Si Kecil Ingin Pamer

By nova.id, Senin, 31 Januari 2011 | 17:00 WIB
Si Kecil Ingin Pamer (nova.id)

Bapak-Ibu, waspadalah bila si kecil memboyong semua mainannya ke "sekolah". Perilakunya yang suka pamer ini menunjukkan, ia ingin "membeli" perhatian teman-temannya agar bisa punya teman.

Sering kita saksikan anak usia ini membawa mainannya ke "sekolah". Kalau cuma satu-dua, kita masih maklum, deh, karena ia mungkin bosan dengan mainan yang disediakan "sekolah"nya. Lain hal bila mainan yang dibawanya banyak sekali hingga terkesan seperti boyongan, "itu sudah tak wajar lagi. Ada indikasi anak ingin pamer," ujar dra. Zamralita. "Ia punya banyak benda dan benda itu sangat bagus-bagus. Jadi, ia punya sesuatu yang menurutnya adalah kelebihannya."

Perilaku pamer, terang psikolog yang akrab disapa Lita ini, bisa jadi merupakan bentuk perwujudan identitas diri, "Ini, lo, barang-barang yang aku punya." Jadi, dari barang atau mainan yang dibawa, ia menunjukkan "saya ini siapa" bahwa "saya punya sesuatu yang lebih dari teman-teman saya."

Bisa juga, perilaku pamer ditiru anak dari orang tua. "Tanpa disadari, orang tua suka memamerkan barang-barangnya atau perhiasannya pada orang lain saat arisan atau berkunjung ke rumah famili, misal." Ingat, anak adalah pengamat paling peka. Bila orang tua kerap berperilaku pamer, tak heran jika anaknya meniru.

INGIN DITERIMA KELOMPOK

Dalam kaitan dengan perkembangan sosial, terang Lita, perilaku pamer merupakan cara agar diakui atau diterima kelompok. "Teman-temannya bisa diajak main dengan cara ia membawa fasilitas mainan yang banyak." Jadi, dasarnya karena ia ingin diterima teman-temannya. Penyebabnya, boleh jadi awalnya ia tak mungkin bisa diterima teman-temannya bila tak membawa barang-barang itu.

Penerimaan sosial, terangnya lebih lanjut, merupakan ukuran sukses bagi seorang anak, termasuk anak usia prasekolah. "Dengan punya banyak teman, ia merasa paling berhasil dalam lingkungan sosial." Bukankah di rumah, tanpa melakukan usaha apapun, semua fokus orang pasti tertuju pada dirinya? Entah perhatian orang tua, kakek-nenek, atau saudara-saudaranya. "Nah, saat 'sekolah', mulailah ia merasakan ada suatu lingkungan lain yang tak seperti di rumah. Di lingkungan ini, bila ia tak berbuat apa-apa, ia tak akan jadi fokus. Jadilah ia menggunakan cara dengan membawa semua barang mainannya sebagai alat untuk mendapatkan perhatian itu."

Terlebih lagi di usia prasekolah, anak cepat sekali tertarik pada mainan yang baru atau sesuatu yang unik, hingga usaha pamer untuk mendapat perhatian pasti berhasil. "Bila temannya ada yang pinjam mainannya, tentu sesuatu yang membanggakan buat anak yang memang bertujuan pamer. Ia merasa dibutuhkan atau eksis dalam kelompok itu," tutur staf pengajar pada Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta, ini.

Di sisi lain, anak yang kurang perhatian di rumah, juga akan berusaha keras mendapat perhatian dari orang lain dan teman-temannya.

BANYAK TUNTUTAN

Jadi, Bu-Pak, bila si kecil kerap memboyong mainannya ke "sekolah", waspadalah, karena berarti ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Tentu saja hal ini tak bisa dibiarkan terus berlanjut. "Sebelum berangkat ke 'sekolah', kala ia memasukkan barang-barangnya ke tas, bujuklah agar ia mengurangi bawaannya," anjur Lita. Paling tidak, usahakan agar perilakunya tak berkembang lebih jauh.

Soalnya, bila dibiarkan terus berlanjut akan berdampak jelek. "Ia bisa berkembang jadi banyak tuntutan pada orang tua," ujar Lita. Misal, ingin dibelikan sesuatu barang yang baru terus agar bisa jadi yang paling pertama atau paling unggul dibanding teman-temannya. Bukankah ia mendapat perhatian dari teman-temannya karena barang-barangnya? Jadi, ia ingin selalu lebih, dong, agar mendapat perhatian terus.

Selain itu, bukan tak mungkin akan berkembang ke arah suka memberikan mainan yang dibawanya pada teman-temannya. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk mendapat nilai lebih di mata teman-temannya. Tentu mereka akan lebih menilainya positif jika mendapatkan barang itu dibanding sekadar pinjam, bukan? Nah, ini, kan, sama saja dengan memanipulasi teman-teman dan persahabatan itu sendiri. Bila dibiarkan bisa keterusan hingga besar, lo. "Ia akan selalu membeli perhatian teman-temannya dengan cara yang sama seperti mentraktir, membelikan barang-barang keperluan mereka, dan sebagainya." Padahal, dalam pergaulan orang dewasa, perilaku pamer paling tak disukai. Yang disukai justru orang-orang yang bisa menunjukkan prestasi atau sesuatu yang sudah melekat dalam dirinya. Kalau yang suka pamer, sih, malah dijauhi. Iya, kan?

Jeleknya lagi, tambah Lita, karena mainannya sudah diberikan pada teman-temannya, ia jadi punya tuntutan lain pada orang tuanya, yaitu minta "ganti rugi" atas barang-barang tersebut. Nah, ini, kan memberatkan orang tua. Itulah mengapa, tegas Lita, perilaku pamer harus dihentikan.

CARI TAHU MOTIVASINYA

Yang pertama harus kita lakukan, cari tahu motivasi si kecil membawa barang-barangnya begitu banyak ke "sekolah". "Bila jawabannya untuk main, kita, kan, bisa bilang bahwa satu atau dua mainan saja sudah cukup untuk dipakai main saat jam istirahat." Soalnya, bila tujuannya bukan pamer, yang dibawanya memang cuma satu-dua jenis mainan saja.

Bila jawabannya tak masuk akal atau ia malah tak bisa jawab, disinilah kita harus waspada, "Ada apa dengan si kecil?", karena berarti ia punya tujuan lain. Nah, kita harus bisa menggali, kebutuhan apa yang ia perlukan. "Bisa jadi demi memenuhi perasaan kurang mendapat perhatian di rumah."

Kemudian, cari tahu pula tanggapan teman-temannya. Misal, ia mengatakan teman-temannya suka, tanyakan, "Sukanya itu sama Kakak atau sama mainan Kakak?" Menurut Lita, anak usia prasekolah sudah bisa merasakan bila perhatian teman-temannya ternyata enggak tulus, hingga ia pun biasanya dengan polos bisa mengungkapkan, "Sukanya sama mainanku. Soalnya, kalau aku enggak bawa boneka, aku enggak ditemenin."

Nah, dari situ kita bisa sekaligus mengajarinya bahwa lingkungan memang tak selamanya sesuai dengan kehendak kita, yaitu selamanya baik pada kita. "Ada orang baik, ada orang ramah, ada pula orang yang mengharapkan sesuatu dari kita. Jadi, kadang memang ada lingkungan yang enggak menyenangkan."

Selanjutnya, kasih pengertian, untuk mendapatkan teman tak harus lewat mainan-mainannya namun bisa dengan menunjukkan prestasinya, bakatnya, atau sesuatu yang melekat pada dirinya seperti ramah tamah, baik hati, dan sebagainya. Jadi, katakan, "Kakak bisa, kok, bermain sama teman-teman tanpa Kakak harus bawa barang-barang itu. Asalkan Kakak baik, ramah, enggak suka ngomong kasar, apalagi sampai menyakiti teman. Pasti, deh, teman-teman akan suka berteman sama Kakak."

Itulah mengapa, bilang Lita, kita seharusnya menggali bakat anak. Misal, dengan memasukkannya ke klub tertentu yang bisa mengasah bakat anak seperti klub melukis, menyanyi, atau klub olahraga. "Berilah pengertian padanya, dengan kelebihan pada bakat atau prestasinya ini, teman-teman pasti akan dengan sendirinya berdatangan. Terlebih lagi bila diimbangi pula dengan sifat-sifatnya yang baik." Toh, bila anak punya kelebihan, juga memupuk rasa percaya dirinya. "Jika ada cara di 'sekolah'nya, pasti ia akan ditunjuk. Nah, itu, kan, berarti penerimaan sosialnya juga baik."

Jadi, si kecil harus belajar menempatkan diri pada lingkungan di mana pun tanpa perlu "membeli" perhatian teman-teman lewat barang-barang miliknya, ya, Bu-Pak.

HARUS DIBAWA PULANG LAGI

Tentunya si kecil juga harus diajarkan tanggung jawab atas perbuatannya, yaitu membereskan barang-barangnya kembali dan membawanya pulang. "Sebelum berangkat, minta ia mencatat barang-barang yang dibawanya. Jadi, ketika pulang, sejumlah itu pula yang harus kembali. Dengan demikian kita mengajarinya bertanggung jawab terhadap barang-barangnya," tutur Lita.

Begitupun bila ada barang yang hilang, ia harus bertanggung jawab. Artinya, ia tak boleh minta pada orang tua untuk membelikannya lagi. "Itu, kan, sudah konsekuensinya. Kalau ia yang menghilangkan, maka konsekuensinya ia tak punya benda seperti itu lagi, kan?" Nah, kita bisa bilang, "Makanya Kakak jangan bawa barang banyak-banyak. Kan, sayang kalau hilang seperti ini. Kakak jadi tak punya lagi." Sebaliknya, bila tak diajarkan menanggung konsekuensinya, ia jadi keenakan, "Toh, Ibu juga enggak apa-apa kalau aku menghilangkannya. Malah aku dibeliin lagi, kok."

Untuk itu, tandas Lita, kita jangan hanya mengontrol kala ia mau berangkat "sekolah", tapi juga sepulang "sekolah". Selain, pengontrolan ini juga berguna untuk melihat apakah ada benda berharga yang ikut dibawanya. Kalau benda berharga ini sampai hilang, kan, bisa menimbulkan keributan di "sekolah" atau malah jadi bahan rebutan teman-temannya hingga timbul pertengkaran.

Nah, kini semakin jelas, kan, Bu-Pak, apa tindakan terbaik yang harus kita lakukan bila si kecil suka pamer?

TIDAK KE TETANGGA

Perilaku pamer, menurut Lita, umumnya terjadi di "sekolah". Jadi, si kecil tak akan memamerkan mainannya kepada teman-temannya di rumah ataupun sanak familinya. Pasalnya, "sekolah" adalah lingkungan kedua buat anak. "Ia sehari-hari di sana dan relatif menetap untuk jangka panjang, hingga relatif lebih butuh teman di sana."

Disamping, teman-teman "sekolah" biasanya tak tahu keadaan dirinya di rumah, apakah ia berasal dari keluarga berada atau tidak. "Jadi, ia butuh mengekspresikan siapa dirinya pada mereka." Sedangkan anak-anak tetangga atau sanak famili, kan, sudah tahu tentang keadaannya. Bila ia berasal dari keluarga kaya, misal, tetangganya tentu sudah tahu pasti kalau dirinya punya banyak mainan. "Dengan demikian, tanpa ia memamerkan mainannya pun, ia sudah mendapat 'pengakuan' itu. Kalaupun kadang ia pamerkan, relatif tak sebanyak kalau ia pamer di 'sekolah'. Paling cuma satu-dua barang."

BUTUH RASA NYAMAN

Kebalikan dari pamer, tak jarang anak usia ini membawa benda yang biasa dipegangnya atau dibuat mainan sehari-harinya di rumah. Yang dibawa pun enggak banyak, biasanya berupa boneka kesayangan saja atau mobil-mobilan yang jadi favoritnya. Soalnya, kebiasaan ini lebih berkait dengan masalah kenyamanan. "Ia tak bisa lepas dari benda itu karena merasa tak nyaman jika jauh dari benda yang biasa melekat dengannya," terang Lita.

Namun tetap harus diupayakan untuk menghilangkan ketergantungan pada benda-benda kesayangan, karena bisa keterusan hingga besar bila dibiarkan. "Masa sudah besar masih bawa-bawa benda-benda kesayangan? Kan, enggak bagus dilihat. Terlebih lagi kalau yang jadi benda kesayangannya itu selimut atau guling kecilnya yang kadang sudah dekil, tentunya enggak pantas, dong, dibawa ke 'sekolah'."

Jadi, si kecil harus dicegah agar perilakunya tak keterusan. Tentu secara bertahap. Apalagi biasanya benda kesayangan ini juga selalu dibawa tidur. Ia pun harus diberi pengertian bahwa benda itu tak pantas dibawa ke "sekolah".

Indah Mulatsih /nakita