Sering, kan, terjadi istri pergi dari rumah alias purik? Biasanya, sih, gara-gara bertengkar dengan pasangan. Tapi, toh, tak menyelesaikan masalah juga.
Alasan pergi meninggalkan rumah atau purik, memang bisa macam-macam. Entah tak tahan menghadapi kenyataan sehingga merasa perlu "menghindar" dulu, ingin berjauhan dulu agar bisa berpikir, dan lainnya.
Yang jelas, dari pengalaman Dr. Sukiat dari Fakultas Psikologi UI, bukan cuma pihak istri yang suka purik, melainkan juga kaum suami. "Ya, justru si suami yang purik dan bilang, hanya mau pulang kembali setelah dijemput dengan upacara adat!" Nah, lo!
REAKSI SUAMI
Apa pun penyebabnya, ujar Sukiat, purik merupakan keputusan emosional yang kurang menguntungkan. "Jangan berpikir bahwa kepergiannya demi untuk menenangkan pikiran. Itu hanya alasan yang dicari-cari. Karena saya yakin, di rumah orang tuanya pun pikirannya tak mungkin tenang. Pasti masih terus memikirkan kejelekan si suami. Karena biasanya ia kabur dengan hati yang marah dan sakit."
Otomatis, dengan puriknya si istri, masalah tak akan terselesaikan karena tujuan yang hendak diraihnya, yaitu agar ia bahagia, tak bisa terlaksana. Belum lagi jika si suami malah berpikir, "Wah, kebetulan istriku purik. Jadi, aku bisa terbebas dari kecerewetan/kegalakannnya." Nah, kalau demikian yang terjadi, bukankah sama saja tak menyelesaikan persoalan? Apalagi kalau si suami ternyata memang sudah punya WIL, semakin senanglah ia.
Reaksi suami dalam menghadapi puriknya istri, kata Sukiat, memang bisa bermacam-macam. Ada, kata Sukiat, juga yang malah merasa tertantang, "Akan saya buktikan, tanpa kamu, rumah pun bisa beres!" Ada pula suami yang justru merasa tak enak pada mertua jika istrinya purik. "Namun dalam ketidakenakan itu juga tersimpan rasa kesal. Kesal karena si istri telah mempermalukannya, seolah-olah ia tak bertanggung jawab. Dan ini akan berdampak pada hubungan mereka selanjutnya."
Kendati demikian, Sukiat mengingatkan, para suami tak boleh menyalahkan istri semata. Sebab, suami juga punya andil yang menyebabkan istrinya purik. "Dalam suatu sengketa antara suami istri, pasti ada andil dari pasangannya." Misalnya, istri merasa tak tahan dengan tekanan-tekanan dari suaminya. Ia merasa diperlakukan di luar batas dan sebagainya, sehingga akhirnya puriklah dia.
HARUS DIJEMPUT
Soal dijemput-tidaknya istri yang purik, menurut Sukiat, juga sangat tergantung pada reaksi suami atas puriknya si istri. Kalau si suami merasa hal itu sebagai suatu kebetulan, maka ia akan menganggap, "Ah, ngapain saya jemput. Ia pergi sendiri, ya, ia harus pulang sendiri, dong. Nanti malah jadi kebiasaan kalau dijemput." Sebab, terang Sukiat, bisa saja istri menjadi "besar kepala" dan memilih kabur serta kabur lagi setiap kali ada masalah. "Akhirnya jadi kebiasaan. Nah, lama-lama si suami, kan, malah jadi enggan menjemput."
Lain halnya jika si suami merasa menyesal atas kepergian istrinya. Ia merasa bersalah karena telah membuat istrinya tak betah di rumah. "Nah, kalau ia merasa menyesal, tentunya ia akan menyusul istrinya. Tapi tentunya dengan perasaan yang tak enak pada mertua atau kakak iparnya."
Namun si istri yang dijemput tak jarang malah menolak. Ia malah marah-marah, tak mau keluar dari kamar. "Mungkin karena ia sudah patah arang dan tak ingin kembali." Bila hal ini terjadi dan suami sudah bolak-balik berusaha menjemput namun si istri tetap menolak, akhirnya suami bisa kesal, "Ya, sudahlah, sebodo amat. Mau pulang atau enggak, terserah!" Jelas, persoalan di antara mereka tak dapat diselesaikan juga.
KEDEKATAN PSIKOLOGI
Bagaimana pun, kata Sukiat, purik bukanlah jalan keluar terbaik dari penyelesaian masalah. "Justru dengan lari dari rumah, akan sulit untuk menyelesaikan yang ada." Sukiat menjelaskan, jika hubungan fisik sudah jauh, "Hubungan batin pun sulit dijalin." Padahal dalam hubungan suami-istri, hubungan fisik mutlak perlu. "Kedekatan fisik membuat terciptanya pertemuan psikologis. Kalau fisiknya sudah jauh, maka psikologisnya juga enggak bakalan dekat.
Ia memberi contoh, kendati hati sedang kesal, namun dengan adanya kedekatan fisik, nanti pun akan tumbuh kedekatan psikologis. Sebab, kata Sukiat, lama-lama suami-istri akan saling memahami, "Oh, dia ternyata orangnya begini, toh." Dengan demikian akan terjadi perubahan.
Lagipula, tambah Sukiat, kalau suami istri berjauhan, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Misalnya, bertemu orang lain yang bisa memahami dirinya, sehingga terjadilah perselingkuhan. "Bukankah PIL kadang hadir bukan hanya karena ketertarikan seks semata? Kebersamaan dan kedekatan kadang membuat jadi magnit. Makanya, untuk suami-istri lebih baik saling berdekatan saja.
ATUR EMOSI
Tentunya untuk bisa menyelesaikan masalah, masing-masing pihak harus lebih dulu meredam emosinya. "Jika sedang emosi, kita biasanya hanya melihat kejelekan pasangan. Karena itu, perlu mengatur emosi." Caranya, bisa dilakukan dengan pendekatan agamawi. Entah itu salat atau berdoa. "Kalau salat atau doanya khusyuk, pasti akan menurunkan emosi.
Berikut, cobalah berpikir positif. Carilah satu titik positif dari pasangan. "Lalu renungkan. Nah, lama-lama akan banyak kebaikan yang kita ingat dari pasangan. Akhirnya emosi kita pun teredam." Nah, kalau emosi sudah redam, biasanya rasio akan jalan.
Setelah itu, yang tak boleh dilupakan ialah kemampuan untuk mau mendengar. "Orang yang lagi emosional, maunya hanya didengarkan dan tak mau mendengarkan. Sehingga sering dikatakan egois." Jadi, tandas Sukiat, kalau memang ingin menyelesaikan masalah, keduanya harus mau saling mendengarkan apa yang diinginkan oleh pasangannya. Ingat, suami/istri punya andil terhadap setiap masalah yang ada.
Selain mau mendengarkan, suami-istri juga harus mau berbicara secara terbuka. "Ungkapkanlah semua isi perasaannya. Jangan kejengkelan dipendam saja." Dengan demikian, si pasangan jadi memahami apa maunya suami/istri sehingga akhirnya jadi saling memahami tentang yang diinginkan masing-masing pihak.
Yang tak kalah penting ialah mengingat tujuan dari perkawinan mereka. "Untuk apa kawin? Apakah perkawinannya mau sampai kakek-nenek atau tidak? Nah, kalau ingat tujuannya, biasanya apa pun akan dipertahankan. Jadi, kalau ada kendala yang menghadang di tengah jalan pun akan diselesaikan karena konsentrasinya ke tujuan. Masalah-masalah yang ada, akan jadi tantangan baginya."
Bila perlu, anjur Sukiat, gunakan orang ketiga yang dihormati. Siapa tahu dengan adanya pihak ketiga yang bersedia mendamaikan, maka penyelesaian akan lebih mudah. Namun tentu saja kedua belah pihak harus sama-sama punya itikad untuk menyelesaikan masalahnya.
bersambung
Indah Mulatsih/nakita