Jangan Biarkan Ia Merebut Milik Orang Lain

By nova.id, Senin, 10 Januari 2011 | 17:01 WIB
Jangan Biarkan Ia Merebut Milik Orang Lain (nova.id)

Sering, kan, anak usia ini merebut mainan teman atau saudaranya? Wajar, kok, Bu-Pak, tapi tak boleh dimaklumi. Ia harus diarahkan agar tak berkembang jadi pribadi yang tak peduli tatakrama.

Anak usia ini, terang Sritje Hikmat, S.Psi. belum punya konsep kepemilikan, hingga ia belum bisa membedakan mana yang miliknya dan mana milik orang lain. Kondisi ini "diperparah" dengan pola pikir anak yang masih konkret fungsional, selain sifat egosentris yang masih melekat kuat. Di mata batita, dirinyalah yang jadi pusat dunia, hingga semua yang ada memang untuknya dan disediakan khusus untuk memenuhi kebutuhannya. Itu sebabnya, lagi-lagi dalam kaca mata batita, boleh-boleh saja, kok, merebut dan memiliki barang orang lain.

Jadi, tak perlu terkaget-kaget, ya, Bu-Pak, bila si kecil mengklaim, "Ini punyaku, ini juga punyaku," sambil meraup semua mainan kakaknya. Jangan pula malu kala si kecil memboyong mainan temannya ke rumah, apalagi sampai memarahinya. "Justru dari sini, anak berproses menuju kemampuan ber-sharing atau berbagi," kata Itje, sapaan akrab lulusan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba) yang jadi konselor di DIA-YKAI, Jakarta, ini.

Tapi tentu harus dengan pengarahan kita, ya, Bu-Pak, agar si kecil mau berbagi dan memahami berbagai nilai. Kalau tidak, ia bisa kebablasan dan dampaknya bukan cuma sesaat buat si kecil. Ia bisa dikucilkan dari pergaulan, lo. Yang lebih parah, jika budaya saling rampas tumbuh sumbur di rumah, ia akhirnya terbentuk jadi pribadi yang tak mengindahkan tatakrama, cenderung main ambil tanpa permisi saat menginginkan sesuatu.

BIASAKAN MINTA IJIN

Nah, karena akar masalahnya belum punya konsep kepemilikan, maka yang harus kita lakukan ialah mengenalkan konsep tersebut pada si kecil. Misal, "Mobil-mobilan yang warnanya merah ini punya Kakak. Nah, mobil-mobilan yang warnanya hijau ini punya Adik.", "Baju ini milik Ibu, sepatu itu punya Ayah.", dan seterusnya.

Ia pun harus dibiasakan minta ijin dulu sebelum menggunakan barang yang bukan miliknya. Misal, "Dik, mobil-mobilan ini punya Kakak. Kalau Adik mau pinjam, harus bilang dulu sama Kakak, boleh enggak." Meski kemampuan verbalnya masih terbatas hingga lafalnya belum jelas, namun kita tetap harus "memaksa" si kecil minta ijin dulu.

Tentunya kebiasaan minta ijin dulu harus diberlakukan pula pada semua anggota keluarga. Dengan begitu, kita sekaligus menanamkan budaya sikap santun dalam keluarga.

JANGAN BERPIHAK

Penting pula memberi pengertian pada si kecil untuk menerima konsekuensinya bila orang lain tak ingin meminjamkan kendati ia sudah minta ijin. "Bila si kakak memang tak mau meminjamkan mainannya, ajari si adik untuk menerima kenyataan itu." Agar sama-sama enak, kemukakan keberatan kakak sambil alihkan perhatian adik, misal, "Kita main yang lain saja, yuk, Dik. Soalnya, Kakak mau main juga, sih."

Celakanya, yang kerap terjadi justru si kakak diminta mengalah terus, "Kakak ngalah aja, deh. Kasihan, kan, Adik. Sebentar lagi, dia juga pasti bosan, Kak." Meskipun reasoning semacam ini ada benarnya bila dikaitkan dengan masa eksplorasi. Bukankah batita umumnya akan terpuaskan hanya dengan sekadar melihat dan memegang benda yang dimaksud? Jadi, motivasinya memang bukan ingin merebut, melainkan semata-mata dorongan egosentrisme yang kuat tadi.

Namun begitu, kita tak boleh sebatas hanya memaklumi bahwa hal tersebut memang wajar dalam perkembangan anak usia ini, termasuk pula memaklumi anak usia ini belum tahu aturan/tatanilai. Justru karena kita mengerti kondisi anak usia ini seperti itu, maka kita harus mengajarkannya. Kalau tidak, ia akan berpikir, "Ah, Bunda nggak pernah ngelarang, kok. Jadi, aku boleh-boleh saja, dong, ngerebut." Kepeduliannya jadi tak terasah, "Kalau aku mau sesuatu, mesti dapat, nggak peduli bagaimana caranya dan apa akibatnya pada orang lain."