah yang bisa dijadikan wacana atau wawasan saat anak melakukan aktivitas manipulasi ataupun mencipta pola. Karena dari situ, daya imajinasinya berkembang dan kemampuan kognitifnya pun terasah saat ia me-recall pengetahuan-pengetahuan yang didapat dari sumber-sumber tersebut." Misal, mencipta berbagai bentuk dari kertas lipat seperti genting, perahu, rumah, burung, dan lainnya.

TUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI

Masih ada satu syarat lagi yang harus dipenuhi, yaitu anak juga harus punya rasa percaya diri yang kuat. Pasalnya, meski wacananya terisi penuh, tapi jika selalu ragu-ragu, bagaimana ia bisa menuangkan pengetahuan-pengetahuan yang sudah didapatnya ke dalam satu bentuk karya cipta?

Anak-anak yang enggak PD ini, jelas Hapidin, biasanya mendapat "dukungan" dari orang tua atau lingkungan peer grup-nya. Misal, "Ah, paling juga kamu enggak bisa. Nanti malah jelek jadinya. Udah, sini Ayah yang buatkan biar bagus." Padahal, harusnya orang tua memberi semangat, bukan malah melecehkan yang akhirnya bikin anak yakin kalau dirinya memang enggak mampu.

Jadi, Bu-Pak, apa pun hasilnya, jangan pernah mencela. Kita justru harus memancingnya untuk berkreasi sendiri, "Kemarin Bunda lihat Kakak sudah bisa bikin menara dari balok-balok ini. Bagus, lo, Kak. Pasti sekarang Kakak bisa bikin lebih bagus lagi."

Kita juga tak perlu mendikte semisal, "Yang rapi, dong! Warnainnya jangan sampai keluar garis, ya!" ataupun mengatur-atur pola warna, "Gunungnya dikasih warna biru, dong. Gunung, kan, nggak ada yang warnanya ungu." Sebaiknya, biarkan anak menemukan sendiri yang terbaik untuk dirinya lewat pengalaman kesehariannya. Dengan begitu, kreativitas dan otoaktivitas (aktivitas yang muncul dari diri sendiri) akan muncul.

 LIBATKAN SI KECIL DALAM AKTIVITAS ORANG DEWASA

Anak-anak senang, lo, dilibatkan dalam aktivitas orang dewasa. Selain pekerjaan kita jadi lebih cepat terselesaikan, si kecil pun merasakan manfaat bagi keluwesan jari-jemarinya. Saran Hapidin, sekecil apa pun peran anak, libatkan ia untuk mengasah semua kemampuannya sekaligus meningkatkan rasa percaya dirinya dan melatih kedisiplinannya.

Hanya saja, pesannya, "jangan sekaligus memberi anak begitu banyak stimulasi, karena daya tangkapnya malah akan melemah hingga ia jadi bingung ingin mengerjakan yang mana. Akhirnya, semua tugas malah jadi tak terselesaikan." Cukup tawarkan 2-3 pilihan agar ia juga terbiasa berpikir alternatif.

KURANG LATIHAN, KECERDASAN MENURUN

Hati-hati, lo, Bu-Pak, jika selagi balita si kecil kurang dilatih keterampilan motorik halusnya, maka kemampuan kognitifnya akan menurun. Namun begitu, tak usah cemas. Menurut Hapidin, "kesalahan" ini masih dikoreksi jika intervensi perbaikan dilakukan sebelum si kecil usia 8 tahun. Lebih dari itu, "prosesnya lambat sekali dan butuh waktu lebih lama. Paling tidak, pemahamannya tentang konsep ruang, sintesa antara kemampuan motorik dan kognitif, serta keseimbangan kiri dan kanan, atas dan bawah, tak bisa berkembang sebagus pada anak yang sejak usia dini diberikan stimulasi."

  Th. Puspayanti/nakita