Berkompromi Dengan Suami "Anak Mami"

By nova.id, Kamis, 24 Juni 2010 | 17:09 WIB
Berkompromi Dengan Suami Anak Mami (nova.id)

Bagaimanapun, lanjut Pamugari, semua proses "penyapihan" selalu menyakitkan. Nah, untuk mengurangi rasa sakit tersebut, sarannya, carikanlah kegiatan alternatif buat si ibu. Misalnya, aktif di kegiatan organisasi orang sebaya, kegiatan sosial, atau di pengajian, dan sebagainya. "Dengan banyak kegiatan, si ibu akan mendapatkan pengalaman dari bidang lain.

Selain itu, gapaiannya pun akan semakin banyak sehingga semakin mudah pula untuk mendistribusikan perhatian." Maksudnya, dengan banyak kegiatan, perhatian si ibu tak melulu terfokus ke satu anak yang membuat perhatiannya jadi berlebihan dan akhirnya malah menimbulkan masalah dengan menantu.

UNTUNG RUGI

Makanya, Pamugari mengingatkan, para ibu harus menyadari sikap dan pesan apa yang telah disampaikan kepada anaknya. Sebab, tak jarang si ibulah yang menciptakan hal-hal demikian. "Ibu kadang lupa, mendidik anak tak boleh menggunakan prinsip untung-rugi. Mendidik dan merawat anak itu ibadah pada Yang Di Atas." Kalau berpikirnya untung-rugi, maka yang terjadi ialah menuntut balas jasa dari sang anak. Ada, kan, ibu atau orang tua yang suka mengatakan, "Kamu enggak akan masuk surga kalau nggak berbakti pada ibu." Atau, "Kamu ini bagaimana, sih, Ibu sudah tua tapi kamu malah enggak mau berkumpul." Seolah-olah, anak durhaka kalau tidak datang ke ibunya.

Hal-hal seperti itulah, lanjut Pamugari, yang turut menciptakan kondisi sehingga si anak jadi tak bisa lepas dari ibunya. "Cengkeraman" ibu pada anak, lanjut Pamugari, bisa jadi merupakan kompensasi dari rasa kesepian si ibu, ingin cari perhatian, atau karena hubungannya dengan sang suami kurang bagus. "Jadi, ini merupakan pelarian atau kompensasinya yang terpendam di bawah sadarnya."

Nah, mudah-mudahan Anda tak melakukan kesalahan sama di masa mendatang.

Dampak Pada Anak

Apa yang dilihat dan dipahami anak jika ayahnya berperilaku sebagai "anak mami"? Yang jelas, ungkap Pamugari, anak akan melihat bahwa di keluarganya, neneklah yang lebih berperan, sementara sang ibu tak punya peran apa-apa. Namun demikian, tak lantas berarti si anak kehilangan respek terhadap sang ibu. "Hal ini sangat tergantung pada sikap si ibu. Yaitu, bagaimana ibu memainkan perannya."

Bila ibu dengan ringan hati berkata, "Oh, Ayah lagi ke rumah Nenek. Kasihan Nenek, kan, sendirian, jadi Ayah harus menemaninya," maka tak akan berdampak apa-apa. Yang celaka kalau si ibu merasa tertekan, maka yang dikatakannya, "Iya, tuh ayahmu selalu begitu. Maunya nempel sama Nenek terus." Ucapan semacam itu akan membuat anak tak respek pada ibunya. "Sebab ia melihat, ibunya cuma bisa mengomel melulu dan tak berbuat apa-apa. Orang, kan, lebih senang ikut orang yang menang atau berkuasa."

Yang lebih parah, menurut Pamugari, "Kelak si anak akan memberontak pada orang tuanya. Soalnya, dengan si ibu hanya mengomel tanpa melakukan tindakan apa-apa, kan, itu sama saja dengan memberontak. Jadi si orang tua sudah memberi contoh bagaimana memberontak terhadap orang tua." Nah, inilah yang akan menumbuhkan bibit-bibit pemberontakan pula pada si anak.

Tak hanya itu. Bagaimana sikap si ibu juga akan berpengaruh terhadap pandangan anak kepada ayahnya. Misalnya ibunya berujar, "Ya, begitulah ayahmu, maunya dikelonin terus sama Nenek." maka anak akan mengartikan, memang begitulah si ayah. Beda kalau si ibu dengan bijak berkata, "Iya, kasihan, kan, Nenek sudah tua jadi Ayah harus sering menengoknya." Nah, anak akan mendapat kesan, ayahnya adalah anak yang berbakti pada ibu kandungnya.

Indah Mulatsih/nakita