Pendiam Bukan Berarti Tak Bisa Komunikasi

By nova.id, Senin, 9 Agustus 2010 | 17:56 WIB
Pendiam Bukan Berarti Tak Bisa Komunikasi (nova.id)

Tak perlu buru-buru berambisi mengubah pasangan Anda bila ia tipe pendiam. Anda juga tetap bisa ngobrol, kok. Kiatnya cuma komunikasi yang efektif.

Kala Irma yang "heboh" dan cerewet menikah dengan Gatot yang pendiam dan kalem, banyak yang menyangsikan kelanggengan perkawinan mereka. Benarkah mereka bisa saling cocok dengan sifat mereka yang bertolak belakang ini? Apakah Gatot tak terganggu dengan kecerewetan Irma, apakah Irma bisa betah ngobrol dengan Gatot yang bak "patung", dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

Sebenarnya, cocok tidaknya pasangan dengan diri kita sangat tergantung pada kebutuhan masing-masing. Dalam memilih pasangan, kerap diterapkan dua cara. Yang pertama, similarity, yaitu mencari pasangan yang cara berpikirnya atau gayanya sama. Pokoknya menginginkan gaya kesamaan. Yang kedua, complimenter atau menambah apa yang dirasanya bisa menjadi pelengkap dirinya. Misalnya, si pemalu memilih pasangan yang pintar bergaul, si pendiam memilih yang cerewet. Tujuannya agar bisa saling mengisi. Jadi, kalau si cerewet mencari si pendiam atau si pendiam mencari si cerewet, mungkin memang itu yang dicarinya. "Kalau memang itu yang diperlukan, ya, tak jadi masalah," ujar psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI, Dra. Livia Iskandar-Darmawan, MSc. 

HASIL SOSIALISASI

Pendiamnya seseorang, terang Livia, bisa jadi karena memang bawaannya demikian. "Bisa juga merupakan hasil dari pengalaman interaksinya." Misalnya, karena sejak kecil ia tak banyak punya kesempatan bicara atau mengemukakan pendapat, maka ia memilih berkembang menjadi anak yang pendiam. "Bisa juga karena berdasarkan pengalamannya, tanpa harus banyak bicara pun keinginan komunikasinya tetap tercapai."

Diakui Livia, lelaki kerap lebih pendiam dibandingkan wanita. Semua ini berkaitan dengan pola asuh. "Sejak awal anak lelaki tak diberi kesempatan untuk mengekspresikan dirinya lebih sering. Mereka tak didorong untuk terbuka seperti anak perempuan. Contohnya, kalau anak lelaki menangis, pasti sudah dilarang," tuturnya.

Sebaliknya, perempuan dituntut untuk mempunyai sifat nurturing, yaitu merawat dan memperhatikan perasaan orang lain, sehingga ia lebih banyak punya kesempatan berkomunikasi. Ia jadi terbiasa mengekspresikan perasaan dan pemikirannya secara verbal. Meski ada juga perempuan yang pendiam. "Biasanya, sifat pendiamnya dibentuk karena proses interaksi," jelas Livia.

STRATEGI KOMUNIKASI

Yang penting dilakukan jika pasangan kita pendiam adalah merancang strategi komunikasi agar komunikasi di antara pasangan tetap berjalan baik. Dengan demikian tak terjadi salah pengertian akibat ketidakmampuan menangkap pesan. "Caranya, diskusikan berdua untuk menemukan titik temu tentang cara berkomunikasi atau bagaimana nanti pola komunikasi di dalam keluarga," terang Livia. Jadi, kalau sejak awal sudah diketahui pasangan kita tak banyak omong, jangan menuntutnya untuk berubah menjadi banyak omong. "Lebih baik yang kita pikirkan adalah bagaimana supaya kita berdua bisa tetap berkomunikasi dengan baik."

Komunikasi pun tak melulu harus berupa kata-kata. Bisa juga dilakukan dalam bentuk non verbal. Entah dengan bahasa tubuh, gerak-gerik, atau mimik muka. "Bila suami atau istri mampu menangkap bahasa non verbal dari pasangannya, entah dari cara bicaranya atau bahasa tubuhnya, maka bisa saja pasangannya tak perlu omong terlalu banyak. Toh, mereka sudah bisa menangkap artinya." Bahkan ini kerap kali merupakan komunikasi yang efektif. "Jadi tak perlu memaksa salah satu pihak untuk berbicara sama banyaknya dengan kita."

Begitupun kalau keduanya pendiam. Sepanjang mereka mempunyai cara komunikasi yang baik, tak akan menimbulkan masalah. "Jangan mengira karena sama-sama pendiam lantas tak ada komunikasi sama sekali. Mereka berkomunikasi dengan cara dan strategi tersendiri yang mereka anggap baik dan membuat mereka saling mengerti." Jangan lupa, dua orang yang saling terlibat satu sama lain itu setiap harinya, pasti bisa saling mengerti apa yang dimaksud. "Walaupun caranya mungkin lain daripada orang-orang pada umumnya, mengapa tidak. Itu, kan, tergantung perjanjian antara dua orang dalam satu rumah yang terlibat sehari-harinya. Buat orang lain mungkin strategi mereka tak berfungsi."

Sebaliknya, dua orang yang ramai dan sama-sama heboh tinggal dalam satu rumah pun tak berarti bisa melakukan komunikasi yang baik. Tetap saja mereka perlu memikirkan pola komunikasi yang akan dipakai untuk kelancaran berkomunikasi di dalam rumah tangga. "Ada tendensi, orang yang cerewet memang senangnya ngomong terus. Kadang-kadang lupa, kalau suatu saat dia juga harus menjadi pendengar." Karena mendengar pun, yang dikategorikan sebagai active listening atau mendengar aktif, adalah bagian dari komunikasi yang efektif.

Jadi, orang yang merasa dirinya cerewet, perlu juga menahan diri untuk berperan sebagai pendengar agar komunikasi yang timbal-balik berjalan. Karena kalau dua-duanya berbicara terus tanpa ada yang mau mendengar, maka tak ada timbal-balik, sehingga tujuan atau maksud yang hendak dicapai tak terwujud karena tak ada kompromi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dalam rumah tangga, tandas Livia, bukan terletak pada sifat pendiam atau cerewetnya pasangan. "tapi lebih sering timbul karena macetnya komunikasi." Tentunya, bila istri bicara terus tanpa mendengar, suami tentu akan jadi gedeg. Demikian juga kalau ada ganjalan, sebaiknya langsung dikomunikasi pada pasangannya. "Karena kalau konflik tak terselesaikan dengan baik, akhirnya malah membuat masalah jadi bertumpuk. Bukankah masing-masing punya interpretasi sendiri, sehingga harus dibicarakan untuk mencari titik temu. Jangan diam saja."

DAMPAK PADA ANAK

Yang tak boleh dilupakan, ingat Livia, komunikasi orang tua akan mempengaruhi anak juga, karena anak akan melihat dan merasakan dari apa yang dilihat. Namun demikian, ibu atau ayah pendiam tak perlu berkecil hati kalau-kalau balita kesayangan akan berkurang kesempatannya untuk berkomunikasi dengan Anda. "Tergantung bagaimana menanganinya.

Kalau si ibu merasa dirinya pendiam, perlu dipikirkan bagaimana agar bisa tetap berinteraksi dengan anak-anaknya." Anak belajar komunikasi, terang Livia, bukan hanya mendengarkan orang tuanya berbicara. Namun bisa juga lewat mendengarkan lagu, melihat program selektif di televisi atau membaca buku. Jadi, kalau si ibu merasa tak bisa omong banyak, ia bisa mengajak anak untuk membaca buku. "Atau bekerja sama dengan ayah, terlebih bila si ayah bukan tipe pendiam pula. Bila ibu menyebutkan satu benda, misalnya 'itu burung', lalu ayah memperluasnya dengan kalimat yang lebih panjang, misalnya 'itu burung bangau, kakinya panjang,paruhnya juga panjang'.

Pokoknya bekerja sama dan saling membantu di antara pasangan agar anak tetap berkembang secara optimal," papar Livia. Untuk memulai pembicaraan dengan anak dapat dilakukan dengan bertanya. Misalnya, bila anak baru datang dari bermain, tanyakan apa yang tadi dilihatnya, main dengan siapa, permainan apa, dan sebagainya. "Jadi, tak perlu khawatir bahwa orang tua pendiam tak dapat mengobrol dengan anak. Selalu saja ada cara untuk memulai," tandas Livia. Juga bila ayah dan ibu sama-sama pendiam pun tak jadi halangan untuk mengobrol dengan anak. "Meskipun tentunya butuh sedikit usaha. Misalnya, sebanyak mungkin menyiapkan alat peraga. Entah dengan memperbanyak poster-poster di rumah atau mendatangi tempat-tempat yang dapat memperkaya wawasan anak. Secara otomatis anak akan bertanya dan Anda tinggal menjawab dan menerangkan."

\

Namun orang tua yang cerewet pun tetap harus bisa menerapkan pola komunikasi untuk anaknya. "Karena anak dari pasangan cerewet belum tentu bisa mendapat manfaat dari kecerewetan orang tuanya." Kalau orang tuanya banyak omong, tapi tak mendengarkan anak, tak sensitif terhadap kebutuhan anak, ya, sama saja, anak tak mendapatkan apa-apa.

WASPADAI BAHASA TUBUH

Selain strategi berkomunikasi, penting pula diperhatikan bahasa tubuh dan komunikasi non verbal di depan anak. "Bisa saja anak tak mengerti isi pembicaraan orang tuanya, namun anak bisa merasakan dan melihat dari raut muka dan gerak tubuh ayah-ibu bila sedang marah," tutur Livia. Bila anak melihat ayah-ibunya marah-marah, misalnya, bisa saja ia jadi rewel dan panik. "Apalagi kalau si kecil selalu melihat ayah-ibunya berbicara dalam nada tinggi dan penuh cercaan, ia akan menirunya.

Ia akan belajar bahwa untuk mencapai tujuan, orang harus bicara dalam nada tinggi." Dari bahasa tubuh pula, anak bisa mengetahui apakah orang tuanya menyayangi atau tidak. "Itu yang lebih penting, bukannya dari banyaknya bicara atau tidak." Selain itu, lewat komunikasi non verbal, rasa percaya diri anak pun bisa tumbuh. "Karena orang tua pendiam pun asalkan jadi pendengar yang baik akan membuat anak berkembang sehat. Misalnya, dengan memberikan perhatian dan mendengar keluhan-keluhan anak." Namun demikian, anak lebih senang kalau komunikasi dengan ayah dan ibunya tak terputus. Jadi, pesan Livia, sekalipun ayah-ibu pendiam, hendaknya jangan terlalu pendiam di depan anak. "Sehingga tak menimbulkan kesan, hanya salah satu pihak saja yang dominan."  

Santi Hartono/nakita