"Iman Dharma/nakita "
Sering, kan, mendengar istilah "anak mami". Itu, lo, sebutan buat para pria yang kalau ada apa-apa selalu "lari" ke ibunya. Bahkan, tak jarang pria model ini memilih calon istri yang segala-galanya hampir mirip dengan sang ibu. Celakanya, setelah punya istri pun, ia masih tetap saja sering "lari" ke ibunya. Malah di hari libur ia lebih kerap menghabiskan waktu di rumah "mami" ketimbang bersama istri dan anak.
Tentu saja sikap suami yang demikian membuat jengkel pasangannya. Ia merasa diabaikan dan tak dihargai. Terlebih lagi bila suami sudah mulai membanding-bandingkan istrinya dengan sang "mami". Wuih, rasanya gondok banget! Siapa, sih, yang mau dibanding-bandingkan? Akibatnya, perilaku suami yang demikian menjadi duri dalam perkawinan.
Menurut Dra. Pamugari Widyastuti, seharusnya para istri yang bersuamikan "anak mami" tak perlu kaget apalagi sampai syok atas perilaku suami yang demikian. "Itu, kan, sudah pilihannya. Kalau ia tetap syok, berarti ia belum begitu mengenal suaminya," ujar psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini. Selain itu, ia juga tak sadar bahwa sebenarnya ia sendirilah yang memilih suami bertipe "anak mami". Artinya, memang pria dengan tipe "anak mami"lah yang ia sukai.
Sementara dari sisi si suami yang "anak mami" sudah jelas akan memilih istri yang bersikap ke"mami-mami"an. Misalnya, tipe wanita yang suka mengatur. Kalau tidak, tak bakalan si pria memilihnya. "Jadi, tak mungkin yang satu hadir tanpa kesiapan yang lainnya. Sehingga, kalau suaminya bertipe 'anak mami', maka ada kemungkinan si istri pun punya kesamaan selera," tutur Pamugari.
TERPENGARUH OMONGAN ORANG
Bila sejak sebelum menikah istri sudah menyadari suaminya adalah tipe "anak mami", ujar Pamugari, maka seharusnya perilaku "anak mami" pada sang suami tak perlu dipersoalkan lagi. "Umumnya mereka yang sadar akan pilihannya tak akan merasakan hal itu sebagai suatu masalah."
Kalaupun kemudian jadi masalah, biasanya karena mengikuti tuntutan lingkungan. "Misalnya, ia melihat suami-suami lain tak seperti suaminya. Atau teman-teman dan kerabatnya sering mengomentari perilaku suaminya yang demikian." Nah, akhirnya si istri,kan, jadi berpikir juga, "Iya, ya, sebenarnya, kan, enggak boleh begitu. Seharusnya suami, kan, bersikap kebapakan dan dapat mengayomi."
Sebaliknya pada diri suami, boleh jadi selama ini ia selalu "lari" kepada istrinya. Karena si istri sudah sesuai dengan seleranya, sangat persis dengan ibunya (bahkan hingga ke raut mukanya). "Tapi karena ia juga terpengaruh omongan orang yang mengatakan dirinya kelompok suami takut istri, lantas ia jadi merasa gengsi." Jadilah ia tak menghargai istrinya lagi. "Ia lupa bahwa istrinya itu sudah jadi pilihannya."
Jadi, tandas Pamugari, pasangan di mana yang satu "anak Mami" dan satunya lagi bertipe ke"mami-mami"an, sebenarnya bisa langgeng karena sudah klop dengan kehendaknya masing-masing. "Tapi karena masyarakat ikut masuk pada norma-norma yang tadinya tak bermasalah, akhirnya jadi bermasalah." Meskipun seharusnya mereka tak perlu mendengarkan orang lain, karena setiap keluarga punya ciri khas masing-masing.
SIFAT SAMA
Memang, Pamugari mengakui, tak jarang sikap si "mami" ikut mendukung pula. "Seharusnya si ibu lebih arif. Kalau anak lelakinya sudah menikah, sudah mentas istilahnya, maka sebaiknya lepaskanlah. Jangan ditempeli terus." Jadi, kala si anak datang kepada ibu, si ibu seharusnya berujar, "Bicarakanlah hal ini dengan istrimu. Bunda sudah lepas, dong, karena kamu, kan, sudah menikah."
Menurut Pamugari, seorang anak lelaki yang sangat lekat pada ibunya bisa jadi karena awalnya ia dapat menyelami suasana hati ibunya. "Memang seharusnya secara proporsional si anak dekat dengan kedua orang tuanya sehingga akan tercipta kepribadian yang seimbang." Biasanya anak lelaki yang dekat dengan ibunya adalah anak lelaki tertua, anak bungsu, atau anak lelaki satu-satunya. "Bisa juga pada anak lelaki yang selalu sakit-sakitan sejak kecil. Posisi ini memudahkan seorang anak lelaki lebih dekat ke ibu. Namun bisa juga lantaran sifat mereka sama."
Lebih lanjut dijelaskan Pamugari, ketergantungan pada orang tua terdiri dari 3 hal. Yakni, keuangan, fisik, dan emosional. "Biasanya walau keuangan dan fisik sudah bisa lepas dari orang tua, namun masih ada ketergantungan emosional. Nah, inilah yang terjadi pada 'anak mami'."
Itulah mengapa si "anak mami" biasanya tak mau tinggal jauh-jauh dari rumah orang tuanya. "Bahkan kadang tinggal di rumah yang sama atau tetap menumpang di rumah ibunya. Alasannya, demi mempertahankan tradisi keluarga besar."
RUNDINGKAN BERSAMA
Bila istri tak bisa menerima perilaku "anak mami" tersebut, saran Pamugari, bicarakanlah. Hal yang sama juga dianjurkan bila istri baru tahu suaminya ternyata "anak mami" setelah menikah. "Kedua belah pihak harus saling bicara. Apakah mereka mau berubah dan sejauh mana masing-masing bisa berubah."
Bila keduanya ternyata tak bisa mengubah sikap dan salah satu pihak tetap tak bisa menerima, "Ya, kenapa harus dipaksakan? Kenapa kita harus menjalani sesuatu yang berat untuk mencapai kebahagiaan? Itu paradoks sekali. Kalau bisa, kan, mencapai kebahagiaan dengan cara yang gampang, bukan yang berat dijalani," kata Pamugari.
Lain halnya bila keduanya sepakat untuk meneruskan perkawinan dan bersedia memperbaiki diri. Nah, masing-masing bisa saling melakukan tawar-menawar alias bernegosiasi. Misalnya, suami boleh minta saran pada sang ibu hanya dalam kasus-kasus A, B, C. Tapi kalau kasus D, E, F, itu bagian istri. "Tentunya komitmen yang dicapai harus ada folow-up-nya.
Selain itu, mereka juga harus menentukan langkah terhadap si "mami". Dalam hal insi suamilah yang harus berbicara dengan ibunya untuk menghindari terjadinya konfrontasi, terutama dengan istri. "Katakan terus terang pada si ibu bahwa sudah ada kesepakatan dalam keluarganya dan ia sudah menjadi bagian dari keluarganya yang baru." Tentu saja, sampaikan hal ini baik-baik sehingga tak menyinggung perasaan si ibu
Bila mereka masih ada keterikatan fisik alias tinggal bersama orang tua, saran Pamugari, lakukan pemisahan ruangan di dalam rumah agar masing-masing punya pintu masuk-keluar sendiri. "Dengan demikian, walau mereka masih terikat secara fisik dan emosional dengan orang tua, namun mereka sudah menjadi keluarga yang mandiri."
PBANYAK KEGIATAN
Pamugari menyadari, bisa terjadi si ibu akan tersinggung dan tak bisa menerima keputusan tersebut. "Itu berarti si ibu tak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan. Padahal, dalam setiap kehidupan akan mengalami perubahan." Tapi kalau si ibu bisa bersikap arif, tak akan ada masalah. "Bahkan sering terjadi, ibu ingin sekali melepas anaknya agar mandiri tapi justru si anaklah yang tak bisa lepas dari ibunya."
Bagaimanapun, lanjut Pamugari, semua proses "penyapihan" selalu menyakitkan. Nah, untuk mengurangi rasa sakit tersebut, sarannya, carikanlah kegiatan alternatif buat si ibu. Misalnya, aktif di kegiatan organisasi orang sebaya, kegiatan sosial, atau di pengajian, dan sebagainya. "Dengan banyak kegiatan, si ibu akan mendapatkan pengalaman dari bidang lain.
Selain itu, gapaiannya pun akan semakin banyak sehingga semakin mudah pula untuk mendistribusikan perhatian." Maksudnya, dengan banyak kegiatan, perhatian si ibu tak melulu terfokus ke satu anak yang membuat perhatiannya jadi berlebihan dan akhirnya malah menimbulkan masalah dengan menantu.
UNTUNG RUGI
Makanya, Pamugari mengingatkan, para ibu harus menyadari sikap dan pesan apa yang telah disampaikan kepada anaknya. Sebab, tak jarang si ibulah yang menciptakan hal-hal demikian. "Ibu kadang lupa, mendidik anak tak boleh menggunakan prinsip untung-rugi. Mendidik dan merawat anak itu ibadah pada Yang Di Atas." Kalau berpikirnya untung-rugi, maka yang terjadi ialah menuntut balas jasa dari sang anak. Ada, kan, ibu atau orang tua yang suka mengatakan, "Kamu enggak akan masuk surga kalau nggak berbakti pada ibu." Atau, "Kamu ini bagaimana, sih, Ibu sudah tua tapi kamu malah enggak mau berkumpul." Seolah-olah, anak durhaka kalau tidak datang ke ibunya.
Hal-hal seperti itulah, lanjut Pamugari, yang turut menciptakan kondisi sehingga si anak jadi tak bisa lepas dari ibunya. "Cengkeraman" ibu pada anak, lanjut Pamugari, bisa jadi merupakan kompensasi dari rasa kesepian si ibu, ingin cari perhatian, atau karena hubungannya dengan sang suami kurang bagus. "Jadi, ini merupakan pelarian atau kompensasinya yang terpendam di bawah sadarnya."
Nah, mudah-mudahan Anda tak melakukan kesalahan sama di masa mendatang.
Dampak Pada Anak
Apa yang dilihat dan dipahami anak jika ayahnya berperilaku sebagai "anak mami"? Yang jelas, ungkap Pamugari, anak akan melihat bahwa di keluarganya, neneklah yang lebih berperan, sementara sang ibu tak punya peran apa-apa. Namun demikian, tak lantas berarti si anak kehilangan respek terhadap sang ibu. "Hal ini sangat tergantung pada sikap si ibu. Yaitu, bagaimana ibu memainkan perannya."
Bila ibu dengan ringan hati berkata, "Oh, Ayah lagi ke rumah Nenek. Kasihan Nenek, kan, sendirian, jadi Ayah harus menemaninya," maka tak akan berdampak apa-apa. Yang celaka kalau si ibu merasa tertekan, maka yang dikatakannya, "Iya, tuh ayahmu selalu begitu. Maunya nempel sama Nenek terus." Ucapan semacam itu akan membuat anak tak respek pada ibunya. "Sebab ia melihat, ibunya cuma bisa mengomel melulu dan tak berbuat apa-apa. Orang, kan, lebih senang ikut orang yang menang atau berkuasa."
Yang lebih parah, menurut Pamugari, "Kelak si anak akan memberontak pada orang tuanya. Soalnya, dengan si ibu hanya mengomel tanpa melakukan tindakan apa-apa, kan, itu sama saja dengan memberontak. Jadi si orang tua sudah memberi contoh bagaimana memberontak terhadap orang tua." Nah, inilah yang akan menumbuhkan bibit-bibit pemberontakan pula pada si anak.
Tak hanya itu. Bagaimana sikap si ibu juga akan berpengaruh terhadap pandangan anak kepada ayahnya. Misalnya ibunya berujar, "Ya, begitulah ayahmu, maunya dikelonin terus sama Nenek." maka anak akan mengartikan, memang begitulah si ayah. Beda kalau si ibu dengan bijak berkata, "Iya, kasihan, kan, Nenek sudah tua jadi Ayah harus sering menengoknya." Nah, anak akan mendapat kesan, ayahnya adalah anak yang berbakti pada ibu kandungnya.
Indah Mulatsih/nakita