Gemar Buka-Buka Dompet

By nova.id, Minggu, 16 Januari 2011 | 17:01 WIB
Gemar Buka Buka Dompet (nova.id)

Jika lepas kontrolnya cuma sesekali, saran Jo, minta maaf pada anak. "Maaf, ya, tadi Mama karena kaget jadi bentak Adek, deh. Mama nggak bermaksud memarahi Adek, kok, Mama cuma khawatir dompet atau kartu-kartu penting Mama rusak." Permintaan maaf dan penjelasan seperti ini membuat si kecil kembali merasa "terangkat", hingga dampaknya tak sedemikian buruk.

Anak seusia ini, terang Jo pula, justru lebih gampang menangkap apa yang kita sampaikan bila menerangkannya dengan mimik hangat/ramah dan bahasa sederhana. Terlebih bila dibarengi gerakan tangan maupun kepala semisal melambai atau menggeleng.

Lain hal bila si kecil mengarah pada tindakan berbahaya atau merugikan, "orang tua perlu bersikap tegas." Katakan "tidak", lalu segera cari objek penggantinya. Kartu ATM bohong-bohongan atau uang-uangan yang tak kalah menarik, misal, hingga ia bisa teralihkan dari kartu-kartu penting dan berharga yang ada di dompet.

JANGAN IKUT NGOTOT

Bila si kecil tetap ngotot mempertahankan alias tak mau diberi objek pengganti, Jo minta kita tak terpancing menunjukkan sikap frontal atau sama-sama ngotot. "Makin kita ngotot, ia makin asyik menikmati negasi atau penolakannya." Sama halnya meng-cut dengan mengatakan, "Pokoknya enggak boleh!", yang juga harus dihindari. Soalnya, anak usia ini cenderung menunjukkan penolakan yang kuat. "Bila dilarang, malah seperti disuruh, kan? Makin dilarang, ia justru kian gencar melakukannya dan membuat kita terpancing untuk jengkel serta mencapnya dengan sebutan si bandel atau sebutan negatif lainnya."

Harus diingat pula, larangan-larangan yang kelewat sering malah memupus keinginan anak bereksplorasi. Lantaran ia merasa tak aman dan nyaman. Nah, jangan salahkan si kecil bila akhirnya ia jadi takut atau merasa terancam, hingga keingintahuannya terhenti dengan sendirinya. Selain itu, banyak larangan dan dimarahi terus cenderung mengembangkan rasa malu, serba ragu, dan tak berani melakukan apa-apa. Jika sudah begini, bukankah ia tak bisa memanfaatkan masa bereksplorasi dan mengembangkan rasa ingin tahunya secara maksimal? Akhirnya, tahapan perkembangan lain pun ikut terhambat.

Sebaliknya, bila kita selalu sabar dan mampu kontrol diri, kita bisa segera tersadar untuk memberi reaksi yang pas. Misal, dengan memposisikan diri bersimulasi sebagai pembeli dan penjual. Hingga, si kecil pun akan mengembalikannya dengan suka rela. Cara lain, carikan pengganti berupa benda lain yang tak berbahaya namun tetap menarik buat anak; bisa berupa makanan seperti permen dan cokelat, atau berupa mainan maupun bahan bacaan. Jadi, tak perlu dilarang, ya, Bu-Pak. Wong, ia cuma ingin tahu, kok.

KENALKAN PRIVASI

Solusi yang lebih mudah untuk mengatasi "kegemaran" buka-buka dompet/tas tentulah tak meletakkan benda tersebut di tempat yang mudah dijangkau si kecil. Atau, bila memungkinkan, "belikan saja dompet sederhana yang ada gambar-gambar berkarakter lucu sesuai seleranya." Katakan padanya, "Ini dompet Ibu. Untuk Adek, nanti Ibu belikan yang baru yang ada gambarnya. Adek suka gambar Hello Kitty, kan? Nah, kita cari dompet yang ada gambar Hello Kittynya, ya." Dengan begitu, selain keinginannya terpenuhi, ia pun belajar mengenal mana miliknya dan mana yang bukan.

Selain itu, tak ada salahnya si kecil dikenalkan pada konsep privasi dan sopan santun. Apalagi anak usia batita sudah mulai bersosialisasi. Misal, "Ini tas Tante Dina. Jangan dibuka-buka, ya, Dek." Hal ini juga mengajarkannya menghormati milik orang lain dengan tak mengusik atau mengambilnya. Dengan demikian, ia pun dibiasakan untuk bersibuk dengan "harta"nya sendiri, hingga tiap kali kedatangan tamu tak lagi mengadul-adul dompet atau isi tas si tamu.

"Anak usia ini akan cepat teralihkan, kok, kalau diketahui, perilaku menggeratak dompet/tas sama sekali tak ada kaitannya dengan dorongan mencari perhatian. Sekalipun perilaku tersebut ditunjukkan kala kita kedatangan tamu. "Bukankah ketika tak diawasi dan tak dilibatkan dalam pembicaraan, anak akan mencari keasyikan sendiri?" ujar Jo. Jadi, tekannya, perilaku si kecil yang demikian semata-mata lantaran tak ada kegiatan lain yang menarik perhatiannya. "Anak usia segini, kan, memang ingin menjelajah dunia, makanya enggak bisa diam."

Namun Jo tak bisa memastikan, apakah anak akan berhenti menggeratak bila rasa ingin tahunya terpuaskan dengan penjelasan dan pendampingan orang tua. "Ini proses alam dan umumnya akan berhenti dengan sendirinya, meski tiap anak bisa berbeda pada usia berapa akan berhenti." Cepat-tidaknya kebiasaan ini hilang sangat tergantung pada banyak aspek, diantaranya minat atau ketertarikan anak. "Makin banyak bidang minatnya, makin mudah ia meninggalkan kebiasaannya." Misal, sekarang ia lagi getol-getolnya menirukan ibu berdandan atau mengenakan lipstik. Kali lain, ia gemar main masak-masakan; sementara minggu-minggu berikutnya tergila-gila main sekolah-sekolahan, dan seterusnya. Faktor lain, beragamnya tokoh peniruan yang tak terbatas pada sosok ibu atau bapaknya saja.