Waspadai "Ancaman" Godaan Berselingkuh!

By Nakita Editorial, Minggu, 23 Mei 2010 | 17:29 WIB
Waspadai ancaman godaan berselingkuh. (iStock)

NOVA.id - Tentunya perselingkuhan hanya bisa terjadi apabila ada yang "terjerat" dan ada yang "menjerat" atau dua-duanya sama-sama saling "menjeratkan diri".

Tapi pada umumnya, kata psikolog sosial Zainoel B. Biran, orang mudah "terjerat" atau tergoda bila dirinya tak bahagia.

Dia akan mencari hal-hal yang bisa menumbuhkan kembali kebahagiaannya.

Umumnya, kata Zainoel, ketidakbahagiaan di rumah tangga bersumber pada tak adanya komunikasi di antara suami-istri.

Suami-istri, terang psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI ini, tak pernah membicarakan harapan-harapan ataupun keinginan-keinginannya terhadap si pasangan. "

Nah, bila harapan tersebut tak pernah dibicarakan, timbullah ketidakbahagiaan."

KECOCOKAN FISIK

Macetnya komunikasi, terang psikolog yang akrab disapa Bang Noel ini, bisa terjadi sejak awal perkawinan.

Terlebih bila suami-istri menikah karena merasa ada kecocokan secara fisik.

Misalnya, kalau dengan dia, hati ini langsung bergetar sementara dengan yang lain, tidak.

Sehingga kemesraan yang terjadi di awal-awal perkawinan pun hanya sebatas ketertarikan fisik.

"Mereka tak pernah membicarakan hal-hal yang mendalam. Misalnya, perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka, hal-hal apa saja yang bisa diberikan atau diinginkan pasangannya."

Praktis, dalam perjalanan perkawinan akan timbul masalah karena si istri/suami merasa, pasangannya tak sesuai dengan harapannya.

"Jika cuma cocok karena fisik, sesuai dengan berjalannya waktu, ketertarikan fisik ini akan menurun. Cintanya pun juga cinta secara fisik, bersifat memiliki. Akhirnya ia kecewa dan tak bahagia. Di sinilah ia amat rentan terhadap godaan," terang Bang Noel.

Lain halnya jika suami-istri sejak awal sudah siap untuk menjalani kehidupan bersama-sama dengan liku-likunya yang tak semata-mata fisik.

"Mereka bisa sharing pikiran, saling topang kalau ada persoalan, dan sebagainya.

Sementara dari sisi si penggoda atau PIL/WIL (kami kurang suka menggunakan istilah "pelakor"), bisa jadi dia sebenarnya punya masalah yang sama.

"Mungkin ia datang dari keluarga yang tak bahagia. Hanya saja, dia menjadi orang yang lebih aktif, mencoba mengejar apa yang dibutuhkannya. Mulanya, mungkin ia akan berkilah, 'Ah, kami cuma mau sharing, kok.' Tapi lama-lama, bukan tak mungkin menjurus ke perselingkuhan," jelas Bang Noel.

WASPADAI TAPI ARIF

Bersikap arif, itulah yang disarankan Bang Noel.

Kalau di rumah istri sering menerima telepon dari wanita yang mencari suaminya, "Jangan langsung berpikir si wanita bermaksud menggoda. Belum tentu ia tertarik pada suami tapi cuma perlu figur ayah, misalnya, dan sosok itu ada pada diri si suami. Jadi ia hanya ingin mendekati pada sesuatu yang ia tak punya."

Namun bukan berarti istri tak perlu waspada.

Yang penting, kata Bang Noel, perhatikan kepribadian suami.

Apakah ada kemungkinan bisa tergoda?

Lihat juga, apakah ada sinyal-sinyal yang menunjukkan ia memang tergoda?

"Biasanya wanita yang pergaulannya luas dan kenal dengan lelaki yang berselingkuh maupun tidak, akan memiliki kepekaan terhadap tanda-tanda tersebut."

Juga harus dilihat apa pekerjaan suami.

Jika pekerjaannya banyak berhubungan dengan klien semisal pengacara, pegawai bank atau dosen, bisa jadi telepon-telepon tersebut memang dari klien atau mahasiswinya.

"Makanya istri harus tahu persis, jenis pekerjaan dan aktivitas apa saja yang dilakukan suami, yang berkaitan dengan profesinya. Dengan begitu, cemburu dan rasa waswas tak akan terjadi."

Lanjut Bang Noel, rasa curiga atau waswas, memang wajar terjadi.

"Namanya juga hubungan dua manusia. Namun harus dilihat ada kondisi dan kesempatan untuk tergoda atau tidak?"

Biasanya, perasaan curiga/waswas terjadi lantaran si istri menganggap pasangan sepenuhnya milik dia.

"Sebenarnya boleh saja kita merasa memiliki. Tapi kita juga harus sadar bahwa pasangan kita tetap milik dirinya."

Jadi, kita harus mendorong pasangan untuk mengembangkan diri.

"Makin bisa kita mengembangkannya, makin kita bisa mengapresiasi hubungan kita sendiri sehingga tak timbul perasaan cemburu saat ada 'serangan' dari luar. Kita pun akan dihargai oleh pasangan," tegasnya.

Jangan berpikir bahwa dengan demikian maka kadar cinta kita amat sedikit.

"Dalam bercinta, harus dilihat kebahagiaan siapa yang paling penting. Kalau kebahagiaan saya, maka semuanya diukur dari sudut saya. Tapi kalau kebahagiaan pasangan, berarti kita harus mengerti dia, menghargai segala macam yang ada padanya dan memberikan hal-hal yang memungkinkan ia mengembangkan diri, yang membuatnya bahagia. Kita pun menjadi bahagia kalau dia bahagia."

Bila istri/suami masih juga curiga pada pasangannya, tambah Bang Noel, berarti dirinya belum sepenuhnya mengerti pasangannya.

"Mungkin masih ada yang jadi misteri, sehingga belum sepenuhnya percaya pada pasangan. Hal-hal inilah yang harus dikuakkan."

MENANTANG BERKELAHI

Perempuan, terang Bang Noel, biasanya suka menyalahkan diri sendiri bila pasangannya selingkuh.

Hal ini disebabkan ada anggapan perempuan harus meladeni dan mengurusi suami.

Padahal, seharusnya suami-istri saling melayani.

"Jika hanya satu arah, perasaan bersalah akan muncul karena ia merasa tak bisa melayani suami dengan baik."

Perasaan-perasaan tersebut biasanya dialami oleh wanita yang konsep diri maupun harga dirinya kurang baik.

"Dia merasa lemah dan merasa banyak hal kurang dalam dirinya. Terutama pada istri yang fungsi pokoknya hanya sebagai istri saja, mengurusi anak dan suami. Dia tak bekerja, sehingga dia melihat dirinya secara kerdil," contoh Bang Noel.

Sementara di pihak pria, biasanya akan langsung menantang berkelahi si PIL.

"Padahal bisa jadi istrinya enggak berselingkuh, hanya membicarakan bisnis," ujar Bang Noel.

Untuk itu, anjurnya, istri harus arif, "Kalau melihat suami cemburu sementara ia merasa tak ada apa-apa, ya, undang saja si PIL ke rumah. Selain suaminya jadi kenal, si suami juga jadi tahu apakah ia pantas untuk curiga atau tidak dengan si PIL."

Di samping itu, si istri sekaligus membentengi dirinya terhadap "serangan" si PIL.

JANGAN LIBATKAN ANAK

Ini penting!

Tak jarang terjadi, suami-istri malah melibatkan anak.

"Salah besar!" seru Bang Noel.

Jangan pernah libatkan anak karena jika satu saat suami-istri meledak, si anak ikut jadi sasaran, "Kamu, sih, mengadu pada ibumu/ayahmu!"

Tentu saja hal semacam ini tak baik untuk anak. Ia bisa merasa traumatik dengan perkawinan.

Lagipula, dengan melibatkan anak hanya menunjukkan bahwa si orang tua belum dewasa.

"Ia butuh orang lain untuk back up, berharap si anak akan berpihak kepadanya. Ini berarti ia sudah membuka front dengan pasangannya."

Lain halnya jika si anak yang bertanya, "Kenapa, sih, Ma, kok, wanita itu cari Papa terus?"

Jawablah dengan netral, misalnya, "Mama juga enggak tahu. Barangkali Papamu bisa menjelaskan."

Dengan begitu, si istri malah akan mendapatkan informasi lewat anaknya dan bukan dengan cara menghasut.

Jelas sudah, kunci utama dari semua ini adalah komunikasi antara suami dan istri.

Jika tak pernah dibicarakan, curiga dan waswas tetap muncul.

Yang kerap terjadi, "Istri akhirnya memata-matai suaminya 24 jam sehari. Akibatnya, ia jadi tegang terus. Energi dan pikirannya dicurahkan hanya untuk memanjakan ketegangan diri tersebut."

Curiga yang terakumulasi ini, pada akhirnya bisa menyebabkan suami-istri bercerai.

HINDARI EMOSI

Komunikasi, kata Bang Noel, amat penting karena akan membuka pikiran masing-masing dan sama-sama mendewasakan pasangannya.

"Bukankah dalam proses pembahagiaan pasangan, termasuk di dalamnya adalah bagaimana membantu pasangan berkembang menjadi dirinya sendiri? Kalau orang sudah merasa nyaman dengan dirinya, ia akan mempunyai kepuasan terhadap dirinya sehingga tak akan mudah tergoda," terang Bang Noel.

Cara mengkomunikasikannya tentu bermacam-macam.

"Yang penting sifatnya bukan menuduh."

Misalnya, istri bisa memulai dengan, "Mas, telepon sering benar berbunyi. Kadang Mas belum datang pun ia sudah menelpon. Nah, kalau ia menelepon lagi, aku mesti bagaimana?"

Bisa jadi jawabannya ialah, "Terima saja. Barangkali ada hal penting. Kalau perlu, catat pesannya apa."

Atau jawabannya malah, "Ah, kalau dia telepon lagi, biarin saja, enggak usah diladeni. Dia memang sedang mengejar-ngejar saya."

Nah, dari respon pasangan inilah kita bisa melihat perkaranya.

Apakah memang berkaitan dengan pekerjaan atau bukan.

Namun Bang Noel mengingatkan, suasana keakraban yang sudah terbentuk itu jangan lantas dirusak dengan balik menuduh si suami.

Misalnya, "Awas, lo, kamu nanti tergoda beneran!"

Hal ini justru akan memojokkannya.

"Sebaiknya suasana ini dijadikan ajang untuk membuka kemungkinan mendiskusikannya lebih lanjut, membahas masalah itu secara terbuka."

Misalnya, "Ada apa, sih, sebetulnya? Kayak apa, sih, mengejarnya?"

Selanjutnya bisa terus dikejar, misalnya, "Kamu sudah ke mana saja sama dia?"

Mungkin ia malah akan mengaku, "Ya, pernah, sih, sekali."

Tapi kalau belum apa-apa kita langsung mencecar alias menuduh, pasangan tak bakal menjawab.

"Ia akan langsung defensif, karena merasa diserang," ujar Bang Noel.

Jika pasangan mengaku, "Jangan panas dulu. Pikirkan baik-baik karena bisa-bisa sumbernya adalah hubungan suami-istri yang kurang baik."

Lebih baik, lanjut psikolog ini, lanjutkan diskusi untuk menguak hal-hal yang belum terbuka, "Kenapa sih, kok, kamu sampai pergi dengan dia dan bukan dengan aku?"

Dari jawabannya akan ketahuan masalah sebenarnya.

Misalnya, "Habis kamu selalu menolak kalau diajak."

Tahap berikut, bahaslah mengenai jalan keluar terbaik.

"Ini amat penting untuk kelanggengan perkawinan. Bukan soal kalah dan menang. Bukan mesti harus menuruti kemauannya atau tidak. Fokuskan pada persoalannya."

Ingat, jangan pula berbicara dengan nada penuh emosi.

"Jangan-jangan, suami yang tadinya tak selingkuh, malah sengaja melakukannya karena kecewa terhadap sikap curiga istri," jelas Bang Noel.

Dengan kata lain, perselingkuhan itu dilakukannya sebagai reaksi dari serangan sang istri.

Jika suami-istri tak bisa berkomunikasi berdua, saran Bang Noel, mintalah bantuan pihak ketiga semisal konselor perkawinan, psikolog, ahli agama, atau orang yang dituakan. (*)