Memang, Pamugari mengakui, tak jarang sikap si "mami" ikut mendukung pula. "Seharusnya si ibu lebih arif. Kalau anak lelakinya sudah menikah, sudah mentas istilahnya, maka sebaiknya lepaskanlah. Jangan ditempeli terus." Jadi, kala si anak datang kepada ibu, si ibu seharusnya berujar, "Bicarakanlah hal ini dengan istrimu. Bunda sudah lepas, dong, karena kamu, kan, sudah menikah."
Menurut Pamugari, seorang anak lelaki yang sangat lekat pada ibunya bisa jadi karena awalnya ia dapat menyelami suasana hati ibunya. "Memang seharusnya secara proporsional si anak dekat dengan kedua orang tuanya sehingga akan tercipta kepribadian yang seimbang." Biasanya anak lelaki yang dekat dengan ibunya adalah anak lelaki tertua, anak bungsu, atau anak lelaki satu-satunya. "Bisa juga pada anak lelaki yang selalu sakit-sakitan sejak kecil. Posisi ini memudahkan seorang anak lelaki lebih dekat ke ibu. Namun bisa juga lantaran sifat mereka sama."
Lebih lanjut dijelaskan Pamugari, ketergantungan pada orang tua terdiri dari 3 hal. Yakni, keuangan, fisik, dan emosional. "Biasanya walau keuangan dan fisik sudah bisa lepas dari orang tua, namun masih ada ketergantungan emosional. Nah, inilah yang terjadi pada 'anak mami'."
Itulah mengapa si "anak mami" biasanya tak mau tinggal jauh-jauh dari rumah orang tuanya. "Bahkan kadang tinggal di rumah yang sama atau tetap menumpang di rumah ibunya. Alasannya, demi mempertahankan tradisi keluarga besar."
RUNDINGKAN BERSAMA
Bila istri tak bisa menerima perilaku "anak mami" tersebut, saran Pamugari, bicarakanlah. Hal yang sama juga dianjurkan bila istri baru tahu suaminya ternyata "anak mami" setelah menikah. "Kedua belah pihak harus saling bicara. Apakah mereka mau berubah dan sejauh mana masing-masing bisa berubah."
Bila keduanya ternyata tak bisa mengubah sikap dan salah satu pihak tetap tak bisa menerima, "Ya, kenapa harus dipaksakan? Kenapa kita harus menjalani sesuatu yang berat untuk mencapai kebahagiaan? Itu paradoks sekali. Kalau bisa, kan, mencapai kebahagiaan dengan cara yang gampang, bukan yang berat dijalani," kata Pamugari.
Lain halnya bila keduanya sepakat untuk meneruskan perkawinan dan bersedia memperbaiki diri. Nah, masing-masing bisa saling melakukan tawar-menawar alias bernegosiasi. Misalnya, suami boleh minta saran pada sang ibu hanya dalam kasus-kasus A, B, C. Tapi kalau kasus D, E, F, itu bagian istri. "Tentunya komitmen yang dicapai harus ada folow-up-nya.
Selain itu, mereka juga harus menentukan langkah terhadap si "mami". Dalam hal insi suamilah yang harus berbicara dengan ibunya untuk menghindari terjadinya konfrontasi, terutama dengan istri. "Katakan terus terang pada si ibu bahwa sudah ada kesepakatan dalam keluarganya dan ia sudah menjadi bagian dari keluarganya yang baru." Tentu saja, sampaikan hal ini baik-baik sehingga tak menyinggung perasaan si ibu
Bila mereka masih ada keterikatan fisik alias tinggal bersama orang tua, saran Pamugari, lakukan pemisahan ruangan di dalam rumah agar masing-masing punya pintu masuk-keluar sendiri. "Dengan demikian, walau mereka masih terikat secara fisik dan emosional dengan orang tua, namun mereka sudah menjadi keluarga yang mandiri."
PBANYAK KEGIATAN
Pamugari menyadari, bisa terjadi si ibu akan tersinggung dan tak bisa menerima keputusan tersebut. "Itu berarti si ibu tak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan. Padahal, dalam setiap kehidupan akan mengalami perubahan." Tapi kalau si ibu bisa bersikap arif, tak akan ada masalah. "Bahkan sering terjadi, ibu ingin sekali melepas anaknya agar mandiri tapi justru si anaklah yang tak bisa lepas dari ibunya."